“Ilang Waru’ah”
Atau pejabat yang sibuk dengan “usaha” lain di luar tugas kepejabatan. Jabatan dianggap jauh terpisah dari kehidupan dirinya di luar jam kerja. Maka “enjoy” saja jika ada pejabat publik menjadi “bintang iklan” dan semacamnya. Seolah-olah harga suara rakyat yang memilihnya sangat sangat murah dibanding kontrak dari perusahaan yang produknya diiklankan.
Oleh : Usep Romli HM
Di lingkungan pesantren, terdapat istilah “ilang waru’ah”. Artinya, hilang harga diri akibat melanggar etika yang berlaku. Santri yang salat tanpa tutup kepala, dianggap “ilang waru’ah”. Juga santri yang keluar “kobong” (kamar pondok), memakai celana “kolor” pendek ketat, “ilang waru’ah”. Sebab ada aturan tak tertulis (konvensi), “kolor” santri harus menutupi lutut. Yaitu “kolor sontog”.
Itu “ilang waru’ah” untuk santri. Untuk ajengan atau kiyai, lebih berat lagi. Umpamanya saja, ajengan tidak boleh makan-minum di sembarang tempat. Apalagi sambil berdiri. Termasuk nongkrong di jongko kopi, duduk-duduk ngobrol ngaler ngidul…
Bahkan berjalan sendirian ke suatu tempat di luar pesantren, dikategorikan “ilang waru’ah”. Sehingga harus ada orang lain yang menemani. Biasanya santri senior. Menjadi “khadam”. Semacam ajudan yang mengiringi ajengan. Membantu membawakan tas atau alat lain.
Tradisi “ilang waru’ah” tidak dibakukan secara formal. Namun telah menjadi kebi-asaan lumrah yang dipatuhi semua pihak selama berada di lingkungan pe-santren. Pelaku “ilang waru’ah”, tidak mendapat “ta’jir” (hukuman), baik denda (kifarat) maupun fisik (kepala digundul atau kaki dipukul lidi). Hanya hukuman sosial bersifat moral saja. Lirikan tajam mata santri lain kepada pelaku “ilang waru’ah” sudah cukup menjadi hukuman batin. Sehingga mendorong “muhasabab” (instrospeksi) dan kehati-hatian agar tidak melanggar lagi.
Jika dibandingan dengan sistim pemerintahan, mungkin tak jauh berbeda. Hanya dalam cara saja, yang teratur dan bersifat protokoler. Seorang pejabat harus mengenakan pakaian seragam begitu pada saat-saat tertentu, dan seragam begini pada saat lain. Ada seragam harian (PDH), ada seragam lapangan (PDL) dan seragam upacara (PDU). Waktu dan acara juga diatur sedemikian rupa.
Bagi yang melanggar, tersedia hukuman admistratif dan disiplin yang akan mem-pengaruhi credit point kinerja yang bersangkutan. Mungkin secara material, lebih berat dari pada hukuman melanggar “ilang waru’ah” di pesantren, walaupun secara moral tak berdampak sama sekali.
Hal ini terlihat dari banyaknya pelanggaran yang dilakukan, namun dianggap “damang” saja. Easy going. No problem. Bahkan semakin banyak yang “ilang waru’ah”, semakin mantap dan populer saja terasa.
Misalnya, pejabat yang terlibat korupsi. Nyaris tak kelihatan beban moral dan beban sosialnya. Di hadapan kamera televisi senyum-senyum ceria. Kemudian, orang-orang yang dituduh mencicipi hasil korupsi, cukup menyatakan “tidak” sambil cengar-cengir, sekalipun namanya berkali-kali disebut–sebut oleh terdak-wa dan saksi di persidangan.
Begitu pula pejabat yang nepotis. Menjadikan istri, suami, kakak, adik, anak, dan sanak saudara lain, mendapat jabatan di lingkungannya. Keterpilihan secara demokratis, menjadi tameng.
Atau pejabat yang sibuk dengan “usaha” lain di luar tugas kepejabatan. Jabatan dianggap jauh terpisah dari kehidupan dirinya di luar jam kerja. Maka “enjoy” saja jika ada pejabat publik menjadi “bintang iklan” dan semacamnya. Seolah-olah harga suara rakyat yang memilihnya sangat sangat murah dibanding kontrak dari perusahaan yang produknya diiklankan.
Jika hadiah dari seseorang terhadap seorang pejabat, termasuk hadiah pernikahan anaknya sendiri, harus dilaporkan ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), kalau-kalau berbau “gratifikasi”, mengapa honor iklan dari sebuah perusahaan kepada seorang pejabat tidak dianggap “gratifikasi”. Untuk menilai hal tersebut, pendapat Khalifah Umar bin Khattab, tatkala menegur istrinya yang mendapat hadiah dari istri Kaisar Romawi, perlu direnungkan :
“Wahai istriku, jika engkau bukan istri Umar bin Khattab yang ditakdirkan Allah SWT menjadi pemimpin umat beriman, mustahil istri Kaisar Rumawi mau memberi hadiah kepadamu seperti ini.”
Jika masih ada, tradisi “ilang waru’ah” di pesantren, pasti lebih ampuh daripada sistem protokoler dan tata cara pemerintahan yang berlaku di pusat dan daerah. Mungkin karena tertulis jelas, dan setiap pelanggaran mendapat hukuman adminitratif dan disiplin, tidak lagi memiliki effek jera, baik secara fisik maupun mental. Berbeda dengan hukuman moral terhadap “ilang waru’ah” yang membuat santri pelanggar sulit tidur semalaman. [ ]