Solilokui

Hari-hari Kelam Setelah Gestapu

Tapi papan “Pancasila Tetap Emen, hanya berumur dua hari. Karena  dicabut oleh petugas Hansip. Mang Emen dipanggil ke depan  Bintara Pembina Désa (Babinsa). Ditanya maksud membuat  plang semacam itu.

Oleh  : Usep Romli HM

Setelah peristiwa “G-30-S/PKI”, 30 Séptémber 1965, timbul huru-hara berke-panjangan. Selain penangkapan terhadap para anggota PKI, baik kelas “kakap” maupun kelas “teri”, beserta simpatisannya, kehidupan sehari-hari berlangsung  penuh keresahan dan kegelisahan.

Pemerintah bagai terkena gempa bumi. Politik, ekonomi, hukum, kacau balau. Protes  dan  resolusi agar  PKI dibubarkan, bermunculan di mana-mana. Presiden Sukarno mulai diserang dari sana-sini. Dituduh membela dan melindungi PKI yang tak kunjung dibubarkan.  

Padahal Ketua CC PKI DN Aidit telah meninggal Nopvember 1965. Ditembak tentara di kawasan Solo (Peter Kasenda “Kematian D.N.Aidit dan Kehancuran PKI”, 2015). Demo anti Sukarno, dipelopori “Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia” (KAMI) yang berdiri 25 Oktober 1965.  Para demonstran menuntut tiga hal : bubarkan PKI, resufle kabinét, dan turunkan harga. Tiga  tuntutan ini disebut “tritura” (tri tuntutan rakyat), sebagai wujud “Amanat Penderitaan Rakyat” (AMPERA), yang menderita akibat gunjang-ganjing  “G-30-S/PKI”.

Presiden Sukarno berpidato pada 20 Januari 1966. Disiarkan RRI dan TVRI. Isinya, menuding mahasiswa dijadikan alat kekuatan “néokolonialisme-im-perialisme” (Nekolim), untuk merongrong bangsa, negara, serta pemerintah Indonesia yang  sah.

KAMI terus meningkatkeun demonstrasi. Universitas Indonésia (UI)  Jakarta menjadi basis perjuangan  mahasiswa. Begitu pula ITB  dan Unpad di Bandung. Para mahasiswa membuat  pemancar radio “Ampera” untuk menandingi RRI yang menjadi corong  pemerintah. Di Jakarta, terbit koran Harian Kami yang menjadi penyambung suara demonstran KAMI. Di Bandung, terbit mingguan “Mahasiswa Indonesia” yang sangat agresif menyerang Presiden Sukarno dan rezimnya

Untuk memperkuat KAMMI, di Bandung lahir “Kesatuan Aksi Sarjana Indonesia” (KASI) dan “Kesatuan Aksi Pemuda Pelajar Indonesia” (KAPPI). Tujuannya sama : Tritura, serta  menuntut pemerintah menjalankan Pancasila secara  murni dan   konsékwen, menegakkan  hukum yang benar (the rule of the law).

Hawa  panas di Jakarta, Bandung, Surabaya, dan kota-kota besar lain di seluruh  Indonésia, terasa hingga ke perkampungan. Para  aparat desa dan kecamatan, yang dulu “sumuhun dawuh” (yesmen) kepada Presidén Sukarno, dan  Nasakom, banyak yang sembunyi-sembunyi. Membuang rasa takut dan malu. Menutupi kesalahan di balik ilalang selembar.

Entah siapa memulai, di perkampungan bermunculan plang bertuliskan “Pancasila Jiwaku”, “Pancasila Tetap Jaya”, dan macam-macam lagi. Intinya memuja-muji Pancasila. Penduduk kampung, yang belum pasang , didesak segera membuat plang. Di tiap RT satu plang.

Mang Emen,  seorang bandar beras di pasar kecamatan, membaca hampir semua plang bertuliskan “Pancasila  Tetap Jaya”, mendadak kesal.  “Aku juga  bandar beras. Sama dengan Si Jaya. Mengapa dia amat belagu!” Mang Emen menggerutu. Segera ia menyuruh tukang bas membuat plang besar dari papan mahoni. Dicat putih. Kemudian mengupah  Jang Guru membuat tulisan dengan huruf besar-besar “Pancasila Tetap Emen”.

Sesudah selesai, dipasangi tiang kokoh, ditancapkan di pinggir alun-alun désa. Berdampingan dengan plang “Pancasila Tetap Jaya”.

Tapi papan “Pancasila Tetap Emen, hanya berumur dua hari. Karena  dicabut oleh petugas Hansip. Mang Emen dipanggil ke depan  Bintara Pembina Désa (Babinsa). Ditanya maksud membuat  plang semacam itu.

“Ya, salah orang-orang, mengapa menulis nama Si Jaya saja. Sedangkan saya tak pernah disebut-sebut. Padahal sama-sama bandar beras,” Mang Emen melampiaskan kekesalannya.

Setelah Babinsa menjelaskan, bahwa tulisan “jaya” itu artinya “kuat”, “gagah”. Bukan Jaya bandar beras, barulah Mang Emen, mengerti. Démo antikomunis dan antiSukarno, semakin membahana.  Diikuti harga-harga semakin melambung.

Presidén Sukarno akhirnya tak berdaya.  Tanggal 11 Maret 1966, mengeluarkan “Surat Perintah 11 Maret” (Supersemar). Menugaskan Jendral Suharto, Men-ko/Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD), untuk memulihkan keamanan dan ketertiban.

Tindakan pertama Jendral Suharto, setelah menerima “Supersemar” adalah membubarkan  PKI dan ormas-ormasnya di seluruh  Indonésia. Juga menangkapi  para mentri kabinet yang terlibat PKI. Antara lain  Subandrio (Wakil Perdana Mentri I), Yusuf Muda Dalam (Gubenur Bank Central), Ahmadi (Menteri Penerangan), Armunanto (Menteri Negara), dll.

Mereka diajukan ke  Mahkamah Militer Luar Biasa (Mahmilub). Subandrio sendiri  divonis hukuman mati, namun kemudian mendapat amnesti. Persidangan Subandrio dibukukan oleh Letkol CKH Ali Said, SH (Hakim Ketua Mahmilub) dan Letkol CKH Durmawel Ahmad,SH. Berjudul “Sangkur Adil. Pengupas Fitnah dan Chianat” (1967).   

Dalam Sidang Istimewa MPRS, Pebruari 1967, Presiden Sukarno dimakzulkan. Jendral Suharto diangkat menjadi Pejabat Presiden. Lalu dikukuhkan mejadi presiden RI pada  SI MPRS taun 1968.

Di kampung, Mang Jaya dan Mang Emen duduk bersila, bersama-sama di rumah Haji Sobar, pemilik pabrik heler yang berasnya didagangkan Mang Jaya dan Mang Emen. Mereka tekun mendengarkan siaran Mahmilub dan SI MPRS dari radio transistor empat batu, yang terpasang di meja ruang tamu. Kasus plang “Pancasila Tetap Jaya” dan “Pancasila Tetap Emen” sudah mereka lupakan sama sekali. [  ]

Back to top button