SolilokuiVeritas

Kabinet Prabowo Subianto: Antara Akomodasi Politik dan Ilusi Zaken Kabinet

Dalam konteks modern, para ahli seperti Francis Fukuyama dalam bukunya “Political Order and Political Decay” (2014), yang menggenapkan buku sebelumnya, “The Origins of Political Order” (2011), menekankan pentingnya birokrasi yang kuat dan efisien dalam memastikan pembangunan ekonomi yang berkelanjutan. Kabinet yang terlalu gemuk dan penuh dengan figur politik yang tidak kompeten justru dapat memperburuk kualitas birokrasi dan menyebabkan kemunduran dalam tata kelola pemerintahan.

Oleh     : Darmawan Sepriyossa

JERNIH– Baru-baru ini, bocoran susunan kabinet Prabowo Subianto yang beredar luas di dunia maya menimbulkan banyak spekulasi tentang wajah politik Indonesia di bawah pemerintahan barunya. Salah satu hal yang paling mencolok dari bocoran tersebut adalah kehadiran sejumlah nama yang sebelumnya sudah menjadi bagian dari Kabinet Jokowi. Ini memunculkan pertanyaan penting: apakah Prabowo sedang membentuk kabinet atas dasar kemampuan dan kompetensi, ataukah lebih dominan karena  tendensi intervensi dari Jokowi?

Darmawan Sepriyossa

Proporsi muka lama dan tendensi Jokowi

Kehadiran muka-muka lama dari Kabinet Jokowi dalam susunan kabinet Prabowo yang beredar luas itu menimbulkan pertanyaan besar: seberapa besar pengaruh Jokowi dalam penyusunan ini? Dalam konteks transisi kekuasaan, keberadaan nama-nama lama seperti Menteri BUMN Erick Thohir atau Menteri Keuangan Sri Mulyani bisa dimaknai sebagai bentuk “cawe-cawe” Jokowi untuk tetap memiliki pengaruh di pemerintahan Prabowo. Jokowi, dengan latar belakang populisme dan kebijakan yang cenderung pragmatis, mungkin memiliki alasan untuk memastikan bahwa warisan kebijakannya tetap terjaga di bawah pemerintahan baru.

Namun, keputusan untuk mempertahankan tokoh-tokoh dari kabinet sebelumnya juga bisa dimaknai sebagai strategi Prabowo untuk menjaga stabilitas dan kesinambungan dalam masa transisi. Sri Mulyani, misalnya, adalah figur yang kredibilitasnya diakui baik di dalam negeri maupun internasional. Di sisi lain, mempertahankan terlalu banyak wajah lama dapat menimbulkan kesan bahwa Prabowo tidak melakukan perubahan mendasar, sesuatu yang sangat diharapkan tak hanya pendukungnya, melainkan mayoritas warga yang ingin melihat transformasi di pemerintahan baru.

Jika kita membandingkan dengan masa Orde Baru, Presiden Suharto dikenal mampu mengombinasikan para teknokrat dengan kalangan politisi untuk menciptakan kabinet yang efektif dan relatif stabil. Kabinet Suharto, meskipun banyak dikritik karena otoritarianismenya, sering kali dianggap sebagai bentuk zaken kabinet, di mana teknokrat berperan besar dalam pengambilan kebijakan.

Zaken kabinet, yang berasal dari bahasa Belanda, adalah kabinet yang diisi oleh orang-orang dengan kemampuan teknis dan profesional di bidangnya, tanpa terpengaruh oleh kalkulasi politik yang berlebihan. Model ini dianggap sebagai pendekatan ideal dalam pemerintahan yang ingin fokus pada pembangunan dan manajemen negara yang efektif.

Kabinet gemuk: beban akomodasi

Jika bocoran kabinet Prabowo menjadi kenyataan, dengan banyaknya kementerian dan posisi yang diisi oleh berbagai kelompok politik, maka kita harus bertanya: apakah Prabowo memilih pendekatan kabinet gemuk untuk mengakomodasi kepentingan politik ini adalah pilihan yang terbaik untuk kondisi Indonesia saat ini? Kabinet Jokowi di periode keduanya juga menghadapi kritik karena dianggap terlalu “gemuk” dan mengakomodasi terlalu banyak kekuatan politik. Kritik ini muncul kembali dalam konteks kabinet Prabowo.

Menurut pemikiran politik klasik, salah satu alasan pembentukan kabinet gemuk adalah untuk memastikan stabilitas politik. Dengan memberikan tempat bagi berbagai kekuatan politik, presiden dapat memastikan bahwa mereka merasa diikutsertakan dalam pemerintahan dan, dengan demikian, cenderung mendukung agenda pemerintah. Akan tetapi, di sisi lain, kabinet yang terlalu gemuk dapat menjadi beban birokrasi yang tidak efisien, di mana koordinasi antarkementerian menjadi sulit, dan pengambilan keputusan menjadi lambat karena banyaknya kepentingan yang harus diakomodasi.

Belum lagi dalam konteks Indonesia yang pejabatnya selalu dimanja aneka fasilitas, berapa banyak anggaran harus disisihkan guna menutup biaya aneka fasilitas sekian banyak personel kabinet itu?

Filsuf politik seperti Niccolò Machiavelli dalam “The Prince” telah lama mengingatkan bahwa seorang pemimpin harus mampu mengelola sekutu politiknya dengan baik. Terlalu banyak mengakomodasi bisa membuat pemimpin kehilangan kontrol dan menjadi tawanan dari kekuatan-kekuatan politik yang ada.

Dalam konteks modern, para ahli seperti Francis Fukuyama dalam bukunya “Political Order and Political Decay” (2014), yang menggenapkan buku sebelumnya, “The Origins of Political Order” (2011), menekankan pentingnya birokrasi yang kuat dan efisien dalam memastikan pembangunan ekonomi yang berkelanjutan. Kabinet yang terlalu gemuk dan penuh dengan figur politik yang tidak kompeten justru dapat memperburuk kualitas birokrasi dan menyebabkan kemunduran dalam tata kelola pemerintahan.

Zaken Kabinet: harapan yang kian menjauh?

Konsep zaken kabinet yang sering digadang-gadang sebagai solusi untuk menciptakan pemerintahan yang efisien tampaknya semakin jauh dari kenyataan di Indonesia. Zaken kabinet adalah bentuk ideal di mana kabinet diisi oleh individu-individu yang memiliki keahlian teknis dan pengalaman profesional yang mendalam di bidang masing-masing, sehingga diharapkan kebijakan yang dihasilkan lebih berfokus pada hasil yang optimal, bukan pada kepentingan politik jangka pendek. Dalam konteks Indonesia saat ini, dengan tantangan besar seperti pemulihan ekonomi pasca-pandemi, krisis energi global, dan ancaman inflasi, zaken kabinet mungkin menjadi pilihan terbaik untuk menghadapi tantangan ini.

Namun, dalam praktiknya, pembentukan zaken kabinet sering kali berbenturan dengan realitas politik. Presiden harus menghadapi tekanan dari berbagai partai politik yang ingin mendapat bagian kekuasaan. Dalam situasi seperti ini, kabinet gemuk menjadi alat kompromi yang digunakan untuk menjaga kestabilan politik, meskipun sering kali mengorbankan efektivitas pemerintahan.

Dari perspektif historis, Indonesia pernah memiliki kabinet yang lebih ramping dan berorientasi pada teknokrasi, terutama di era awal Orde Baru. Para menteri diisi oleh kalangan teknokrat yang memiliki rekam jejak di bidangnya, seperti Widjojo Nitisastro dan Ali Wardhana yang memimpin sektor ekonomi. Keberhasilan mereka dalam menstabilkan ekonomi Indonesia setelah kekacauan pada era Sukarno menunjukkan betapa pentingnya kabinet yang diisi oleh para ahli.

Menganalisis susunan kabinet Prabowo dalam konteks tantangan internal dan global yang dihadapi Indonesia saat ini, ada beberapa keuntungan dan kerugian yang bisa diangkat. Di satu sisi, kabinet gemuk yang mengakomodasi berbagai kekuatan politik dapat menciptakan stabilitas jangka pendek. Dengan melibatkan banyak aktor politik, Prabowo mungkin bisa mengurangi resistensi terhadap kebijakan-kebijakan yang akan diambil pemerintahannya. Selain itu, kabinet yang gemuk juga bisa memberikan keleluasaan bagi presiden untuk menunjuk figur-figur profesional di kementerian-kementerian yang strategis, sementara memberikan posisi yang lebih politis kepada kelompok-kelompok yang memerlukan akomodasi.

Namun, di sisi lain, kabinet yang gemuk juga memiliki risiko besar. Selain biaya operasional yang lebih tinggi, kabinet yang terlalu besar cenderung kurang efektif. Koordinasi antarkementerian menjadi lebih sulit, dan pengambilan keputusan bisa terhambat oleh banyaknya kepentingan yang harus diperhitungkan. Dalam konteks tantangan global seperti krisis pangan, perubahan iklim, dan ketidakpastian ekonomi global, Indonesia membutuhkan kabinet yang solid, efisien, dan mampu merespons dengan cepat.

Kesimpulannya, apakah kabinet Prabowo akan efektif atau tidak,sangat bergantung pada bagaimana presiden baru ini mampu mengelola dinamika politik di dalam kabinetnya. Jika Prabowo dapat menemukan keseimbangan antara akomodasi politik dan profesionalisme, kabinet gemuk mungkin masih bisa berjalan dengan baik. Namun, jika akomodasi politik terlalu dominan, maka tantangan-tantangan yang dihadapi Indonesia bisa menjadi semakin berat. Di sinilah relevansi dari konsep zaken kabinet kembali terasa: Indonesia mungkin tidak memerlukan kabinet gemuk yang diisi oleh politisi-politisi, melainkan kabinet yang lebih ramping dan diisi oleh para ahli yang mampu membawa perubahan nyata bagi bangsa ini. [ ]

Back to top button