“Jika sebelumnya, pada era War on Terror umat Islam telah dibuat berantakan, terstigmatisasi dan dicemplungkan seenaknya pada ‘kotak’ teroris, panggung Piala Dunia yang dikuratori Qatar memungkinkan dimulainya kembali babak perlawanan luhur, di mana identitas Muslim berdiri tegak, bangga,”tulis Prof Khaled.
Oleh : Darmawan Sepriyossa
JERNIH–Seolah telah menjadi common sense, sejarah ditulis oleh para pemenang. Jadi wajar bila penulis novel “Things Fall Apart”, sastrawan Afrika terkemuka, Chinua Achebe, sampai bilang,”Hingga singa memiliki sejarawannya sendiri, sejarah perburuan akan selalu memuliakan para pemburu.”
Entah letih, mungkin pula digayuti kebosanan yang ekstrem, peradaban Barat tampaknya sudah menyerah untuk berkembang dan berubah. Jelas menegasi pemikiran bijak Heraklitos,”Panta rei—semua mengalir, segala terus berubah”—, lewat juru bicara mereka semacam Francis Fukuyama, Barat bilang bahwa sejarah telah berakhir. Lewat “The End of History and The Last Man” yang terbit 1992, mereka percaya histori sudah sampai di titik finish dengan kemenangan demokrasi liberal dan kapitalisme.
Padahal, mana mungkin makhluk sedhaif manusia bisa mendaku diri sanggup menghentikan poros pergerakan sejarah? Sementara dari kalangan mereka sendiri, sebelumnya diktator Italia, Benito Mussolini, bahkan percaya betapa lapangnya bentang sejarah. “Sejarah,”kata sang diktator yang mati digantung terbalik rakyatnya sendiri itu,”tidak sekadar urusan masa lalu, melainkan persoalan masa kini, dan masa depan.” Dengan kata lain, mayoritas manusia percaya, sejarah manusia hanya berakhir di kala bumi berhenti berputar dan dunia kiamat.
Meski adagium nil nuvo sub sole—tak ada yang baru di bawah matahari—sukar dibantah sepenuhnya, selalu ada yang kecenderungan anyar dalam rangkai kejadian yang terjadi dalam kehidupan. Dengan begitu, mantera lama “le histoire se repete”—sejarah berulang lagi—pun tak sepenuhnya akurat. Laiknya hukum 1 Darwin bahwa mustahil ada dua individu yang persis sama, demikian pula dengan peristiwa dalam kehidupan manusia. Parahnya, sejarah kadang menyisakan dendam dan sakit hatinya sendiri.
Salah satu yang masih mengancam harmoni Timur-Barat itu adalah (sisa-sisa) Perang Salib. Tokoh kedua pihak pun cukup banyak yang masih sadar ancaman bala tersebut. Juga kaum Hawkish, yang pada banyak sisi justru seolah terus menghi-dup-hidupkan sentimen tersebut. Misalnya dalam karya mendiang Samuel P. Huntington, “The Clash of Civilizations”, seorang hawkish Amerika yang dikenal tak pernah ramah pada Islam dan Tanah Arab. Tesis Huntington tersebut dipandang memperkuat asumsi sebagian besar ilmuwan Barat yang melihat Islam sebagai aggression and hostility (agresi dan ancaman). Pendek kata, dunia pun kian menyaksikan bagaimana Barat menciptakan stereotipe-stereotipe simplistis yang menunjukkan wajah the rage of Islam.
Bagi Profesor Khaled A. Beydoun, seorang guru besar ilmu hukum di Wayne State University, Detroit, AS, dan penulis buku “The New Crusades: Islamophobia and the Global War on Muslims”, urusan ‘Perang Salib Baru’ itu bukan sekadar candaan atau permainan retorika kata-kata. Bahkan professor penggila bola yang datang ke Qatar untuk “menyesap spiritualisme sepak bola” itu menunjuk banyak hal yang membuktikan sentimen ‘Perang Salib’ itu maujud dan dipupuk agar tumbuh.
Misalnya, peristiwa seorang penyiar stasiun tv Jerman, Welt, yang tanpa malu mempertontonkan sikap hasad akibat kopong melompongnya kepala. Bila ia berkenan riset sebentar saja, tak akan dirinya menuduh selebrasi dan gestur syukur para pemain Maroko usai mencetak gol—mengangkat telunjuk sebagai simbol “Ahad” untuk mengakui kebesaran Allah– itu sebagai ‘salut’ khas ISIS. Ia—seharusnya—bukan awam, lho. Ia seorang jurnalis.
Atau tulisan sinis kolumnis majalah terkemuka AS langganan National Magazine Award for Magazine of the Year, The Atlantic. Sang kolumnis, Tom McTague, dalam artikel panjangnya,“The Qatar World Cup Exposes Soccer’s Shame”, tampaknya masih tak rela dengan kemajuan yang diraih negara-negara Arab, Qatar terutama. “Pada sebagian besar masa abad 20, Qatar adalah daerah terpencil di Teluk Persia yang tandus dan lebih dikenal sebagai zona penyelaman mutiara, ketimbang kompleksitas konstelasi politik kekuasaan. Penduduknya miskin, tertinggal jauh dari tetangga Saudi mereka,”tulisnya.
Ia lupa, dengan penemuan ladang gas terbesar di dunia pada 1971, cukup waktu bagi Qatar yang tak punya masalah dengan biaya untuk membangun negaranya. Waktu lebih dari setengah abad dengan uang yang menggelontor tak henti, seharusnya menyadarkan orang-orang sejenis McTague bahwa Qatar—dan negara-negara Arab sekawasan—tidak pada tempatnya senantiasa dipandang sebagai hamparan gurun pasir tempat segala perang berkecamuk, kampung halaman sekian banyak gembong teroris internasional, atau semata ruang hidup kaum yang dicitrakan abai pada hak perempuan.
Saat ini, bukankah yang mereka saksikan tidak hanya pendapatan per kapita yang tinggi, rasa aman yang nyaman menyelimuti, serta keramahtamahan terhadap para tamu yang datang?
Entah apa yang menghalangi pandangan McTague selain ulat hati, hingga sesaat sebelum pembukaan World Cup 2022 itu ia masih saja mempertanyakan alasan digelarnya Piala Dunia di Qatar. Di kepalanya, bagaimana bisa FIFA memberikan hak perhelatan itu kepada sebuah otokrasi mungil di Timur Tengah berpopulasi hanya tiga juta orang? Belum lagi mempertanyakan tiadanya budaya sepak bola serta belum pernahnya tim nasional Qatar bermain di Piala Dunia sebelumnya.
Fakta bahwa negara itu cenderung beriklim gurun, juga dipersoalkan McTague. Memang sih,World Population Review pada 2021 juga merilis 10 negara terpanas di dunia, dengan Qatar berada di urutan kesembilan. Tetapi menyata-kan,”Menggelar pertandingan 90 menit di padang pasir pada puncak musim panas, jelas-jelas sangat menggelikan” yang ditulis McTague tidak hanya tajam. Pada banyak sisi, terdengar nyinyir dan cerewet. Akhirnya kesimpulan McTague pun tak kurang kasar: keterpilihan Qatar sebagai tuan rumah Piala Dunia 2022 seperti terpilihnya Donald Trump sebagai presiden Amerika Serikat. Fakta absurd yang hanya bisa disesali.
Bagi Prof Khaled, yang harus ditunjuk hidung sebagai pembangkit sentimen ‘Perang Salib Baru’ itu tak lain dari program War on Terror yang diluncurkan secara global oleh mantan Presiden George W Bush. “Perang Salib baru itu dipicu oleh dua dekade Perang Melawan Teror,”kata Prof Khaled. Sementara sisa-sisa War on Terror itu kini berganti dalam sisi lembutnya (soft side) menjadi Islamofobia,di sisi Muslim, tanpa disadari dua dekade penindasan itu mulai memercikkan perlawanan balik.
“Jika sebelumnya, pada era War on Terror umat Islam telah dibuat berantakan, terstigmatisasi dan dicemplungkan seenaknya pada ‘kotak’ teroris, panggung Piala Dunia yang dikuratori Qatar memungkinkan dimulainya kembali babak perlawanan luhur, di mana identitas Muslim berdiri tegak, bangga,”tulis Prof Khaled.
Dan memang sudah seharusnya seluruh Muslim di dunia–bukan hanya Qatar– bangga dengan Piala Dunia 2022. Tidak hanya karena Maroko tampil elegan dengan segala kemenangan dan dakwah mereka. Tapi karena aman, nyaman dan begitu ‘spiritual’nya Piala Dunia itu terselenggara.
Sepakbola, kita tahu, adalah sejarah kekerasan dan darah. Bukan hanya karena ratusan nyawa terbang sia-sia di Stadion Heysel, Brussel, Belgia, atau Kanjuruhan, Malang, kemarin. Tidak juga hanya karena pertumpahan darah yang tak ada akhirnya dari skuad Ranger vs Celtics di Liga Skotlandia, atau fakta bahwa pemimpin bobotoh Red Star Beograd, Zelko Raznatovich alias Arkan, terlibat aktif dalam pembantaian kaum Muslim tidak hanya pada momen-momen Perang Bosnia.
Alah, seiring kemenangan Prancis versus Maroko kemarin dulu saja, kekerasan rasial meledak di Paris. Fans Maroko dalam insiden itu menjadi serangkaian sasaran serangan rasis di sejumlah kota di Prancis. Di Paris saja, polisi menangkap 40 pendukung sayap kanan antiimigran yang merencanakan serangan ganas kepada fans Maroko. Tidak semua itu. Dengan segala rupa hooliganisme dan kebondonekadan selama ini, tak akan banyak yang ngotot bertahan bahwa (menonton) sepakbola (di stadion) aman-aman saja.
Qatar bisa membalik semua itu, dengan pengakuan dunia. Alih-alih ngeri dan was-was, di Qatar para penonton bola justru mendapatkan pengalaman spiritual. Di stadion-stadion Qatar, hati para penonton (juga yang datang dari Barat) ditenangkan lantunan musik dan lagu beraksen Arab fushah yang syahdu, atau alunan ayat-ayat suci Alquran.
Selebrasi-selebrasi Tim Maroko juga mengesankan kerendahhatian. Alih-alih melakukan gestur-gestur yang menyiratkan kesombongan, mereka memilih bersujud syukur di depan ribuan penonton. Suasana itu yang terpancar mendunia, datang ke setiap ruang tamu dan tempat-tempat berkumpul kaum Muslim, menerbitkan bangga dan rasa huzun jutaan Muslim di depan tv masing-masing di Rabat, Kasablanka, Paris, London, Riyadh, Madrid, Berlin, hingga Majalengka.
Kita harus mengakui, setiap kali pahlawan Atlas Lions, Achraf Hakimi, mencium kening ibunya usai timnya meraih kemenangan, selalu ada hangat di dada, mengaliri seluruh tubuh seiring beredarnya darah, memberi nyawa buat berlaku lebih baik lagi kepada ibu kita semua. Qatar, membalik logika jungkir kita sebelumya, dengan menegaskan bahwa sepakbola (dan Islam) itu damai adanya. [INILAH.COM]