Hadirkah Negara dalam Memutus Rantai Penyebaran Covid-19?
Oleh : Giofedi Rauf*
Akhirnya, setelah ditunggu sekian lama oleh publik, pemerintah pusat mengeluarkan kebijakan terkait cara mengatasi penyebaran COVID 19. Ya, kurang lebih berdasarkan data yang disampaikan oleh Pemerintah melalui Juru Bicara Achmad Yurianto telah terdapat 1.414 penderita positif yang tersebar pada 31 Provinsi dengan jumlah yang meninggal sebanyak 122 orang dan yang sembuh sebanyak 75 orang. Kebijakan yang diambil oleh Pemerintah Pusat adalah Pembatasan Sosial Skala Besar (PSSB) yang dikuti dengan penetapan darurat sipil.
Menurut saya penjelasan Pemerintah melalui Juru Bicara Achmad Yurianto masih kurang terinci, karena pada suatu kesempatan Achmad Yurianto pernah menyatakan bahwa “yang kaya harus melindungi yang miskin agar hidup wajar, yang miskin agar melindungi yang kaya agar tidak tertular penyakitnya agar menjadi kerjasama yang penting” kalau merujuk pada pendapat Achmad Yurianto tersebut seharusnya beliau menyampaikan data dengan utuh dari 1.414 penderita Covid 19 tersebut berapa yang kaya dan berapa yang miskin, tapi penulis sedang tidak dalam selera untuk membahas hal tersebut.
Setelah beberapa daerah melakukan “disobedience” seperti Provinsi DKI Jakarta, Provinsi Sumatra Barat, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, Provinsi Jawa Barat meliputi Kota Bandung, Kabupaten Bogor, Kota Bogor, Kota Tasikmalaya, Kabupaten Ciamis, Provinsi Papua, Kabupaten Trenggalek Jawa Timur, Kabupaten Toli Toli Sulawesi Tengah, Kota Makassar Sulawesi Selatan dan Kota Tegal Jawa Tengah (data tersebut mungkin bertambah karena penulis tidak menemukan pemberitaan terkait daerah-daerah lain yang melakukan karantina lokal) terkait dengan lambannya Pemerintah Pusat mengambil kebijakan dalam memutus mata rantai penyebaran Covid 19.
Sebelum penulis membahas lebih jauh terkait hadir atau tidaknya negara dalam mengatasi persoalan penyebaran Covid 19, penulis hendak berbagi sedikit tentang beberapa terminologi terkait kebijakan-kebijakan yang diambil oleh Pemerintah Daerah dan Pemerintah Pusat, diantaranya:
- Isolasi adalah pemisahan orang sakit dari orang sehat yang dilakukan di fasilitas pelayanan kesehatan untuk mendapatkan pengobatan dan perawatan.
- Karantina Wilayah adalah pembatasan penduduk dalam suatu wilayah termasuk wilayah Pintu Masuk beserta isinya yang diduga terinfeksi penyakit dan/atau terkontaminasi sedemikian rupa untuk mencegah kemungkinan penyebaran penyakit atau kontaminasi.
- Pembatasan Sosial Berskala Besar adalah pembatasan kegiatan tertentu penduduk dalam suatu wilayah yang diduga terinfeksi penyakit dan/atau terkontaminasi sedemikian rupa untuk mencegah kemungkinan penyebaran penyakit atau kontaminasi.
- Tentang darurat Sipil “Presiden/Panglima Tertinggi Angkatan Perang menyatakan seluruh atau sebagian dari wilayah Negara Republik Indonesia dalam keadaan bahaya dengan tingkatan keadaan darurat sipil atau keadaan darurat militer atau keadaan perang, apabila:
- keamanan atau ketertiban hukum di seluruh wilayah atau disebagian wilayah Negara Republik Indonesia terancam oleh pemberontakan, kerusuhan-kerusuhan atau akibat bencana alam, sehingga dikhawatirkan tidak dapat diatasi oleh alat-alat perlengkapan secara biasa;
- timbul perang atau bahaya perang atau dikhawatirkan perkosaan wilayah
Negara Republik Indonesia dengan cara apapun juga;
- hidup Negara berada dalam keadaan bahaya atau dari keadaan- keadaan
khusus ternyata ada atau dikhawatirkan ada gejala- gejala yang dapat membahayakan hidup Negara.
Penulis membagi pokok persolan penyebaran mata rantai Cobid 19 ini kepada 2 (dua) bagian, bagian pertama membahas mengapa Pemerintah Pusat lebih memilih PSSB ketimbang karantina wilayah dan bagian kedua mengapa Pemerintah Pusat menyertakan darurat Sipil dalam kebijakan PSSB yang diumumkan melalui kepala satgas penanganan corona.
Bagian Pertama Mengapa PSSB bukan Karantina Wilayah
Perlu kita ketahui bersama bahwa pilihan Pembatasan Sosial Skala Besar (PSSB) maupun Karantina Wilayah merupakan pilihan yang disediakan oleh Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kerantinaasn Kesehatan. Pemabatasan Sosial Skala Besar selanjutnya akan disebut sebagai PSSB diatur dalam Pasal 1 angka 11 sementara Karantina Wilayah diatur dalam Pasal 1 angka 10.
Penjelasan terhadap 2 (dua) pilihan yang diberikan oleh UU No 6 Tahun 2018 tersebut diatur secara rinci, yakni berupa dalam PSSB yang dibatasi adalah kegiatan tertentu penduduk dalam rangka mencegah kemungkinan penyebaran penyakit sedangkan dalam Karantina Wilayah yang dibatasi adalah penduduknya dan juga meliputi pembatasan terhadap pint masuk wilayah yang melakukan karantina wilayah terebut.
Secara substansial pilihan terhadap opsi yang diberikan oleh Undang-Undang Nomor tahun 2018 tersebut juga memiliki konsekuensi hukum yang masing-masing berbeda. Terhadap pilihan PSSB konsekuensi hukumnya diatur dalam Pasal 59 yang menyatakan bahwa:
- Pembatasan Sosial Berskala Besar merupakan bagian dari respons Kedaruratan Kesehatan Masyarakat.
- Pembatasan Sosial Berskala Besar bertujuan mencegah meluasnya penyebaran penyakit Kedaruratan Kesehatan Masyarakat yang sedang terjadi antar orang di suatu wilayah tertentu.
- Pembatasan Sosial Berskala Besar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit meliputi:
- peliburan sekolah dan tempat kerja;
- pembatasan kegiatan keagamaan; dan/atau
- pembatasan kegiatan di tempat atau fasilitas umum.
- Penyelenggaraan Pembatasan Sosial Berskala Besar berkoordinasi dan bekerja sama dengan berbagai pihak terkait sesuai dengan ketentuan peraturan perundangan-undangan.
Sedangkan konsekuensi hukum dari Karantina Wilayah diatur dalam Pasal 53, 54 dan 55 yang menyatakan bahwa:
Pasal 53
- Karantina Wilayah merupakan bagian respons dari Kedaruratan Kesehatan Masyarakat.
- Karantina Wilayah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan kepada seluruh anggota masyarakat di suatu wilayah apabila dari hasil konfirmasi laboratorium sudah terjadi penyebaran penyakit antar anggota masyarakat di wilayah tersebut.
Pasal 54
- Pejabat Karantina Kesehatan wajib memberikan penjelasan kepada masyarakat di wilayah setempat sebelum melaksanakan Karantina Wilayah.
- Wilayah yang dikarantina diberi garis karantina dan dijaga terus menerus oleh Pejabat Karantina Kesehatan dan Kepolisian Negara Republik Indonesia yang berada di luar wilayah karantina.
- Anggota masyarakat yang dikarantina tidak boleh keluar masuk wilayah karantina.
- Selama masa Karantina Wilayah ternyata salah satu atau beberapa anggota di wilayah tersebut ada yang menderita penyakit Kedaruratan Kesehatan Masyarakat yang sedang terjadi maka dilakukan tindakan Isolasi dan segera dirujuk ke rumah sakit.
Pasal 55
- Selama dalam Karantina Wilayah, kebutuhan hidup dasar orang dan makanan hewan ternak yang berada di wilayah karantina menjadi tanggung jawab Pemerintah Pusat.
- Tanggung jawab Pemerintah Pusat dalam penyelenggaraan Karantina Wilayah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan melibatkan Pemerintah Daerah dan pihak yang terkait.
Penulis melihat PSSB dan Karantina Wilayah adalah pilihan yang serupa tapi tak sama. Dalam PSSB jelas dinyatakan bahwa Pemerintah Pusat tidak memiliki kewajiban hukum kepada masyarakat sebagaimana kewajiban hukum Pemerintah Pusat kepada masayarakat apabila mengambil pilihan berupa karantina wilayah, kewajiban hukum tersebut berupa kewajiban Pemerintah Pusat bersama Pemerintah Daerah untuk menyediakan kebutuhan dasar orang dan makanan ternak yang berada di wilayah karantina tersebut.
Dalam PSSB peliburan tempat sekolah, tempat kerja dan pembatasan kegiatan keagamaan serta pembatasan kegiatan pada fasilitas umum juga dapat dilakukan, namun Pemerintah Pusat tidak memiliki kewajiban hukum untuk menyediakan kebutuhan dasar orang dan makanan ternak pada wilayah yang dilakukan PSSB, bahkan dalam PSSB terbuka ruang bagi pihak-pihak terkait non pemerintah untuk terlibat dalam kegiatan pembatasan tersebut.
Penulis meyakini bahwa Pemerintah Pusat memiliki ratio argumentum tersendiri dalam mengambil pilihan PSSB yang disertai dengan darurat sipil tersebut, namun bagi penulis pilihan yang diambil oleh Pemerintah Pusat belum dapat mencerminkan bahwa “Negara Hadir” dalam situasi yang oleh badan kesehatan dunia telah dinyatakan sebagai pandemi.
Penulis berharap bahwa Negara harus Hadir meskipun pilihan yang diambil adalah PSSB dan bukan Karantina Wilayah, karena bagi para pekerja harian, pekerja informal dan kelas menengah kebawah yang tidak memiliki tabungan cukup banyak guna menghadapi PSSB maka Negara Harus Hadir untuk menjamin keberlangsungan hidup mereka sesuai amanat Pembukaan UUD 1945 paragraf ke-empat. Salah satu sumbang saran penulis adalah dengan melakukan relokasi anggaran.
Bagian Kedua Mengapa Pemerintah Pusat Menyertakan Darurat Sipil Dalam Kebijakan PSSB
Sebagaimana dipahami oleh sebagian besar ahli hukum bahwa Perppu Nomor 23 tahun 1959 merupakan Perppu yang dilahirkan untuk mengatasi situasi – hal ikhwal mendesak akibat keadaaan darurat yang disebabkan atau akan menyebabkan situasi perang. Karenanya dalam Perppu tersebut status darurat sipil disertai dengan status darurat militer, meskipun ruang bagi pemberlakuan status darurat sipil an sich tanpa memberlakukan darurat militer juga dimungkinkan sebagaimana telah penulis sampaikan pada awal tulisan.
Sepintas terkesan “ga nyambung” antara pilihan kebijakan PSSB kemudian disertai dengan darurat sipil. Sekilas pada awal tulisan penulis telah memberikan sedikit gambaran yang dapat menjawab pertanyaan mengapa atas pilihan kebijakan PSSB kemudian disertai dengan kebijakan darurat sipil.
Sejak awal ditemukan Covid 19 hingga penyebaran yang tidak terkendali hampir terjadi pada 170 Negara kurang lebih, telah terjadi polemik dan tarik menarik kekuasaan antara Penguasa Negara (baca:pemerintah pusat) dan Penguasa Daerah (baca:pemerintah daerah) dalam pengambilan kebijakan guna memutus mata rantai penyebaran Covid 19.
Pertunjukkan tarik menarik keuasaan tersebut secara gamblang diperlihatkan oleh Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah yang disertai bumbu dari media massa dan juga pendukung Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, yang menurut penulis hal tersebut tidak perlu dilakukan karena hanya akan menguras tenaga dan pikiran kita semua, sementara kita harus bersatu guna memutus penyebaran Covid 19.
Memang ada unsur kelambanan dari Pemerintah Pusat sehingga ada beberapa Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota yang pada akhirnya mengambil kebijakan sendiri, tanpa berkordinasi dengan Pemerintah Pusat, dan kebijakan tersebut cukup banyak bertentangan dengan Pemerintah Pusat terlepas dari ketidakpahaman Pemerintah Daerah dalam mengambil kebijakan tersebut, namun satu hal yang pasti bahwa Pemerintah Daerah tentu ingin melindungi warga dan wilayahnya masing-masing.
Dalam kacamata Pemerintah Pusat tindakan sebagian Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota tersebut mungkin ditafsirkan sebagai disobedience sehingga dalam kebijakan yang diumumkan oleh Pemerintah Pusat disertakan darurat sipil, Pasal 3 ayat (1) Perppu No 23 Tahun 1959 menyatakan bahwa:
Pasal 3
- Penguasaan tertinggi dalam keadaan bahaya dilakukan oleh Presiden/Panglima Tertinggi Angkatan Perang selaku penguasa Darurat Sipil Pusat/Penguasa Darurat Militer Pusat/Penguasa Perang Pusat.
Sederhananya Pemerintah Pusat hendak menyampaikan pesan bahwa kekuasaan tertinggi dalam situasi darurat sipil adalah Presiden.
Penulis memiliki cukup alasan hukum untuk mengatakan sebenarnya Pemerintah Pusat tidak perlu menerapkan situasi darurat sipil karena dengan PSSB sudah cukup, namun penulis juga memahami mengapa Pemerintah Pusat juga menyertakan darurat sipil. Dalam bahasa yang lebih sederhana mengapa Pemerintah Pusat menyertakan darurat sipil tak lain tak bukan ingin memberikan pesan bahwa Presiden masih memiliki kekuasaan tertinggi di Republik ini.
Hemat penulis hal tersebut tidak perlu dilakukan Pemerintah Pusat, karena apa yang telah dilakukan oleh Pemerintah Daerah sebelum Pemerintah Pusat mengeluarkan kebijakan PSSB tujuannya pun baik yakni hendak melindungi warganya dari penyebaran Covid 19, jadi mari kita sudahi “sinetron” perebutan kekuasaan antara pusat dan daerah, bersama kita memutus mata rantai penyebaran Covid 19 di wilayah NKRI karena pasca Covid 19 banyak pekerjaan rumah yang harus diselesaikan.
Sebagai contoh kerjasama tikitaka dapat dimulai dari Menteri Dalam Negeri yang harus memperbaharui pola dan model komunikasi dengan pemerintah daerah menggunakan pendekatan kebutuhan daerah, Pemerintah Pusat melalui gugus tugas penanganan Covid 19 mulai melakukan pendataan terhadap segelintir warga negara “kelas 1 (satu)” yang selama ini menjadi warga negara terkaya untuk mengingatkan mereka ini saatnya mereka berbuat kepada NKRI yang selama ini telah menghasilkan pundi-pundi kekayaan mereka, pada saat yang bersamaan juga pemerintah pusat harus melakukan pendataan terhadap warga negara yang tidak dapat hidup akibat diberlakukannya PSSB, pendataan ini memerlukan kerjasama tikitaka yang ciamik antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah.
Sejarah akan mencatat bagaimana kita menghadapi pandemi Covid 19 ini, kerjasama Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah hari ini akan dinilai oleh generasi penerus – spectemur agendo (kita akan dinilai dari tindakan kita)dan ingat ubi concordia ibi victroria dimana ada persatuan disana ada kemenangan. [ ]
*Praktisi Hukum dan Peneliti Senior 123 Institute