Solilokui

Memuliakan Sungai, Dimuliakan Sungai

Kisah Lorelei, seorang gadis “jadi-jadian” yang amat cantik, suka duduk di atas batu, menyenandungkan lagu merdu, yang membuat mabuk kepayang para nelayan  yang “kawenehan” melihatnya, masih terus dipercayai hingga sekarang

Oleh :  Usep Romli HM

Di tengah duka derita akibat ancaman Corona Covid-19 dengan segala dampak memprihatikan, beberapa wilayah terkena banjir musiman. Antara lain di beberapa kecamatan Kab.Bandung, Jawa Barat, di Jawa Timur, Kalimantan Selatan dlsb, sebagaimana ditayangkan tv.  Warga setempat, ibarat sudah jatuh tertimpa tangga. Dari atas ancaman wabah, dari bawah luapan air.        

Bencana banjir selalu terulang setiap tahun. Yang disalahkan selalu soal cuaca ekstrim dan tumpahan air dari langit yang lebih dari biasa. Atau gorong-gorong tersumbat, dll., yang hanya masalah sekunder. Nyaris tak ada yang menyalahkan atau memikirkan kondisi sungai yang rusak berat, sejak hulu hingga hilir, sebagai masalah primer banjir musiman. Padahal sungai merupakan sarana penampung air. Namun tak pernah ada pemeliharaan yang komprehensif integral.

H Usep Romli HM

Hulu sungai dibiarkan gundul, kawasan tangkapan air di sekitarnya dibiarkan merana. Batang sungai beralih fungsi menjadi macam-macam penampung limbah pembuangan.  Koran “Pikiran Rakyat” tahun 2017 pernah memuat kritikan pedas dua orang  “bule” kakak beradik asal Paris, Prancis, Gary Benchegib (22 th), dan Sam Benchegib (20 th) tentang kerusakan Sungai Citarum. Mereka  menyusuri Sungai Citarum, dari Majalaya (Kabupaten Bandung) hingga Cihampelas (Kabupaten Bandung Barat). Menggunakan jenis perahu kayak terbuat dari 300 botol plastik bekas kemasan air  minum,  kedua “bule” tersebut, menemukan Sungai Citarum sebagai sungai terpolutif di dunia. Setiap hari menampung 25 ribu meter kubik sampah domestik dan 280 ton limbah industri. Sepanjang perjalanan, mereka berdua memakai pakaian tertutup rapat dari ujung kepala hingga ke ujung kaki, mirip APD untuk menghadapi virus Covid-19. Maksudnya agar terlindungi dari racun Sungai Citarum.

Hal  serupa diungkapkan geolog Budi Brahmanto, dalam buku “Esai Bumi” (editor Oman Abdurrahman, dkk., Badan Geologi, 2015). Segala jenis sampah yang dibuang masyarakat Cekungan Bandung berkumpul semua di Sungai Citarum. Limbah rumah tangga (termasuk limbah septic-tank), limbah pabrik, plastik, styrofoam, sendal jepit, boneka, dan lain-lain. Bahkan macam-macam sisa-sisa bangunan, dari bahan besi yang ikut terbawa banjir. Semuanya tersangkut  pada batu-batu keras intrusi dasit, sisa-sisa gunung  api purba berumur era Pliosen di Curug Jompong, selatan Cimahi.

Maka wajar jika Sungai Citarum menjadi pengirim banjir rutin di kawasan selatan Bandung. Begitu pula sungai-sungai lain di Jawa Barat, yang memiliki nasib serupa. Antara lain Sungai Cimanuk yang “ngamuk” September 2016 dan 7 April 2020, merenggut puluhan korban jiwa dan puluhan lagi hilang lenyap. Sungai Ciliwung telah lama menjadi “kambing hitam” bencana banjir di Bogor dan sekitarnya, serta DKI Jakarta.

Para orang tua Sunda, yang bukan pakar ekologi, namun memiliki kearifan alamiah dan puya pertalian batin dengan alam sekitar, menyatakan,  air itu sumber kebaikan dan kebajikan. Hanya karena diperlakukan sewenang-wenang, dengan buruk dan jahat, mengembalikan kontan kepada para pelakunya, berupa bencana banjir, longsor dan sebagainya.

Tampilan fisik sungai di negeri kita, semua kumuh, legam. Tak berfungsi sebagai sumber peradaban manusia. Jangankan yang  bersifat mental spiritual, yang fisik-material juga tidak. Tidak lagi menjadi sumber  perkembangan ekonomi, seperti pada zaman Sundakalapa di muara Ciliwung. Atau di Muara Gembong (Karawang) yang menjadikan Sungai Cimanuk primadona wisata, seni budaya, rekreasi murah dan nyaman. Seperti zaman Sinyo dan Noni, main “icikibung” dan “perang simbeuh” di alirannya. Atau Kangjeng Dalem (Bupati) beserta para “menak[1]”,  berkenan “ngalintar” ditemani para “palika’ (tukang selam), menangkap ikan kancra yang mulus-mulus segar di setiap “leuwi” alias lubuk  yang berair jernih.          

Semua tak ada lagi. Kecuali banjir dan limbah menjijikkan, yang mematikan semua habitat sungai.

Jauh kalah dengan sungai-sungai di negeri orang, termasuk di negara-negara raksasa industri Eropa, seperti Perancis, dan Jerman. Industri mereka berjaya di dunia internasional sejak era “Revolusi Industri” awal abad 19 . Namun sungai-sungai di sana, tetap bersih. Tak ada limbah industri di buang ke sungai. Tak ada sampah produk urban, memadati aliran sungai seperti Cikapundung, Citarum, Ciliwung, Kapuas, Barito, Musi, dlsb.

Tengok saja Sungai Seine di kota Paris, Prancis. Begitu bersih, resik dan asri. Menjadi kebanggaan  sekitar lima juta penduduk kota termashur itu, juga kebanggaan seluruh Prancis. Sungai Seine menjadi salah satu harta karun devisa nasional dari bidang kepariwisataan. Para pengunjung  domestik maupun mancanegara, dapat menikmati keindahan kota Paris yang penuh bangunan-bangunan bersejarah, dari atas “bateau mouche” ( perahu untuk melihat pemandangan) yang mengarungi Sungai Seine. Karya-karya arsitektur bernilai tinggi, seperti Katedral Notre Dame (buatan abad 12),  “Pont Neuf” (jembatan baru, buatan abad 17), Louvre (gedung museum kesenian terbesar di dunia), dan lain-lain, semua terletak di sepanjang aliran Sungai Seine. Sehingga dapat dinikmati sosoknya dari tengah sungai. Dua bagian kota Paris, yang dibelah Sungai Seine menjadi “Rive Droite” (Tepi Kanan) sebelah utara, dan “Rive Gauche” (Tepi Kiri) sebelah selatan, sama-sama indah dan terawat. Didukung keberadaan sungai yang juga indah dan terawat.

Kota Bandung, yang (pernah) dijuluki “Parisj van Jawa” (Paris dari Pulau Jawa), memiliki Sungai Cikapundung yang membelah kota. Seharusnya serupa dengan Sungai Seine yang membelah kota Paris. Sayang, jauh panggang dari api. Sungai Cikapundung malah menjadi korban kebiadaban sampah yang dibuang sembarangan oleh orang-orang gendeng tak bertanggung jawab, dan menambah beban polusi Sungai Citarum, tempat Sungai Cikapundung bermuara.

Sungai besar  lain di Eropa yang tetap terpelihara adalah Sungai Rhein. Walaupun berhulu di Pegunungan Alpen, Swiss, dan bermuara di Laut Utara, Belanda, serta melalui banyak negara, Sungai Rhein yang panjangnya 1.350 km, terkenal sebagai “sungai Jerman”. Kota industri besar di Jerman, antara lain Karlsruhe, Mennheim, Ludwigshafen, dan banyak lagi, berada di sisi-sisi S.Rhein. Selain menyediakan air untuk kepentingan industri, Sungai Rhein juga menyediakan air untuk ladang-ladang anggur di sepanjang alirannya. Tapi tidak sebagai saluran buang besar bagi industri!

Mutu baku air S.Rhein yang bebas dari pencemaran limbah, sangat menunjang kesuburan tanaman anggur di kawasan pertanian Jerman, sebagai salah satu negara produsen anggur terbaik di dunia, selain Prancis.

Kelestarian Sungai Rhein dengan segala peran dan fungsinya bagi kehidupan umat manusia sejak berabad lampau hingga masa kini, menjadikannya sebagai sungai legendaris. Kisah Lorelei, seorang gadis “jadi-jadian” yang amat cantik, suka duduk di atas batu, menyenandungkan lagu merdu, yang membuat mabuk kepayang para nelayan  yang “kawenehan” melihatnya, masih terus dipercayai hingga sekarang. Mungkin karena diabadikan dalam bentuk puisi epik oleh pujangga Jerman abad 19, Heinrich Heine, sehingga selalu menjadi buah bibir dari generasi ke generasi.

Selain itu, Sungai Rheine juga menjadi jalur lalu-lintas terpenting di Eropa Barat. Industri berat di kawasan Ruhr yang terkenal dengan tambang batu bara, pabrik pengecoran besi dan baja, sangat tergantung kepada Sungai Rheine. Terutama untuk pengiriman bahan mentah dan mengekspor  produk jadi. Maka  di beberapa kota pinggir Sungai Rheine, terdapat pelabuhan-pelabuhan penting, seperti Dusseldorf, Duisburg, dll.

Kehadiran pabrik-pabrik industri raksasa itu, sama  sekali tidak mengganggu Sungai Rheine. Bahkan sungai tersebut, nampak  lebih jernih dari hari ke hari. Seharusnya, para industriawan Indonesia, perlu belajar ke industriawan Jerman, bagaimana cara menjaga kelestarian sungai di tengah kejugalaan industri mereka. Sehingga nasib yang menimpa sungai-sungai di tanah air,  dapat diubah ke arah lebih baik.

Bukan hanya di Eropa, di negara tetangga juga, hampir  semua sungai terjaga terpelihara.   Seperti Sungai Chao Phraya, di Bangkok, Thailand. Sungai sepanjang 400 km, lebar 300 m, dan kedalaman 20-40 meter itu tak pernah sepi dari lalu lalang alat angkutan air. Termasuk kapal-kapal kargo pengangkut beras yang akan diekspor ke luar negeri. Kebersihan sungai yang membelah kota metropolitan Bangkok itu, dipuji dan dikagumi setiap orang yang berlayar  mengarunginya. Tak ada sampah dan limbah di situ. Pemerintah Thailand sangat keras dan tegas menjaga kebersihan Sungai Chao Phraya yang di sepanjang sisi-sisinya terdapat hotel-hotel besar, obyek-obyek wisata terkenal, perkantoran, rumah sakit dan juga istana raja.

Pada salah satu kanal Sungai Chao Phraya, terdapat lokasi pengembang-biakan ikan patin. Ratusan atau mungkin ribuan ikan patin segera bermunculan ke permukaan, begitu mendengar suara deru mesin perahu mendekat. Menanti roti atau makanan lain dilemparkan para wisatawan. Mereka berebut. Membuat air menggelegak dan menggoyang perahu. Atraksi alamiah yang berlangsung beberapa menit itu, sungguh mengesankan. Betapa di sebuah sungai besar di tengah kota, ikan masih dapat hidup terpelihara. Bebas dari keracunan limbah. Juga bebas dari penangkapan liar tak kenal batas.

Sungai-sungai di negara orang itu, begitu dimuliakan. Tidak dihinakan seperti di negeri kita.

Sungai baru sibuk diperhatikan jika banjir menerjang. Namun tak pernah ada upaya serius menangani penyebabnya. Penghijauan di bagian hulu dan sepanjang daerah alirannya (DAS) lebih sering hanya seremonial belaka. Pemeliharaan dari ancaman kerusakan, dianggap  angin lalu saja. [  ]


[1] Bangsawan Sunda yang umumnya kolaborator penjajah

Back to top button