SolilokuiVeritas

Hadir dan Mengalir

Di antara derasnya arus, dua kebebalan mengadang jalan: yang satu memuja yang tua seolah tua selalu bijak, yang lain menyanjung yang muda seolah baru selalu lebih baik. Padahal, hakikatnya bukan soal usia, melainkan hikmah—apa yang mendewasakan dari yang lama, dan apa yang mencerahkan dari yang baru. Maka, bersikaplah bijak: genggam yang arif dari masa silam, petik yang mulia dari tunas masa depan.

Oleh     :  Yudi Latif

JERNIH– Saudaraku, hidup ini adalah aliran air yang tak pernah berhenti mencari muara. Ia hadir diam-diam, lalu mengalir tanpa pamit—membasahi setiap jejak tanah, menyeberangi waktu, menyapa zaman. Seperti pesan peribahasa Sunda yang bijak: lumaku kudu mindung ka waktu, mibapa ka zaman—melangkahlah seiring waktu, berlindunglah dalam naungan zaman.

Namun betapa sering kita mendirikan tenda di zona nyaman, mengawetkan masa lalu seperti fosil yang disembah, seraya menutup gerbang masa depan. Padahal, waktu tak menunggu. Ia seperti sungai: tak pernah terputus dari hulu, namun selalu menari menuju hilir. Zaman pun berubah, seperti langit yang tak pernah tinggal satu warna.

Yudi Latif

Di antara derasnya arus, dua kebebalan mengadang jalan: yang satu memuja yang tua seolah tua selalu bijak, yang lain menyanjung yang muda seolah baru selalu lebih baik. Padahal, hakikatnya bukan soal usia, melainkan hikmah—apa yang mendewasakan dari yang lama, dan apa yang mencerahkan dari yang baru. Maka, bersikaplah bijak: genggam yang arif dari masa silam, petik yang mulia dari tunas masa depan.

Kita hanyalah anak-anak sang waktu, dilahirkan dari rahim detik, dibesarkan oleh perjumpaan demi perjumpaan. Kita singgah di simpang-simpang sejarah, lalu kembali mengalir, tanpa pernah benar-benar menetap.

Waktu dan ruang bukanlah rumah abadi. Mereka hanyalah lorong-lorong pertanyaan, tempat jeda menjelma pintu dan pintu menyisakan teka-teki. Namun, jangan pernah anggap sepi jejakmu. Samudera pun memulai takdirnya dari setetes hujan.

Setiap kata yang kau bisikkan bisa menyalakan kembali pelita harapan di lorong kecemasan. Setiap senyuman yang kau torehkan adalah cahaya pagi di tengah malam keputusasaan. Dan setiap darma yang kau titipkan pada semesta adalah angin yang membangkitkan layar kapal dari tidur panjangnya.

Pengembaraan ini telah kau tempuh seumur hidup. Teruslah melangkah, meski peta tak selalu lengkap. Teruslah mengalir, meski muara belum tampak. Sebab dalam arus itulah hidup menemukan maknanya—bukan pada akhir, melainkan pada kesediaan untuk hadir dan mengalir. [ ]

Back to top button