Solilokui

GREAT Institute: Panggung Terbuka dan “Ruang Rahasia”, Dua Wajah Dialektika Nasional

Pada ruang diskusi tertutup gagasan mentah diolah dan dimatangkan. Di ruang terbuka publik, gagasan itu diuji dan diperluas jangkauannya. Agar kelak sebuah gagasan matang menjadi lebih bermakna.

Oleh : Vaksiandra Nuryadi*

JERNIH – Di tengah riuh rendah demokrasi, ada panggung yang jarang terlihat mata publik namun memegang peranan penting dalam membentuk arah bangsa: forum-forum yang digelar oleh lembaga think tank nasional. Dua format yang kerap muncul—dan sering menjadi perdebatan—adalah dialog publik dan diskusi tertutup. Bagi GREAT Institute, keduanya bukan sekadar pilihan teknis, tetapi cerminan filosofi, strategi, dan keberanian dalam mengelola pengetahuan.

Dialog Publik: Ketika Gagasan Menyapa Massa

Dialog publik adalah teater ide. Kursi tersusun rapi, mikrofon siap merekam, kamera menyorot, dan para narasumber duduk sejajar di hadapan audiens yang beragam: mahasiswa, jurnalis, aktivis, pejabat, hingga warga biasa.

Fungsinya jelas—mendistribusikan hasil riset ke ruang sosial yang luas. Inilah yang dilakukan GREAT Institute ketika menggelar forum Polemik Kebudayaan dan Manusia Indonesia, menghadirkan keragaman perspektif, termasuk dari Menteri Kebudayaan RI, Fadli Zon.

Kelebihannya nyata: transparansi, legitimasi, dan daya pengaruh terhadap opini publik. Namun, di sisi lain, keterbukaan ini rentan menjadi ajang retorika. Debat bisa terperangkap dalam pencitraan, diwarnai tepuk tangan, bukan ketajaman data.

John Stuart Mill, filsuf utilitarian, pernah berkata, “Nilai seseorang sebanding dengan objek yang ia kejar.” Maka nilai sebuah dialog publik diukur bukan dari sorot lampu panggung, tetapi dari seberapa sungguh ia memperluas pemahaman. Guy Debord bahkan mengingatkan lewat konsep Society of the Spectacle—bahwa masyarakat modern kerap terjebak pada representasi dan citra, bukan pengalaman langsung.

Diskusi Tertutup: Laboratorium Pikiran

Berbeda dari hiruk pikuk forum publik, diskusi tertutup adalah ruang eksklusif bagi ide-ide mentah. Tidak ada kamera, tidak ada siaran langsung—hanya meja bundar, catatan, dan percakapan jujur. Pesertanya terbatas: pakar, pembuat kebijakan, dan pemangku kepentingan terkait.

Di ruang inilah GREAT Institute menguji skenario, membedah data sensitif, dan merumuskan strategi yang belum siap disajikan ke khalayak. Manfaatnya jelas—diskusi menjadi bebas, tajam, dan berani. Konsekuensinya: publik mungkin hanya melihat hasil akhir, bukan prosesnya.

Henry Kissinger mengingatkan, “Tidak ada kebijakan luar negeri yang memiliki peluang berhasil jika lahir di pikiran segelintir orang dan tidak ada yang menjalankannya di hati siapa pun.” Maka, diskusi tertutup yang tak pernah menjembatani publik berisiko menjadi artefak kebijakan yang dingin dan tak berdaya.

GREAT Institute dan Tradisi Dua Wajah

GREAT Institute di Indonesia memadukan kedua format ini secara strategis. Isu-isu seperti pertahanan, energi, dan hubungan luar negeri kerap diolah dulu di ruang tertutup untuk memperdalam perspektif, lalu sebagian hasilnya disampaikan melalui forum publik.

Pendekatan ini serupa dengan Chatham House di London. Lembaga ini dikenal dengan dua tradisi: forum publik on the record—konferensi, seminar, diskusi panel—serta Chatham House Rule, diskusi tertutup yang memberi kebebasan berbicara tanpa tekanan politik atau media. Topik yang mereka angkat meliputi geopolitik (China, Ukraina, Iran), ekonomi global, keamanan energi, hingga perubahan iklim.

Ada pula Center of Political and Foreign Affairs di Prancis, yang menggunakan pertemuan tertutup untuk memediasi konflik seperti krisis Suriah dan Libya. Semua dilakukan demi menciptakan forum netral, aman, dan produktif.

Mengapa Perlu Kombinasi?

Pemikiran yang matang jarang lahir di keramaian. Ia butuh masa inkubasi—ruang tertutup tempat ide diuji dan dikritisi secara brutal namun jujur. Tapi ide juga tak boleh terkurung; ia perlu diuji di hadapan publik agar mendapat legitimasi dan daya dorong.

Dari laboratorium gagasan ke panggung publik, dari bisikan di ruang rahasia ke gema di ruang demokrasi—kombinasi ini membangun kepercayaan, kedalaman analisis, dan dukungan publik.

Dalam dunia yang serba terbuka, batas antara “terlalu dini” dan “terlalu terlambat” mengungkap gagasan semakin tipis. GREAT Institute tampaknya memahami hal ini: menjaga rahasia saat perlu, namun berani bersuara saat bangsa menuntut jawaban. [ ]

*Lama berkiprah sebagai wartawan di Kelompok Kompas Gramedia

BACA JUGA: Fadli Zon: Indonesia Harus Kembali Menemukan Identitasnya

Back to top button