Jeruk yang Terkirim ke Jokowi dan Perlawanan Petani Tanah Karo
Pertanyaan berikutnya, apakah ini akan menjadi bentuk perlawanan baru dari petani? Mungkin saja, jika ‘ayah-ayah’ yang menjadi pemimpin mereka mandul, tumpul dan cenderung berkompromi ke dalam pusaran pertukaran kepentingan dengan politisi pragmatis dan pro status quo, serta aktivis gerakan sosial di luar lingkar kekuasaan pun nyaman dengan politik pragmatis. Jangan salahkan jika para petani mencari sosok ayah yang benar-benar ayah, yang mampu menjawab permasalahan mereka.
Oleh : Rahayu Setiawan*
JERNIH–Baru saja kita disuguhkan keluh kesah petani jeruk Liang Melas Datas, Kabupaten Karo, Sumatera Utara. Mereka mengirimkan tiga ton jeruk ke Istana Negara akibat infrastruktur jalan rusak lebih dari 25 tahun tanpa perhatian negara. Sementara, sehari sebelumnya Presiden Jokowidodo di Badung Bali menyerukan kepada kepala kesatuan wilayah agar para pemimpin harus mampu memberikan perhatian lebih di wilayahnya, termasuk menjaga arus distribusi barang agar berjalan dengan baik.
Kasus ini menurut saya, sebagai tamparan terhadap Presiden Joko Widodo dan menandakan pekerjaan rumah membangun infrastruktur adalah kerja yang tak kunjung usai.
Potret praktik politik rakyat menyampaikan aspirasi langsung ke Presiden Jokowi bukan kali ini saja terjadi. Sebelumnya, Suroto, petani jagung dan peternak ayam asal Desa Suruh Wadang, Kecamatan Kademangan, Kabupaten Blitar, dikenal publik setelah video yang merekam dirinya membentangkan poster terkait mahalnya harga jagung dan murahnya harga telur, viral ketika Jokowi melakukan kunjungan ke Blitar pada awal September 2021.
Kemudian aksi jalan kaki masyarakat Sumatera Toba, Sumatera Utara ke Jakarta mendesak penutupan PT Toba Pulp Lestari (TPL) di Danau Toba, dengan keluhan terkait pencemaran lingkungan, Agustus 2021. Belum lagi 170 petani Desa Simalingkar dan Sei Mencirim, Kabupaten Deli Serdang, Sumatera Utara, berjakan kaki ke Istana Negara, mengadukan masalah penggusuran rumah dan ladang yang mereka alami sejak lima bulan sebelumnya, yang menurut mereka dilakukan PT Perkebunan Nusantara II.
Tulisan ini berusaha memberikan perspektif atas pertanyaan yang menilai aksi ini, merupakan langkah elitis. Sedikit-sedikit (datang) ke Presiden! Bukankah hal tersebut dapat diselesaikan pemerintah daerah? Selain itu, banyak yang menyoal mengapa bentuk perlawanan ini yang dilakukan? Apakah bentuk perlawanan ini akan menjadi struktur baru dalam proses produksi dan reproduksi, meminjam istilah Anthony Giddens dalam teori strukturasinya, sebagai wujud masyarakat yang terus berkembang?
Menjawab praktik sosial ini perlu memperhatikan sejarah bentuk perlawanan petani Indonesia yang sudah menjadi perhatian peneliti sosial. Sayangnya, mereka lebih banyak melakukan penelitian pada gerakan reforma agraria dan mengambil lokus di daerah Jawa.
Sejumlah peneliti menyimpulkan bentuk gerakan petani Indonesia berbeda dengan gerakan petani Eropa atau barat. Misalnya, Sartono Kartodirdjo (1975) menggambarkan terdapat karakteristik umum dari perbedaan gerakan protes yang terjadi di Jawa abad ke-19. Perlawanan para petani perdesaan dilakukan terhadap kekuasaan kolonial karena mereka merusak tatanan nilai yang sudah ada sebelumnya.
Penolakan tersebut memunculkan perlawanan dengan berciri; ide-ide keagamaan, seperti perlawanan dengan bentuk Ratu Adil yakni gerakan akan munculnya tokoh pembebas. Mileniarianisme yakni ramalan akan datangnya suatu abad keemasaan. Bentuk aksi perlawanan yang dilakukan dengan mencuri kecil-kecilan, pura-pura tidak tahu, mengumpat di belakang, membakar, dan melakukan sabotase. Bentuk ini sedikit sekali membutuhkan koordinasi atau perencanaan dan secara cerdas menghindari setiap konfrontasi simbolis langsung dengan pihak penguasa.
Berbeda dengan gerakan sosial ala barat yang dicirikan dengan pemberontakan besar, kolektif dan teroganisasi. Bagi mereka pola tersebut sama sekali tidak taktis untuk mencapai suatu hasil yang maksimal. Perlawanan dengan sabar dan diam-diam selama bertahun-tahun akan lebih membuahkan hasil. Perlawanan ini tidaklah dimaksudkan untuk mengubah dominasi secara langsung.
Namun, semenjak masuknya organisasi politik dari luar, di era kemerdekaan, bentuk perlawanan petani memiliki sentuhan gerakan sosial ala barat dengan memper-tentangkan kelas pemilik lahan dan penguasa saat itu, seperti pemerintahan Belanda, tuan tanah bangsawan serta pemuka agama. Gambaran perlawanan petani yang terjadi dengan perebutan lahan perkebunan seperti di Banten, Sumatera Timur, serta di perkebunan tebu di Jawa Tengah dan Jawa Timur, cenderung terbuka dan terang-terangan merupakan perlawanan bersenjata.
Meminjam pemikiran Anthony Giddens, dalam perkembangan sejarahnya, petani (agent) melakukan tindakan sosial, selalu melakukan pemantauan reflektif (reflexive monitoring). Giddens menyebutnya sebagai karakter purposif dari tindak-tanduk manusia. Melalui pemantauan reflektif, agent tidak hanya dipengaruhi oleh struktur, tetapi juga mempengaruhi struktur. Dalam pemantauan reflektif, action bukanlah untaian tindakan (acts) yang memiliki cirinya masing-masing atau agregat dari tujuan, tetapi sebuah proses yang terus berlanjut melakukan proses produksi dan reproduksi struktur.
Perubahan terjadi ketika kapasitas memonitor (mengambil jarak) ini meluas sehingga berlangsung ‘de-rutinisasi’. Derutinisasi menyangkut gejala bahwa skemata yang selama ini menjadi aturan (rules) dan sumber daya (resources) tindakan serta praktik sosial kita tidak lagi memadai untuk dipakai sebagai prinsip pemaknaan dan pengorganisasian berbagai praktik sosial yang sedang berlangsung ataupun yang sedang diperjuangkan agar menjadi praktik sosial yang baru. Apa yang kemudian terjadi adalah keusangan (obsolence, obsoleteness) struktur. Perubahan struktur berarti perubahan skemata agar lebih sesuai dengan praktik sosial yang terus berkembang secara baru.
Bentuk perlawanan petani era awal kolonial yang tradisonal dengan bercirikan masyarakat pertanian dengan ikatan kekerabatan yang kuat–dalam hal ini sistem patron-klien antara petani dengan elit (tuan tanah, bangsawan, kaum agama dan kolonial)–memberikan gerakan perlawanan sembunyi-sembunyi, mesianik, dan terus menjadi rutinitas praktik sosial pada titik yang tidak mampu lagi menjawab (bereproduksi). Semua berlangsung hingga pemaknaannya dirasa tidak lagi memadai sehingga membentuk perlawanan baru seperti yang terjadi saat ini, melakukan aksi langsung terang-terangan, terbuka. Bahkan menurut penulis, meski terdapat transformasi bentuk baru, kita masih mendapatkan “nilai” lama dalam perlawanan petani saat ini. Inilah kekhasan perlawanan petani Indonesia, dan untuk sampai kesimpulan tentu penulis berharap diperlukan penelitian lebih lanjut.
Penulis menilai transisi demokrasi yang terjadi di Indonesia sejak 1998 memang telah memberikan pengaruh kepada gerakan sosial dan politik akar rumput di tingkat lokal, meskipun hal itu belum menyediakan jalan untuk terjadinya perubahan sosial yang lebih mendasar di perdesaan.
Meski tercipta konsolidasi politik baru dari para politikus pro status quo yang lama maupun yang baru, perubahan demokrasi substantial yang diharapkan cenderung hanya menghasilkan perangkat-perangkat kompromi dan kerja sama antara pemilik modal, preman, dan politisi pragmatis serta pro status quo, yang menguasai arena pembentukan kebijakan publik di berbagai tingkatan.
Sayangnya, kompromi-kompromi ini kemudian juga menyeret aktivis dan kelompok-kelompok gerakan sosial ke dalam pusaran pertukaran kepentingan dengan politisi pragmatis dan pro status quo, sehingga mempersulit konsolidasi gerakan pembaruan demokrasi di Indonesia. Wajar saja ketika penulis sering menemui perlawanan yang dilakukan petani pedesaan cenderung di“label” siapa mendapat apa dan pengkotakan kepentingan yang cenderung pragmatis.
Meski demikian, petani perdesaan bergerak dialektis, ciri khas Giddens struktur sebagai sumberdaya memiliki sifat berdaya (enabling) memberikan bentuk perlawanan baru. Bagi petani jagung Suroto, ia mampu bergerak sendiri dan memanfaatkan media sosial yang kemudian viral. Bagi petani Sei Mencirim, Tobasa, dan petani jeruk Tanah Karo, melakukan perlawaan yang khas memberikan signifikansi bahwa pemimpin adalah “Bapak” simbolik, melompati nilai lama patron-client apa mendapat apa, serta kepatuhan client terhadap patron yang menjanjikan keamanan dan kenyamanan.
Seorang Bapak justru sebaliknya memberikan sesuatu tanpa pamrih, dan anak bukanlah client. Bagi filsafat Jawa, anak adalah anugrah yang diberikan oleh Sang Sumber, atau Tuhan itu sendiri.Ciri tradisional petani patron-client telah bertransformasi manakala kebuntuan dan kemandulan struktur pemerintahan hasil dari reformasi politik menghasilkan gerakan politik pragmatis. Ketika suatu daerah tidak memberikan apa (suara) maka pembangunan jadi minim, atau ongkos politik yang besar lebih baik digunakan menutupi ongkos tersebut terlebih dahulu. Jawabnya, pemimpin daerah tidak mampu menjawab harapan tuntutan petani.
Dari sudut pandang ini penulis melihat perlawanan yang dilakukan tidaklah elitis, justru sebaliknya, mencerabut dari akar budaya petani dengan potret bahwa pemimpin harus memiliki sifat melindungi, ibarat ayah. Bagi masyarakat Tanah Karo, simbol ini bergelar Sirulo. Dikenakan kepada Presiden Sukarno dan juga Presiden Jokowi yang diartikan bapak semua rakyat Tanah Karo. Demikian juga di Jawa, disematkan romo, dengan maksud serupa. Saya rasa di seluruh Indonesia nilai ayah sebagai wujud pemimpin adalah cerminan kebudayaan Indonesia.
Pertanyaan berikutnya, apakah ini akan menjadi bentuk perlawanan baru dari petani? Mungkin saja, jika ‘ayah-ayah’ yang menjadi pemimpin mereka mandul, tumpul dan cenderung berkompromi ke dalam pusaran pertukaran kepentingan dengan politisi pragmatis dan pro status quo, sertaaktivis gerakan sosial di luar lingkar kekuasaan pun nyaman dengan politik pragmatis. Jangan salahkan jika para petani mencari sosok ayah yang benar-benar ayah, yang mampu menjawab permasalahan mereka.
Pemimpin bukan saja memiliki signifikasi administratif, legitimasi serta mampu mengatur sumber daya daerah. Lebih dari itu, dalamnya terdapat nilai kebapakan yang luhur dan melindungi, memperhatikan dan menjamin kesejahteraan tanpa pandang apa dan siapa. Salam jeruk Tanah Karo yang manis. [ ]
*Pemerhati sosial dan praktisi pertanian