Solilokui

Jangan Berani-berani Menerjemahkan…

Untuk menerjemahkan karya sastra klasik yang berusia tua, penerjemah bagai melakukan akrobat linguistik memindahkan budaya melintasi ruang dan waktu.

Oleh  : Yuliani Liputo

JERNIH– Tahun lalu, saya mendapatkan dua jilid Don Quijote persis pada hari ulang tahun. Hadiah yang menyenangkan, karena inilah pertama kali bukunya tersebut terbit dalam versi utuh berbahasa Indonesia. Goenawan Mohamad menyebut ini sebagai satu dari “dua hal yang bersejarah dalam dunia sastra dan seni kita” pada 2019.

Sebelumnya novel karya Miguel de Cervantes ini dalam bahasa Indonesia hanya tersedia dalam bentuk ringkas untuk anak-anak.

Yayasan Obor yang menerbitkan terjemahannya dari edisi pertama dan meluncurkannya pada Juli 2019 dalam dua jilid, masing-masing setebal 400-an halaman. Ini sebuah kerja luar biasa, mengingat novel klasik dengan ketebalan hampir seribu halaman ini terbit pertama kali di Spanyol pada 1605. Tentunya bahasa Spanyol empat abad silam itu sangat berbeda dari yang sekarang, pasti banyak kata dan istilah yang perlu dirujuk maknanya kembali. Saya salut dengan upaya penerjemahnya, Apsanti Djokosusanto.

Yuliani dan Karen Armstrong

Pada kata pengantar, Ibu Apsanti, seorang penerjemah aktif dan guru besar sastra Indonesia, mengungkapkan rasa tidak puas atas hasil terjemahannya. Waktu hanya satu tahun untuk menerjemahkan karya sebesar itu menurutnya terasa sangat tidak cukup. Ketidakpuasan penerjemah tentu saja menjalar juga akhirnya ke pembaca. Sandungan-sandungan yang ditemui dalam pembacaan, membuat novel ini tidak mudah untuk dinikmati dengan nyaman.

Menerjemahkan karya sebesar itu memang tantangan yang tidak mudah. Untuk menerjemahkan karya sastra klasik yang berusia tua, penerjemah bagai melakukan akrobat linguistik memindahkan budaya melintasi ruang dan waktu. Bayangkan kapasitas pemahaman seperti apa yang dibutuhkan untuk mampu mencerap dengan baik maksud penulis asli dan mentransmisikannya ke dalam ekspresi yang dapat dipahami oleh kelompok pembaca di tempat dan negeri yang jauh berjarak dalam segi budaya dan waktu.

Saya bisa bayangkan peningnya, bergulat dengan teks yang bisa dipahami dalam bahasa aslinya tapi membutuhkan modifikasi yang dapat ditoleransi dalam bahasa terjemahan, banyaknya referensi yang dibutuhkan, rasa terkurung berupaya masuk ke dalam pikiran penulis asli dan mencoba melihat dalam sudut pandangnya. Melelahkan sekaligus menyenangkan.

Berhadapan dengan tantangan seperti inilah yang barangkali membuat Jacques Derrida menyatakan kejeriannya untuk menerjemahkan, seperti ditulisnya dalam “What Is a ‘Relevant’ Translation?”: “Jangan berani-berani bicara soal terjemahan kecuali jika kamu sudah menjadikan tugas yang sublim dan mustahil ini sebagai hasratmu, kecemasanmu, penderitaanmu, dan pemahamanmu sendiri. Tidak, aku pasti tidak akan pernah berani, tidak akan, aku tidak akan pernah berhasil melakukannya.”

Pernyataan Derrida itu sesungguhnya dapat dibaca sebagai apresiasi bagi para penerjemah karena, tentu saja, penerjemahan tetap perlu dan terus dilakukan, dengan tantangan apa pun. José Saramago, penulis Portugis penerima Nobel Sastra 1998, memberikan pujian tertinggi pada para penerjemah ketika mengatakan para pengarang menulis karya sastra dalam bahasa ibu masing-masing, tetapi sastra dunia adalah ciptaan para penerjemah.

Orhan Pamuk yang meraih Nobel Sastra 2006 juga mengapresiasi penerjemah dengan berkata, “Bahasa ibu saya tentu saja bahasa Turki, dan saya berakar di sana. Sangat penting bagi saya memiliki penerjemah yang bagus. “Snow” tidak akan meraih kesuksesan di Amerika tanpa Maureen (nama penerjemahnya).”

Selain mengapresiasi penerjemah, banyak penulis besar yang juga merupakan penerjemah. Jorge Luis Borges, novelis Argentina yang disebut sebagai figur sastrawan terhebat abad lalu, juga konsisten menerjemahkan sebagai hobi sepanjang hidupnya. Ketika berusia sembilan tahun, Borges menerjemahkan “The Happy Prince” karya Oscar Wilde dari bahasa Inggris ke bahasa Spanyol. Karya pertamanya yang pernah diterbitkan juga berupa terjemahan, dan tak diragukan bahwa itu berpengaruh besar pada karya orisinalnya, serta menjaga renjananya pada terjemahan tetap menyala sepanjang hayat.

Haruki Murakami juga menyebut menerjemah “hampir menjadi hobi” baginya. Dia memulai pekerjaan sebagai penerjemah pada 1981 dan melanjutkannya dengan menulis novel-novelnya sendiri.  Dia menerjemahkan banyak novelis Amerika seperti Raymond Chandler dan F. Scott Fitzgerald, yang kemudian mempengaruhi gayanya menulis. “Terjemahan itu seperti jendela yang terbuka ke luar,” katanya. Ada sekitar 70 karya terjemahan Murakami telah diterbitkan.  

Untuk menghasilkan terjemahan yang baik, kita perlu belajar dari para sastrawan yang juga penerjemah ini.  Filosofi Borges tentang penerjemahan berpijak dari keyakinannya bahwa “karya lebih penting daripada penciptanya.” Borges punya metode sendiri dalam menerjemahkan. Dia tak pernah menghadiahi pembaca terjemahan harfiah, Borges justru sering menghilangkan bagian-bagian teks sumber yang dianggapnya mubazir, tak penting, atau tak konsisten dengan keseluruhan. Dia juga menghilangkan “distraksi tekstual” menambahkan nuansa, mengubah judul,  bahkan menulis ulang seluruh teks dengan sudut pandang berbeda.

Terkadang Borges juga bahkan memasukkan terjemahan teks dari karyanya sendiri. Tujuannya: “menantang ide bahwa teks original lebih superior daripada terjemahan dan menolak konsep “teks definitif”.

Jika metode Borges terlalu tinggi, kita lihat apa yang dilakukan Nabokov. Penulis novel “Lolita” ini menerjemahkan puisi-puisi Alexander Pushkin dari bahasa Rusia. Menurut Nabokov, ada tiga rute yang dapat dipilih oleh penerjemah puisi: satu, terjemahan bebas dengan parafrase dan penambahan sesuka hati penerjemah; dua, terjemahan dasar, dengan kata-kata dalam urutan yang sama seperti aslinya—seperti yang kita dapatkan lewat aplikasi penerjemah daring (online) yang lazim saat ini; tiga, “menampilkan kembali sedekat mungkin sesuai kapasitas sintaksis yang dapat dijangkau oleh bahasa lain, menampilkan makna kontekstual yang tepat dari aslinya.”

Nabokov sendiri lebih memilih rute ketiga. Rute yang paling luwes, sekaligus paling sulit. Terjemahannya jadi tidak terasa sebagai terjemahan.

Di sini terletak ironi pekerjaan penerjemah. Sebagai pembaca, tentu saja kita mengharapkan buku terjemahan yang tidak terasa seperti terjemahan. Terjemahannya begitu bagus sehingga saat membacanya kita tidak merasa ada yang  struktur kalimat yang asing atau makna yang janggal. Kita berharap bertemu teks yang mengalir dengan sangat wajar dan natural, karena penerjemah berhasil memindahkan nada, gaya dan kesan ke dalam bahasa baru. Nilai tertinggi pekerjaan penerjemah diraih jika jika kehadirannya tidak terasa, upaya kerasnya justru membuat dirinya seolah-olah tak ada.

Tapi yang sering kita dapati penerbitan buku terjemahan di Indonesia masih sarat dengan kritik. Keprihatinan ini sudah sejak lama disuarakan, yang terkenal di antara kritikan dari Alfons Taryadi pada 2003 hingga yang terbaru cuitan Henry Manampiring yang meramaikan linimasa media sosial di akhir Agustus 2020.

Pada pokoknya yang dikeluhkan adalah terjemahan “terlalu kaku”, “terlalu harfiah”, serasa seperti hasil terjemahan mesin tanpa editing memadai. Buku terjemahan sering kali gagal membuat pembacaan yang nyaman sehingga banyak yang memilih untuk membaca buku aslinya. Tapi tentu saja ini solusi eksklusif, karena harga buku impor mahal, tak banyak yang bisa mendapatkannya. Penerjemahan yang buruk membuat akses publik pada bacaan jadi terbatas.

Berkaca pada apa yang dilakukan Borges, Murakami dan Nabokov, kita perlu penerjemah yang hobi menerjemahkan, yang melakukan penerjemahan dengan cinta dan kesenangan. Penerjemahan yang baik tidak bisa dilakukan dengan tergesa-gesa. Perlu waktu dan, tentu saja. biaya.

Sedangkan dari pihak penerbit, kecenderungan pembaca untuk memilih buku asli daripada membaca terjemahan mestinya menjadi pengingat untuk semakin selektif dalam menghadirkan buku terjemahan. Terjemahkan buku yang benar-benar perlu bagi publik, dengan memberi waktu dan honor penerjemahan yang terhormat. Ini juga bisa menjadi sebentuk dukungan kepada para penulis lokal untuk lebih banyak menghasilkan karya orisinal, diselingi menerjemah sebagai penguat kemampuan literer.

Kembali ke “Don Quijote”, terjemahan yang diupayakan Yayasan Obor sangat layak diapresiasi. Rintisan ini semoga dilanjutkan dengan menghadirkan lagi karya-karya klasik penting dengan memberikan waktu yang cukup kepada penerjemah yang mumpuni. Terjemahan baru akan selalu disambut baik. Novel klasik untuk pembaca modern, dalam istilah Borges, tak perlu menjadi satu “teks definitif”. [ ]

Check Also
Close
Back to top button