Solilokui

Ideologi dan Dinamika Peradaban

Sebaliknya kapitalisme–ada embel-embel ismenya setelah lahirnya Sosialisme – yang sebenarnya bukan ideologi melainkan lebih menggambarkan hubungan permodalan di antara pola hubungan antarmanusia itu sendiri––baik dari sisi produksi, keuangan, perdagangan, perburuhan dan lainnya–terasa lebih awet karena mungkin dia mewakili sikap dasar manusia itu sendiri yang seperti halnya laut yang tak pernah penuh oleh ribuan sungai.

Oleh: Marlin Dinamikanto*

JERNIH– Ideologi itu kacamata Kuda. Jalannya lurus. Lempang. Determinan. Tapi dinamika peradaban itu berkelok-kelok. Tidak pernah lempang. Mengikuti konsistensi manusia. Sialnya, konsistensi manusia itu ada pada ketidak-konsistenannya. Tapi suka atau tidak suka kita hidup di dalamnya.

Marlin Dinamikanto

Maka sering suatu negara yang mempraktikkan ideologi secara ketat jalannya nabrak-nabrak atau bahkan masuk jurang. Uni Soviet dan bekas kadipaten-kadipatennya di Eropa Timur sebagai contoh. Pengekangan-pengekangan ala Bolshevik yang proletariat memicu pemberontakan jiwa-jiwa manusia yang hakekatnya merdeka. Seratus persen atau hanya dua puluh persen tak penting. Yang penting jangan 100 persen dikekang seperti kuda penarik andong.

Leviathan dan kekacauan

Sebaliknya kapitalisme–ada embel-embel ismenya setelah lahirnya Sosialisme – yang sebenarnya bukan ideologi melainkan lebih menggambarkan hubungan permodalan di antara pola hubungan antarmanusia itu sendiri––baik dari sisi produksi, keuangan, perdagangan, perburuhan dan lainnya–terasa lebih awet karena mungkin dia mewakili sikap dasar manusia itu sendiri yang seperti halnya laut yang tak pernah penuh oleh ribuan sungai.

Hobbes sendiri sejak abad pertengahan mengatakan hidup adalah pertarungan – semua lawan semua. Untuk itu perlu Leviathan. Tanpa Leviathan yang muncul adalah kekacauan. Leviathan yang perkasa dan pilih tanding itu yang memiliki otoritas penuh mengendalikan kehidupan. Dari sana tercipta peraturan-peraturan – tertulis atau cukup dikonvesikan secara adat. Otoritas yang dimiliki oleh Leviathan itu yang disebut Kedaulatan.

Bagaimana mungkin seseorang mengaku pemimpin kalau tidak berdaulat? Tanpa kedaulatan yang utuh, tidak terbagi, maka yang terjadi kekacauan. Political unrest– atau gejolak politik yang tidak kenal istirahat. Jadi menarik apabila Kompas membuat survei dengan hasil, tantangan utama bangsa ini bukan korupsi. Korupsi masih yang ke-2, tantangan utamanya adalah intrik politik. Kenapa ada intrik politik? Kepemimpinan itulah jawabannya.

Leviathan sebelum abad pertengahan dibentuk oleh pertempuran. Bangsa Viking menyerbu kepulauan Britania lalu lahirlah Angelis yang menyingkirkan bangsa Britany asli seperti Walsh, Celtic, Cornish dan lainnya. Datang lagi penguasa Roma ke Inggris. Di Turki ada Ottoman yang wilayahnya meliputi seluruh jazirah Arab, Afrika Utara hingga Hongaria. Di Mongolia ada Genghis Khan yang menurun ke anaknya Ogodei Khan hingga ke Kublai Khan yang menguasai hampir seluruh Asia dan lebih dari separo Eropa.

Demokrasi adalah penemuan penting peradaban manusia. Berakar dari Filsafat Yunani – Demos dan Cratos yang tadinya hanya untuk mengatur kekuasaan di dalam kota – dan oleh karena itu penduduknya disebut Citizen yang belakangan diterjemahkan sebagai warga negara – sejak abad Renaissance – acap kali disebut Abad Pencerahan – mulai menyebar ke jantung Eropa, Amerika dan akhirnya dianut oleh sebagian besar sistem pemerintahan di dunia.

Renaissanceitu sendiri – sebagaimana dikutip dari Cambridge Dictionary – adalah periode pertumbuhan minat dan aktivitas baru di bidang seni, sastra dan gagasan di Eropa sepanjang Abad ke-15 dan ke-16.

Dari sana selain muncul aktivitas intelektual juga meningkatkan aktivitas perdagangan yang melahirkan saudagar-saudagar kaya – baik dari lingkungan masyarakat biasa atau bangsawan rendahan. Mereka lah kelas menengah borjuasi yang di antara sesamanya bersosialita–-nongkrong di Café-Café membahas berbagai hal. Kumpulan orang-orang ini yang selanjutnya disebut society.

Kelahiran demokrasi-–selain berakar dari sistem pemerintahan kota di Yunani-– tidak terlepas dari kebiasaan ngerumpi kelas menengah di Eropa Barat. Tongkrongan mereka biasanya diisi para saudagar atau manajer kaya dan terdidik yang merasa hidupnya diperas oleh kaum bangsawan.

Sejarah ideologi

Di Inggris mereka melakukan gerakan “Glorious Revolution” yang memaksa Raja menyetujui diberlakukannya Bill of Rights 1689 dan Act of Settlement 1701 yang membatasi kekuasaan raja – meskipun sebelumnya lewat Magna Charta kekuasaan Raja di Inggris sudah dibatasi.

Di Prancis situasinya lebih berdarah-darah. Lewat pergolakan sosial selama 10 tahun sejak penyerbuan penjara Bastille – atau lebih dikenal dengan sebutan Bastille Day pada tanggal 14 Juli 1789 yang dipelopori kaum borjuis dengan slogan liberte (kebebasan), egalite(persamaan) dan fraternite(persaudaraan) yang berhasil mengusir Dinasti Bourbon yang berkuasa sejak tahun 1589. Berbagai kekacauan terjadi sebelum akhirnya Napoleon mengambil alih kendali dan memimpin Perancis sejak tahun 1799.

Demokrasi yang dilahirkan kaum borjuasi selanjutnya menemukan tanah di luar Eropa – dimulai dari Amerika Serikat hingga secara prosedural dianut oleh sejumlah negara Amerika Latin yang sebelumnya dikuasai Spanyol, Portugal dan Italia. Bahkan Hitler – seorang Kopral angkatan bersenjata di Jerman – bisa berkuasa di Jerman lewat – awalnya – prosedur demokrasi sebelum membubarkan partai-partai politik lainnya.

Rusia sendiri lewat Revolusi Bolshevik 25-26 Oktober 2017 akhirnya membelah dunia menjadi dua blok utama – pertama Blok Demokrasi Liberal yang dipimpin oleh Amerika Serikat dan negara-negara Eropa Barat – kecuali Swiss dan Austria yang menyatakan netral – berlawan blok sosialis yang dipimpin oleh Uni Soviet dan sekutu-sekutunya di Eropa Timur, Kuba dan beberapa negara Afrika menciptakan perang dingin yang juga membawa banyak korban.

Sosialisme sendiri menemukan akar tumbuhnya sejak Revolusi Industri yang dimungkinkan oleh adanya berbagai penemuan teknologi penting, seperti mesin uap. Dari sana muncul mesin-mesin berbahan bakar fosil – baik itu mesin-mesin pabrik, kapal uap, kereta api, kendaraan bermotor, kapal terbang, pembangkit tenaga listrik dan lainnya. Kuda yang selama berabad-abad melayani angkutan barang dan orang dipaksa pensiun sejak dimulainya Abad ke-20.

Kondisi pekerja pabrik yang memprihatinkan, upah murah dengan jam kerja yang panjang, serta gagasan-gagasan sosialisme tentang pembebasan manusia dari keterasingan – alienasi – telah memukau bukan saja kaum pekerja di Eropa, melainkan juga para perintis kemerdekaan di sejumlah negara jajahan – termasuk Indonesia.

Lingkungan berpikir H.O.S Tjokroaminoto, Soekarno, Hatta, Syahrir, Tan Malaka, dan termasuk tokoh-tokoh Islam di Indonesia seperti Agus Salim, Abdoel Moeis, tidak terlepas dari gairah perubahan zaman yang ditawarkan oleh Sosialisme. Namun belakangan Sosialisme yang arahnya sudah Marxism-Leninism bertabrakan kepentingan dengan Pan Islamisme yang di Indonesia mendorong lahirnya Masyumi yang diilhami Pan-Islamisme.

Sedangkan Bung Karno menggabungkan ketiganya – ditambah dengan gagasan Sun Yat-sen tentang San Min Chu I –menawarkan Pancasila sebagai ideologi yang secara historis digali dari “kosmopolitanisme” nenek moyang bangsa Indonesia.

Globalization Vs Populism

Kini–sebagaimana diklaim Francis Fukuyama dalam “The End of History and the Last Man”, kapitalisme tampil sebagai pemenang tunggal peradaban. Bubarnya Uni Soviet dan tampilnya China sebagai kekuatan baru perekonomian dunia yang sudah diramalkan John Naisbitt lewat “Megatrend 2000 yang ditulis sejak 1990-an seolah membenarkan anggapan bahwa kapitalisme adalah pemenang global.

Sejak itu “kitab suci Globalisasi” mulai dikhotbahkan oleh Amerika Serikat dan sekutunya lewat lembaga-lembaga multi lateral – sejak disepakatanya General Agreement on Tariff and Trade lewat pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia (WTO/ World Trade Organization) yang didirikan sejak 23 tahun lalu. Dari sana muncul kawasan-kawasan perdagangan bebas yang berjalan gradual seperti China-Asean Free Trade Agreement (CAFTA), North America Free Trade Agreement (NAFTA) dan sebagainya.

Globalisasi yang gagasan besarnya akan membawa pemerataan kemakmuran (prosperity) ke seluruh dunia ternyata gagal di negara asalnya. Ekspansi industri dan perdagangan China, serta negara-negara lain yang baru tumbuh seperti India, Korea Selatan – sory, Indonesia belum masuk hitungan – langsung mengancam lapangan pekerjaan orang-orang Amerika dan Eropa Barat. Nike, Adidas, Reebok lebih suka mengorder ke partnernya di luar AS atau Eropa. Terjadilah pengangguran di AS, Prancis, Austria, dan lainnya sehingga mereka kembali terpukau oleh ide-ide nasionalisme–kadang rasisme White Supremacy.

Perkembangan teknologi informasi, robotic, kecerdasan buatan, canggihnya pasar keuangan global, secondary market, praktek shadow banking yang makin tidak terkendali pada alhirnya banyak menyengsarakan kaum pekerja yang dibiarkan seperti laying-layang putus dalam peradaban yang bergerak cepat. Kebanyakan di antara mereka sekedar menjadi penonton atas shifting condition yang terjadi di sekelilingnya.

Kondisi itu yang membuat bangkitnya populisme di sejumlah negara – termasuk Amerika Serikat dan belakangan Italia. Partai-partai sayap kanan di Prancis dan Jerman – kendati belum cukup untuk membentuk pemerintahan – namun juga mengalami peningkatan kursi parlemen yang luar biasa. Mereka ini anti imigran, anti asing yang sangat bertentangan dengan “kitab suci Globalisasi: yang masih menjadi “arus utama” pemikiran pemimpin mereka.

Belum lagi menghadapi isu terorisme yang semula dirancang intelijen AS, Inggris dan Israel untuk melokalisir konflik Timur Tengah tidak langsung mengancam Israel. Terorisme dengan berbagai faksi tentu saja akan semakin sulit mengendalikannya karena muncul kelompok-kelompok dan cara-cara baru dalam menjalankan aksinya.

Itulah – suka tidak suka – gambaran besar yang terjadi di sekitar kita. Sedangkan gambaran kecil lainnya seperti semakin menyempitnya ruang fiskal akan menjadi persoalan tersendiri bagi pemerintah untuk menjalankan roda pemerintahannya. Dari mana pemerintah mampu mencukupi kebutuhannya saat ekonomi lesu? Dari pajak? Yang sudah-sudah saja target tidak pernah terpenuhi.

Maka utang luar negeri yang paling mungkin untuk dilakukan di saat utang luar negeri Indonesia sudah semakin membesar. Belum lagi fluktuasi harga energi fosil yang kadang jatuh dan kadang pula digdaya. Beruntung dalam lima tahun terakhir harga minyak dunia masih dalam kendali. Dampak buruknya, energi baru terbarukan yang lebih ramah lingkungan menjadi lebih mahal dan kurang diminati oleh penanam modal. Sedangkan negara yang kesulitan keuangan kembali ke cara-cara pragmatis dengan mengeruk batubara yang memang murah.

Singkat cerita Ideologi dan peradaban yang kita kenal sejak akhir Abad ke-20 sudah mengalami perkembangan yang luar biasa pesat. Itu terjadi jauh setelah Daniel Bell menulis “The End of Ideology” pada tahun 1970-an. Kita – bahkan pemerintah sendiri – sudah kehilangan kerangka ideologis yang actual – sama-sama kita rasakan – sehingga segala persoalan yang muncul diselesaikan dengan manajemen “pemadam kebakaran”.

Dari situ saja sebenarnya sudah terlihat, pemerintah tidak memiliki visi dan gambaran besar untuk menjawab tantangan peradaban yang sedang dan akan terus berkembang. Bagaimana pula mereka bisa menghadapi tantangan-tantangan kecil yang menghadang, kecuali dengan cara-cara mudah – seperti misal kembali berutang?

Ideologi dalam pengertian Abad ke-18 hingga ke-20 mungkin sudah berakhir. Tapi ideologi-ideologi baru dengan sedikit pengikut yang tidak berwujud – bahkan tanpa “Kitab Suci” – sedang bermunculan seperti terorisme, populisme, termasuk juga pragmatism dalam pengelolaan fiskal yang menciptakan debt trap dan ketergantungan ekonomi kepada segelintir pengusaha yang menciptakan kesenjangan akan semakin membuat kusutnya persoalan.

Itulah yang sebenarnya tantangan yang kita hadapi hari ini hingga setidaknya 20 tahun ke depan. Apakah elite politik yang ada siap menjawab persoalan ini?Belum lagi perubahan besar paska Pandemi yang mungkin lebih memicu tentang kesadaran lingkungan dan solidaritas sosial?

Ini yang mungkin perlu dihitung saat kita memilih pemimpin di masa depan. Tapi bagaimana mungkin lahir pemimpin yang mampu menjawab tantangan perubahan kalau sistem politiknya masih kuno, kaku dan membatasi pilihan rakyat? Nah, ini yang mesti menjadi bahan renungan kita bersama. [ ]

*Penyair, aktivis pergerakan mahasiswa di masa muda.

Back to top button