SolilokuiVeritas

In Memoriam Harry Wibowo: Jejak Langkah Aktivis-Pemikir yang tak Pernah Mundur

Harry Wibowo, atau Harwieb begitu kami menyebutnya, adalah wajah khas dari gerakan itu. Di setiap pertemuan, di setiap diskusi, ia seperti tak pernah datang sendiri. Ia membawa bersamanya pemikiran Karl Marx, Max Horkheimer, Erich Fromm, Ivan Illich, Paulo Freire. Ia pembaca setia “Pedagogy of the Oppressed”, meyakini pendidikan bukan alat domestikasi, tapi alat pembebasan. Dalam pikirannya, mahasiswa tak cukup sekadar turun ke jalan. Ia harus turun ke akar gagasan. Jika tidak, ia hanya jadi megafon, bukan mercusuar.

Oleh     :  Denny JA

JERNIH– Pagi tadi, 19 Mei 2025, saya mendapat kabar: Harwieb (Harry Wibowo) telah pergi.

Langit Jakarta tampak biasa-biasa saja. Namun di dalam dada saya, sesuatu runtuh perlahan. Seorang sahabat lama, seorang aktivis-pemikir, dan pemikir-aktivis yang langka, telah kembali ke pangkuan keabadian.

Saya teringat wajahnya dalam potongan koran Kompas tahun 1986. Di halaman satu, terpampang foto kami bertiga: saya, mewakili Kelompok Studi Jakarta; Taufik Rahzen dari Yogyakarta; dan Harry Wibowo, dari Bandung.

Usia kami masih muda, antara 23 dan 26 tahun. Namun semangat kami telah menua sebelum waktunya, mengunyah wacana, memuntahkan perlawanan melalui ide.

Selama tiga hari berturut-turut, Kompas menulis tentang gelombang baru gerakan mahasiswa: dari demonstrasi ke studi, dari kerumunan jalanan ke percakapan malam yang membentuk naskah pemikiran.

Berita itu muncul sekian waktu setelah kolom saya sebelumnya di Harian Kompas. Saya menulis opini berjudul “Negara, Masyarakat, dan Mahasiswa” yang dimuat pada 11 Juni 1986.¹

Kolom itu menyatakan bahwa telah lahir generasi baru. Tak seperti aktivis 1966 atau 1970-an, kami lebih menyerupai Bung Karno, Bung Hatta, Bung Sutomo. Mereka membangun bangsa dari meja diskusi, dari naskah dan gagasan.

                         ***

Harry Wibowo, atau Harwieb begitu kami menyebutnya, adalah wajah khas dari gerakan itu. Di setiap pertemuan, di setiap diskusi, ia seperti tak pernah datang sendiri.

Ia membawa bersamanya pemikiran Karl Marx, Max Horkheimer, Erich Fromm, Ivan Illich, Paulo Freire. Mereka semua hidup dalam cara Harwieb berbicara.

Bandung menjadi ladang tempat dia menanam ide-ide progresif dengan cara yang elegan. Ia bukan tukang teriak, tapi pemantik bara.

Bicaranya tenang, penuh kutipan, namun suaranya membuat ruang menjadi sunyi. Karena kami tahu, kami sedang menyimak seseorang yang bukan hanya membaca buku, tapi dihidupi oleh buku.

Kala itu orang luar menyebut generasi kami “perpustakaan berjalan.” Dan Harwieb adalah jilid lengkapnya.

Ia pembaca setia “Pedagogy of the Oppressed”. Ia meyakini pendidikan bukan alat domestikasi, tapi alat pembebasan. Dalam pikirannya, mahasiswa tak cukup sekadar turun ke jalan. Ia harus turun ke akar gagasan. Jika tidak, ia hanya jadi megafon, bukan mercusuar.

Dari 1986 hingga 1991, saya dan Harwieb kerap bertemu. Di sudut warung kopi atau ruang seminar yang pengap, kami membangun dunia. Lalu saya melanjutkan studi ke Amerika. Tujuh tahun terlewat.

Dan ketika saya pulang, arah hidup kami menyebar, namun mata air asalnya tetap sama.

                                ***

Saya lalu menjadi host acara televisi, membangun lembaga survei, menulis kolom, bahkan merambah ke bisnis dan tambang. Namun akar saya tak berubah: aktivisme dan pemikiran.

Sementara Harwieb tetap teguh di jalur sunyi. Ia bekerja di Prisma, jurnal bergengsi yang menjadi pelabuhan para pemikir.

Ia tak tergoda dunia gemerlap. Ia memilih tetap berjalan kaki di lorong intelektual, walau kadang sepi dan dingin.

Tujuh tahun lalu, kami kembali duduk satu meja. Harwieb datang dengan proposal pengukuran hak asasi manusia. Ia ingin membuat Human Rights Index Indonesia.  “Gue eksekutor,” katanya sambil tersenyum. “Elo penyandang dana. Kita bentuk lembaga yang punya daya ukur etis terhadap negara.”

Penjelasannya seperti biasa: solid, sistematis, dan disertai paper ilmiah. Namun kesibukan memisahkan rencana itu. Dan waktu, seperti biasa, punya cara sendiri untuk menguji niat.

Pernah suatu malam di tahun 2017, Harwieb mengirim foto lewat pesan singkat. Rak buku tua di sudut kamarnya, disinari lampu meja yang redup.

Di antara tumpukan jurnal Prisma dan catatan tangan, tergeletak minuman yang sudah dingin.

“Den, lihat ini, “tulisnya. “Gue baru temukan catatan diskusi kita tahun 1990. Masih relevan: kecerdasan bukan untuk patuh, tapi untuk berani.”

Saya tak segera membalas. Tapi di kantornya yang sepi, ia sedang tersenyum.

Seperti biasa, Harwieb tak butuh tepuk tangan. Cukup secangkir minuman, kertas-kertas yang bernafas, dan keyakinan bahwa gagasan yang historis tak pernah kadaluarsa.

Seminggu yang lalu, sahabat kami, Nur Imam Subono (Boni), mengabarkan kabar yang lebih berat: Harwieb sakit keras. Dan kemudian, pagi itu, Harwieb benar-benar pergi.

Kepergian Harwieb bukan sekadar kehilangan sahabat. Ia tipe manusia yang kini makin langka: mereka yang berpikir sambil bertindak, dan bertindak sambil berpikir.

Aktivis-pemikir. Pemikir-aktivis. Ia bukan hanya menulis tentang perubahan, tapi hidup di dalam perubahan itu.

Ia adalah contoh bahwa perlawanan tak selalu bersuara keras. Kadang ia berwujud kalimat panjang di jurnal ilmiah, atau kerutan di dahi yang sedang membaca ulang Karl Marx.

Di zaman ketika opini dipendekkan oleh algoritma, dan pemikiran dipatahkan oleh ketergesaan, sosok seperti Harwieb adalah pengingat bahwa kedalaman tetap penting. Bahwa pemikiran tak boleh kehilangan waktu untuk merenung.

Hari ini, saya ingin membuat janji kecil untuk sahabat saya itu. “Harwieb, Index Hak Asasi yang kau gagas, akan kugali lagi. Akan kubangun ulang, sebagai peringatan bahwa engkau pernah hidup, dan pernah sangat berarti.”

Saya percaya, ada dua jenis kematian: yang menghapus nama, dan yang menyuburkan kenangan. Harwieb bukan hanya hidup dalam sejarah kecil gerakan mahasiswa. Ia hidup dalam ide yang belum selesai. Dan karena itulah, ia belum sepenuhnya mati.

Selamat jalan, Harwieb. Di jalan sunyi para pemikir yang tak minta pujian, engkau menjadi bintang tentang sebuah sikap hidup. []

Jakarta, 19 Mei 2025

CATATAN

1.      Denny JA, “Negara, Masyarakat, dan Mahasiswa,” Kompas, 11 Juni 1986. Referensi ini disebutkan dalam artikel “Surat-surat yang Mencerahkan” di Kompas.id: https://www.kompas.id/baca/humaniora/2020/07/13/surat-surat-yang-mencerahkan

Ratusan esai Denny JA soal filsafat hidup, political economy, sastra, agama dan spiritualitas, politik demokrasi, sejarah, positive psychology, catatan perjalanan, review buku, film dan lagu, bisa dilihat di FaceBook Denny JA’s World https://www.facebook.com/share/15NXTMtez5/?mibextid=wwXIfr

Back to top button