Kota-kota tumbuh secara ambigu tanpa karakter kuat. Ciri khas kota tradisional dunia Timur memudar, sementara rasionalitas dari kota modern tak kunjung menjelma. Pola permukiman dibangun menyerupai koleksi satelit-satelit tribus berbasis kesukuan, lalu berbasis okupasi, yang tak menyatu dalam suatu unit kewargaan. Ego sektoral mewabah berkhidmat pada kepentingan parokial tanpa sensitivitas pada kemaslahatan bersama. Kota tumbuh tanpa karakter dengan ruang hampa tanpa nilai, visi, dan hati.
Oleh : Yudi Latif
JERNIH– Saudaraku, kota ideal merupakan “home sweet home“, yang menyediakan ruang aktualisasi diri bagi warganya. Di kota seperti itu, hunian hijau udara segar; budaya literasi-inovasi kuat; talenta, toleransi, dan teknologi berkembang lapang. Ragam Komunitas tumbuh sebagai jaring pergaulan dan pengaman warga dalam memenuhi kebutuhan material dan spiritual.
Kota tak dibiarkan mengarah pada gentrifikasi yang meluaskan segregasi dan kesenjangan sosial; juga tak dibiarkan mengarah pada alienasi dan deprivasi sosial akibat kesempitan dan ketertutupan ruang perjumpaan.
Dari kehadiran jiwa kota seperti itulah muncul istilah ”politik”. Dari kata “polis” (kota) dalam tradisi Athena, berarti tempat segala sesuatu diputuskan secara rasional dan berkeadaban. Dalam tradisi lain, sebutan kota adalah civic atau madina, yang berarti keberadaban, kemuliaan, dan keteraturan.
Kota ideal adalah kota ”sakinah” yang mengekspresikan tatanan moral, keindahan, dan kesejahteraan yang luhur, seperti Islam Cordova, Buddha Kyoto, Katolik Roma, dan Hindu Banaras.
Berbeda dengan bayangan ideal, kota-kota di Indonesia cenderung bersifat ”anti-teori”. Salah urus, irasionalitas, ketidakteraturan, ketidakdisiplinan, miskin perencanaan, standard rendah, keterbelakangan, budaya jorok, disorganisasi sosial, kesenjangan sosial, dan ”budaya” korup, yang akhirnya bermuara pada pemberontakan alam: banjir di musim hujan, kering dan berasap saat kemarau.
Kota-kota tumbuh secara ambigu tanpa karakter kuat. Ciri khas kota tradisional dunia Timur memudar, sementara rasionalitas dari kota modern tak kunjung menjelma. Pola permukiman dibangun menyerupai koleksi satelit-satelit tribus berbasis kesukuan, lalu berbasis okupasi, yang tak menyatu dalam suatu unit kewargaan. Ego sektoral mewabah berkhidmat pada kepentingan parokial tanpa sensitivitas pada kemaslahatan bersama. Kota tumbuh tanpa karakter dengan ruang hampa tanpa nilai, visi, dan hati.
Bencana alam menerjang sebagai peringatan untuk menghidupkan kembali jiwa kota. Al-Quran mengingatkan, ”Telah tampak kerusakan di darat dan laut disebabkan perbuatan tangan manusia sendiri bahwa Allah boleh jadi menimpakan kepada mereka sebagian dari akibat perbuatan mereka agar mereka kembali ke jalan yang benar” (QS 30: 41). [ ]