
Setelah Prancis angkat kaki dari Maroko di tahun 1956, pejuang-pejuang Maroko berusaha mendapatkan kembali wilayah mereka di selatan yang masih diduduki Spanyol. Salah satu caranya adalah dengan ikut mendirikan kelompok perlawanan bersenjata yang kemudian menjelma menjadi Polisario atau Front Rakyat untuk Pembebasan Saguia el-Hamra dan Río de Oro.
Oleh : Teguh Santosa*
JERNIH—Sabttu pagi, 1 November 2025. Baru saja saya menerima kabar gembira dari Sahara. Seorang teman mantan diplomat Maroko di Indonesia, dari ibukota Rabat mengirimkan sebuah pesan via WhatsApp kepada saya yang sedang berada di Bandar Seri Begawan, Brunei Darussalam.
“Perjuangan kita membuahkan hasil, Saudaraku,” tulis Mostafa Nakhlaoui. “Sahara telah resmi diakui sebagai bagian dari Kerajaan Maroko. Dewan Keamanan PBB memilih proposal otonomi Sahara dan menolak referandum,” tulisnya lagi. “Ini kemenangan Anda juga.”
Saya mengenal Mostafa lebih dari satu dekade lalu. Sebagai diplomat Maroko dia aktif mempromosikan kedaulatan Maroko atas Sahara. Dia juga yang membantu saya sehingga dilibatkan Kerajaan Maroko sebagai petisioner di Komisi IV PBB di New York yang membahas isu dekolonisasi sejumlah wilayah di muka bumi termasuk Sahara Barat — yang kini resmi menjadi Sahara Maroko.
Saya mengenal konflik ini saat mengambil mata kuliah POLS 633 International Conflict Resolution di jurusan Ilmu Politik di University of Hawaii at Manoa (UHM). Prof. Carolyn Stephenson yang mengampu mata kuliah itu meminta kami memilih satu konflik untuk dibahas dalam tugas akhir.
Tak mudah bagi saya untuk memilih topik. Saya tak mau membahas konflik yang menurut saya sudah terlalu sering dibicarakan. Untuk menemukan “konflik yang ideal” saya mencari daftar pasukan penjaga keamanan PBB, dan menelusuri keberadaan mereka satu per satu sampai saya menemukan MINURSO yang bertugas di Sahara Barat.
Dari sini, saya memperluas referensi. Mempelajari sejarah konflik Sahara Barat yang menjadi sengketa antara Kerajaan Maroko dengan kelompok Polisario yang didukung Aljazair dan juga Libya dan Uni Soviet sebelum bubar.
Konflik ini tidak sekadar buah dari Perang Dingin dan political containment yang dipraktikkan Amerika Serikat dan Uni Soviet pada masa itu, tetapi juga berakar pada perebutan wilayah di Afrika di antara super power Eropa di akhir abad ke-19.
Dalam Konverensi Berlin 1884-1885, super power Eropa pada masa itu, Prancis, Portugis, Spanyol, Belgia, Inggris, Jerman, dan Italia, sepakat untuk membelah tanah Afrika secara damai di antara mereka. Inilah era Scramble for Africa.
Dalam Perjanjian Fez yang ditandatangani di bulan Maret 1912 Sultan Abdelhafid sepakat menyerahkan kedaulatan Maroko di bawah protektorat Prancis. Namun di bulan November tahun itu juga, Prancis menyerahkan wilayah di selatan, di tepi Samudera Atlantik, kepada Spanyol. Wilayah ini pun dikenal sebagai Sahara Spanyol dan kemudian, setelah Spanyol angkat kaki di tahun 1976, diklaim kelompok Polisario sebagai Sahara Barat.
Setelah Perang Dunia Kedua, Maroko berusaha mendapatkan kedaulatan dan menyatukan kembali wilayah mereka yang dikenal sebagai Greater Morocco atau Maroko Raya. Namun menegakkan benang basah ini tidak mudah.
Setelah Prancis angkat kaki dari Maroko di tahun 1956, pejuang-pejuang Maroko berusaha mendapatkan kembali wilayah mereka di selatan yang masih diduduki Spanyol. Salah satu caranya adalah dengan ikut mendirikan kelompok perlawanan bersenjata yang kemudian menjelma menjadi Polisario atau Front Rakyat untuk Pembebasan Saguia el-Hamra dan Río de Oro.
Tetapi, setelah Spanyol benar-benar angkat kaki dari Sahara — yang sebagian karena krisis politik dan ekonomi — di tahun 1976, sebagian elite Polisario melangkah lebih jauh: melepaskan Sahara Barat dari Kerajaan Maroko.
Dinamika Perang Dingin memungkinkan perlawanan baru itu. Uni Soviet, Libya, dan Aljazair memberikan dukungan yang tidak kecil. Perang berlangsung sampai 1991, diakhiri gencatan senjata dan kesepakatan untuk menggelar referandum. Tapi referandum tak mudah — dan kemudian jadi tak mungkin– untuk dilakukan. Referendum membutuh-kan pemilih. Sementara daftar pemilih yang dikunci di tahun 1991 sudah tidak relevan lagi.
Polisario pun enggan membuka diri, mereka menolak UNHCR melakukan sensus jumlah warga yang berada di kamp pengungsi Tindouf di Aljazair.
Dalam pembicaraan di Manhaset, New York, tahun 2007 dan 2008, akhirnya dihasilkan dua pilihan: otonomi khusus bagi Sahara Barat yang ditawarkan Kerajaan Maroko, dan kemerdekaan Sahara Barat yang diminta Polisario dan Aljazair.
Saya terlibat tiga kali sebagai petisioner dalam pembicaraan mengenai sengketa ini di Komisi IV PBB, di tahun 2011, 2012, dan 2023.
Di tahun 2011 dan 2012 saya menggarisbawahi bahwa otonomi khusus adalah pilihan yang paling mungkin. Proposal ini adalah buah dari prinsip demokrasi yang diyakini Maroko. Berbeda dengan Polisario yang mempraktikan otoritarianisme di Tindouf.
Dalam partisipasi di tahun 2023, saya menggarisbawahi dukungan yang semakin luas pada proposal otonomi yang ditawarkan Kerajaan Maroko sebagai solusi terbaik dan usulan perdamaian yang paling kredibel.
Hal ini juga merupakan solusi paling tepat yang dapat diterapkan dalam konteks geopolitik saat ini demi menciptakan perdamaian, stabilitas, dan keamanan di kawasan. Tidak kurang dari 28 negara telah membuka konsulat di kota-kota utama Sahara Maroko, yang berarti adalah pengakuan kuat terhadap kedaulatan Kerajaan Maroko atas Sahara.
Di saat bersamaan, satu per satu negara anggota PBB mencabut dukungan mereka pada negara boneka yang dibentuk Polisario dan Aljazair.
Di bagian akhir orasi saya berkata, “Insya Allah sengketa ini akan berakhir secara damai sebentar lagi.” Dalam pemungutan suara hari Jumat, 31 Oktober 2025, sebanyak sebelas anggota Dewan Keamanan PBB memilih proposal otonomi Sahara Maroko. Mereka adalah Amerika Serikat, Inggris, Prancis, Guyana, Siera Leone, Slovenia, Denmark, Yunani, Panama, dan Somalia.
Tiga negara lain, Tiongkok, Rusia, dan Pakistan, memilih abstain. Serta Aljazair tentu saja menolak dan tidak berpartisipasi dalam pemungutan suara.
Resolusi 2797 (2025) yang diterbitkan setelah pemungutan suara mengakui bahwa “genuine autonomy could represent a most feasible outcome” dan mendorong semua pihak memberikan sumbangan pikiran untuk mendukung “a final mutually acceptable solution”.
Resolusi itu juga memperpanjang mandat MINURSO hingga Oktober 2026. Juli tahun lalu, saya memimpin delegasi wartawan Indonesia ke Maroko. Salah satu kota yang kami kunjungi adalah Dakhla di jantung Sahara. Bagi saya itu adalah kunjungan kedua setelah kunjungan pertama di tahun 2010.
Wajah Dakhla telah berubah dan menjadi jauh lebih baik. Kini jadi salah satu tujuan wisata di Maroko. Sebuah pelabuhan raksasa, Dakhla Atlantik Port, juha sedang dibangun untuk menghubungkan kota itu dengan kawasan barat Afrika di selatan dan benua Amerika di seberang Samudera Atlantik.
Pemerintah Maroko berhasil mengubah citra Dakhla dari kawasan terbelakang yang terlantar di era kolonialisasi Spanyol menjadi kota yang kini bernilai strategis di kawasan. Selamat! [ ]
*Penulis, ketua Perhimpunan Persahabatan Indonesia-Maroko






