Harga Kedelai Import Naik, Babi Cina yang Disalahkan
Masalah kedelai itu berulang setiap tahun, mengapa kurang ada greget dari pemerintah untuk menaikkan produk kedelai dalam negeri?
JERNIH-Lucu juga sih baca pernyataan seorang menteri yang menyebut penyebab mahalnya kedelai import adalah adanya lima ribu ekor babi di Cina yang juga makanannya kedelai.
“Di Cina itu, awalnya peternakan babi di sana tidak makan kedelai, tapi sekarang makan kedelai. Apalagi baru-baru ini ada lima miliar babi di peternakan Cina itu makan kedelai,” kata Mendag Muhammad Lutfi mengomentari mahalnya kedelai dipasaran.
Meskipun mungkin benar bahwa karena Cina memborong kedelai untuk babi sehingga stok kedelai berkurang, namun agak sensitif sih mengaitkan naiknya harga kedelai di Indonesia dengan babi Cina. Heemm…. Cina lagi, Cina lagi.
Pak menteri juga mengakui jika babi Cina bukan satu-satunya penyebab naiknya harga kedelai import, diantaranya produksi kedelai dalam negeri hanya mampu menghasilkan 500 hingga 750 ton per tahunnya sementara kebutuhan kedelai tiga juta ton pertahun.
Permasalahan tingginya harga kedelai bukan baru pertama terjadi. Masalah ini hampir berulang setiap tahun karena memang kenaikan harga kedelai tergantung siklus cuaca tempat kedelai tersebut ditanam.
Jika masalah kedelai itu berulang setiap tahun, mengapa kurang ada greget dari pemerintah untuk menaikkan produk kedelai dalam negeri ya? Mengapa petani tidak mengambil peluang menanam kedelai? Padahal kebutuhan kedelai masih sangat tinggi?
Seharusnya ini menjadi pekerjaan rumah Kementerian Pertanian, bagaiman membuat petani tertarik menanam kedelai. Kalau mereka diberi benih yang bagus, kalau mereka mendapat bantuan pupuk, kalau harga kedelai dilindungi, pasti petani tertarik menanam kedelai.
Hingga saat ini petani belum menilai kedelai sebagai tanaman utama, masih diposisikan sebagai tanaman penyelang bagi tanaman utama padi, jagung, tebu, tembakau, bawang merah atau tanaman lainnya.
Sebaran areal tanam kedelai di Indonesia tidak semata-mata ditentukan oleh kesesuaian agroklimat, tetapi juga dipengaruhi oleh budaya dan kebiasaan bertani masyarakat.
Di Indonesia, tanaman kedelai dapat tumbuh dengan baik di daerah dataran rendah hingga daerah dengan ketinggian 1.200 m dpl.
Kalau Indonesia mempunyai kemadirian produksi kedelai, maka tidak akan berulang setiap tahun produsen tahu dan tempe berteriak akan gulung tikar karena tidak mampu membeli kedelai. Tidak akan terjadi lagi produsen tahu tempe berhenti produksi karena sulit menentukan harga tahu dan tempe.
Bagi orang Indonesia, tahu dan tempe adalah makanan yang disantap baik sebagai lauk maupun sebagai camilan. Hampir semua orang Indonesia doyan makan tahu dan atau tempe. Namun kini pengrajin tahu dan tempe mengancam berhenti produksi karena tingginya harga kedelai import.
Penyebab kenaikan harga kedelai import juga berkaitan dengan masalah cuaca di Amerika Serikat dan badai El Nina di Argentina yang menyebabkan panen kedelai berkurang jumlahnya.
Karena jumlah produksi kedelai berkurang itulah yang menyebabkan harga kedelai naik. Jika sebelumnya harga kedelai per gantang USD 12 kini naik menjadi USD 18 per gantang. Di Indonesia harga kedelai sebelumnya Rp 9.000 per kilo sekarang Rp 11.000 sampai Rp 13.000 sekilo
Mahalnya harga kedelai import membuat produsen tahu dan tempe tidak mampu membeli bahan baku. Jika biasanya mereka mampu membeli 240-250 kilo kedelai untuk bahan baku, sekarang paling banyak beli 200 kilo.
Para perajin tempe dan tahu, dia berharap perhatian pemerintah lantaran kondisi ini berulang seperti tahun lalu, terlebih saat akan mulai memasuki Ramadan.