Hutan dan Taman Kota, Ruang Hidup Kita Semua
Warga Paris hingga sekarang, selalu bersyukur ada penguasa murah hati semacam Napoleon III. Sengaja menghibahkan tanah untuk dijadikan hutan. Sebuah perbuatan yang akan dianggap kontroversi dan kontradiktif menurut anggapan penguasa zaman sekarang, yang lebih suka “menjual” hutan kepada para pengusaha.
Oleh Usep Romli H.M.
Para penentu kebijakan, baik eksekutif maupun legislatif Indonesia, sering melakukan study tour ke luar negeri. Sayang, obyek study tour rata-rata tidak mengandung manfaat langsung terhadap kepentingan pengelolaan kota yang baik dan benar. Para eksekutif dan legislatif, tidak suka melakukan study tour ke hutan dan taman, sebagai tonggak kemajuan perdaban bangsa dan negaranya.
Ke Paris, Prancis, misalnya. Sebatas berbelanja di “Paris Look”, melihat-lihat menara Eiffel, museum Louvre, dan lain-lain yang termashur ke seantero jagat. Jarang menyempatkan diri berstudy-tour ke hutan kota “Bois St.Cloude” sebelah barat Paris. Padahal itu, hutan kota kebanggaan warga Paris dan seluruh Prancis. Bahkan nilainya dianggap berkali lipat lebih tinggi dari Eiffel atau Louvre. Sebab Bois St.Cloude, selain indah menawan, juga menjadi kawasan resapan air bagi kota Paris dan sekitarnya.
Setiap Jum’at sore, ribuan kendaraan rela antre menempuh kemacetan untuk mencapai Bois St.Cloude. Setengah penduduk Paris menikmati akhir pekan di hutan tersebut. Melepaskan kejenuhan hidup metropolitan, di tengah suasana hening tenang di bawah pohon-pohon berusia ratusan tahun. Baru kembali Ahad sore, menempuh lagi kemacetan, sebelum disergap kesibukan rutin di tempat kerja masing-masing keesokan harinya.
Tanah hutan pujaan Paris itu, seluas kl.100 hektare, merupakan pemberian dari Kaisar Napoleon III, abad 18. Khusus untuk ditata menjadi hutan lindung. Warga Paris hingga sekarang, selalu bersyukur ada penguasa murah hati semacam Napoleon III. Sengaja menghibahkan tanah untuk dijadikan hutan. Sebuah perbuatan yang akan dianggap kontroversi dan kontradiktif menurut anggapan penguasa zaman sekarang, yang lebih suka “menjual” hutan kepada para pengusaha.
Atau, cobalah ke India. Di situ banyak terdapat taman-taman dan hutan-hutan kota peninggalan para penguasa tempo dulu. Terutama para sultan dari dinasti-dinasti umat Islam yang menguasai anak benua tersebut selama kurang lebih 12 abad. Mereka mendirikan kota-kota yang penuh taman dan hutan, yang masih terpelihara hingga sekarang. Dijadikan kawasan resapan air, laboratorium botani dan segala macam kepentingan immaterial, untuk menunjang ilmu pengetahuan dan kebudayaan.
Di bagian kota Delhi Lama (Old Delhi), misalnya, dapat disaksikan Taman Lodi, yang dibangun pada zaman Dinasti Lodi (1451-1555). Sebuah taman hutan, berisi aneka macam flora dan fauna. Bunga-bunga yang dipetik dari Taman Lodi, selalu menjadi hiasan utama pada setiap hari kemerdekaan India. Pusat Taman Lodi, adalah musoleum megah yang merupakan makam dari raja-raja Dinasti Lodi, antara lain Bahlul Lodi, Nizham Khan Sikandar II dan Ibrahim II. Sekeliling taman, adalah hutan lindung yang oleh pemerintah India dijadikan pusat penelitian botani terpenting.
Para sultan Dinasti Mughal (1526-1858), selalu meninggalkan warisan taman dan hutan, untuk dilanjutkan atau dikembangkan oleh sanak keturunannya. Tokoh-tokoh Dinasti Mughal yang terkenal sebagai pecinta taman, pencipta hutan kota, antara lain Nuruddin Humayun (1555), Jalaluddin Akbar I (1556), dan Syah Jihan I (1628). Selain membangun musoleum Taj Mahal di Agra , Syah Jihan I juga membangun taman-taman dan hutan kota di India Utara, termasuk Bagh-e Babur Garden yang kini berada di Afghanistan. Termasuk Taman Hutan Salimar yang kini berada di wilayah Kashmir.
Menurut para pakar sejarah kebudayaan Islam India, antara lain Majumdar, penulis buku “The Delhi Sultanate” (1969), dan “An Advance History of India”, (1973), keberadaan taman dan hutan kota, selain dimaksudkan untuk keindahan dan pelestari lingkungan, juga untuk meredam keresahan dan kegelisahan penduduk dalam menghadapi keadaan sehari-hari. Sehingga angka kriminalitas dan huru-hara penuh kekerasan dapat ditekan ke tingkat paling minimal. Taman dan hutan ditempatkan sebagai produk ketinggian budaya dan peradaban zamannya.
Maka berdasarkan konklusi Majumdar, kota tanpa hutan dan taman, sangat tidak berbudaya dan tidak beradab. [ ]