SolilokuiVeritas

Kapitalisasi Kesehatan Menkes BGS dan Kritik Terhadap Dokter

Konflik ini tidak bisa diselesaikan hanya dengan regulasi, karena yang bersilang adalah dua cara berpikir tentang manusia. Bedanya, BGS punya ‘mapatu’ (ini bahasa Manado untuk ‘gagang pisau”) berbekal regulasi dan powerfull menyusun aturan, sementara pihak lain hanya berbekal idealisme dan kekuatan moral. BGS melakukan pemindahan dokter, menutup prodi spesialis, menghukum dokter, menunjukkan bahwa ‘mapatu’ nya dipakai dengan baik.

Oleh     :  Taufiq Fredrik Pasiak*

JERNIH– Dunia kedokteran Indonesia sedang berada di tengah benturan besar—bukan sekadar kebijakan administratif, melainkan paradigma cum ideologis, bahkan lebih kecil lagi berakar dalam cara berpikir.

Di satu sisi, Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin (BGS) mendorong percepatan produksi dokter spesialis: rumah sakit diarahkan menjadi pusat pendidikan, kuota diperluas secara drastis, dan standar pendidikan pun mulai disusun oleh kolegium versi pemerintah—struktur baru yang dinilai lebih “efisien” dibanding kolegium lama yang diisi oleh para profesional medis dan akademisi.

Di sisi lain, organisasi profesi, akademisi, hingga para guru besar menanggapi dengan keras. Bagi mereka, langkah-langkah ini bukan sekadar percepatan administratif, tetapi upaya mendasar (paradigmatik dan epistemologik) untuk mengubah wajah pendidikan dokter: dari proses pembentukan manusia menjadi proses distribusi sumber daya (barang). Pendidikan dokter kini diarahkan mengikuti logika sistem dan mekanisme pasar, bukan prinsip kedalaman, etika, dan pertumbuhan kognitif-moral.

Tak bisa dipungkiri, jejak cara berpikir BGS terbentuk dari pengalaman panjangnya di dunia perbankan dan industri. Ia terbiasa dengan sistem yang dinilai dari kecepatan, output, dan skala distribusi. Maka ketika BGS memandang dunia kesehatan dan kedokteran dari kacamata yang sama, wajah rumah sakit pun diarahkan menjadi semacam unit bisnis negara—dengan fleksibilitas BLU (baca: BUMN), target pendapatan, dan sistem pendidikan internal. Dunia kedokteran pun, tanpa disadari, sedang dialihkan dari panggilan profesi menjadi lini produksi strategis.

Apa yang kita saksikan hari ini adalah pertarungan diam-diam antara dua paradigma besar: Yang satu bergerak dengan logika efisiensi sistem—supply-demand paradigm—yang memandang dokter sebagai sumber daya yang bisa ditambah volumenya ketika stok berkurang. Yang lain bertahan dengan logika formasi manusia, sebuah pendekatan yang mengakar pada professional ethos dan nilai dasar profesi penyembuh.

Di bawah paradigma manajerial, percepatan adalah kebutuhan sistemik. Namun,  di bawah paradigma etik-humanistik, percepatan bisa berarti mutilasi proses pendewasaan klinis. Masuk akal, ketika negara tergesa-gesa mempercepat, para dokter justru mengambil sikap penahanan. Bukan karena mereka takut berubah, tetapi karena mereka tahu bahwa membentuk seorang dokter bukan soal memproduksi kompetensi, tetapi menumbuhkan kesadaran moral dan kepekaan kemanusiaan—yang tidak bisa diproses dalam jalur cepat.

Jika satu pihak berangkat dari logika logistik, maka pihak lain berdiri di atas logika tanggung jawab eksistensial. Dan konflik ini tidak bisa diselesaikan hanya dengan regulasi, karena yang bersilang adalah dua cara berpikir tentang manusia. Bedanya, BGS punya ‘mapatu’ (ini bahasa Manado untuk ‘gagang pisau”) berbekal regulasi dan powerfull menyusun aturan, sementara pihak lain hanya berbekal idealisme dan kekuatan moral.

Tampaknya, ini ‘pertarungan’ tidak seimbang. BGS melakukan pemindahan dokter, menutup prodi spesialis, menghukum dokter, menunjukkan bahwa ‘mapatu’ nya dipakai dengan baik.

Namun, tidak adil jika kritik hanya diarahkan kepada pemerintah. Karena di sisi lain, pada beebrapa senter, dunia pendidikan spesialis itu sendiri telah lama menjadi ruang yang terlampau kaku, rumit, dan hierarkis. Seleksi yang tidak selalu transparan, jalur pendidikan yang mahal dan panjang, serta sistem evaluasi yang kadang lebih mempertahankan status kuasa daripada “mendewasakan” peserta didik—semuanya menjadi bagian dari realitas yang tak bisa disangkal.

Hierarki akademik yang semestinya membimbing, kadang berubah menjadi sekat yang membungkam. Mahasiswa spesialis menjadi “junior klinis” dalam sistem pelayanan, tapi belum tentu mendapat proses pembinaan yang terstruktur. Mereka bekerja di bawah tekanan, tapi tidak selalu dibimbing untuk berpikir reflektif. Dalam beberapa kasus, ruang pendidikan malah terasa seperti arena seleksi alam, bukan ekosistem pertumbuhan.

Padahal, sistem pendidikan dokter spesialis seharusnya mengemban tanggung jawab besar: membentuk otak yang mampu membuat keputusan di bawah tekanan, menumbuhkan empati dalam kekacauan klinis, dan menanamkan rasa tanggung jawab pada nyawa orang lain. Sistem ini seharusnya menjadi ruang pembentukan cara berpikir dan moral, bukan sekadar ladang pelatihan teknis.

Janganlah heran jika kritik terhadap dunia pendidikan spesialis menjadi pintu masuk bagi reformasi ala BGS—dan pada titik inilah Menteri Kesehatan membaca peluang. Sayangnya, upaya reformasi BGS itu tidak menyasar kedalaman sistem, tapi justru memotong permukaannya: mempercepat durasi, memecah jalur akademik, dan memindahkan pusat pembelajaran dari universitas ke rumah sakit, dari Pendidikan ke (bentuk) pelatihan.  Bukan membenahi akar masalah, tapi mem-bypass sistem.

Benar, kita harus mengakui bahwa tidak semua pusat pendidikan spesialis bekerja ideal. Di beberapa tempat, sistemnya terlalu birokratis, komunikasi antardisiplin minim, dan hierarki lebih ditegakkan daripada kolaborasi. Namun, kelemahan ini harus dibaca sebagai ruang perbaikan internal, bukan celah untuk merombak secara serampangan fondasi pendidikan profesi kedokteran.

Menggunakan kekurangan sebagian institusi sebagai pembenaran untuk menggerogoti sistem pendidikan nasional adalah pendekatan yang reaktif dan berbahaya. Terutama jika alasan yang dipakai adalah efektivitas, efisiensi, krisis, dan kebutuhan pasar. Karena pendidikan kedokteran tidak dibangun untuk menyenangkan pasar, melainkan untuk menyiapkan manusia yang mampu bertanggung jawab atas hidup dan mati sesamanya.

Sistem pendidikan dokter, dengan segala kelemahannya, tetap mengemban amanah luhur: membentuk manusia yang berpikir dengan kepala dingin, bertindak dengan hati jernih, dan memikul keputusan di bawah tekanan moral. Maka kritik terhadap sistem pendidikan sah dan perlu, tetapi reformasi harus tetap berpijak pada prinsip bahwa yang sedang kita bentuk bukan operator layanan, melainkan profesional dengan jiwa penyembuh.

Karena itu, jika reformasi dan transformasi  hendak dijalankan dengan sungguh-sungguh, maka pembenahan tidak boleh berhenti pada tambal sulam di hilir. Yang dibutuhkan bukan percepatan yang didikte oleh kebutuhan pasar, tetapi pembenahan pada akarnya: desain pendidikan kedokteran yang selama ini terlalu tertutup, terlalu hierarkis, dan terlalu lambat beradaptasi.

Kita tidak sedang bicara tentang sekadar menambah jalur atau memotong durasi. Kita sedang bicara tentang menata ulang ekosistem pendidikan kedokteran dari hulu—kurikulumnya, metodenya, nilai dasarnya. Bukan sekadar mempercepat produksi, tapi memperkuat proses pembentukan manusia yang utuh: berpikir jernih, bertindak tepat, dan mampu berdiri tegak di tengah tekanan klinis dan beban moral.

Reformasi dan transformasi yang lahir dari kepanikan hanya akan melahirkan sistem darurat yang terus-menerus krisis. Sebaliknya, reformasi yang menyentuh akar—dengan dialog sejajar antara negara dan profesi, dengan keberanian memperbaiki tapi tidak merusak—akan melahirkan sistem yang tahan lama dan tetap manusiawi

Solusi Praktis

Jika kita ingin keluar dari kebuntuan yang kini mengeras antara negara dan komunitas profesi, maka langkah yang dibutuhkan bukan kompromi kosong, melainkan solusi praktis yang memberi ruang terhormat bagi kedua belah pihak—khususnya kepada mereka yang selama ini mengemban mandat etik dan akademik dalam membentuk dokter: lembaga profesi dan institusi pendidikan.

Langkah pertama yang mendesak dilakukan adalah menghentikan perluasan jalur pendidikan spesialis secara masif, dan menggantinya dengan audit menyeluruh terhadap pusat-pusat pendidikan yang sudah ada. Audit ini bukan hanya soal jumlah layanan, tapi tentang kualitas pembinaan, integritas akademik, dan kesesuaian nilai etik profesi. Audit harus dilakukan secara bersama dan setara—dipimpin oleh perwakilan universitas dan kolegium, dengan negara sebagai fasilitator, bukan penentu tunggal.

Untuk menghindari keputusan sepihak selama masa transisi ini, perlu dibentuk sebuah Dewan Transisi Nasional Pendidikan Spesialis yang diisi oleh aktor-aktor yang memahami denyut kehidupan pendidikan kedokteran secara utuh: kolegium, asosiasi profesi, fakultas kedokteran, rumah sakit pendidikan, dan kementerian. Dewan ini bukan simbol dialog, tetapi ruang bersama untuk memutuskan kebijakan strategis jangka pendek berdasarkan prinsip etik, ilmiah, dan kebutuhan lapangan yang objektif.

Jika pemerintah tetap perlu menjawab krisis distribusi dokter spesialis secara cepat, maka pendekatannya harus melalui uji coba terbatas. Program percepatan bisa dilakukan di daerah-daerah dengan defisit kritis, tapi dalam skema pilot yang dikendalikan langsung oleh universitas sebagai penjamin mutu. Rumah sakit di daerah tidak boleh dibiarkan menjadi lembaga pendidikan yang mandiri dan lepas dari ekosistem akademik, melainkan harus ditempatkan dalam jejaring kemitraan dengan fakultas kedokteran sebagai pusat pengetahuan.

Lebih jauh, sistem mentoring harus segera diperkuat. Pendidikan kedokteran—khususnya di tahap klinik—bukan sekadar tentang kuota dan rotasi, melainkan proses pendampingan bertahap menuju kedewasaan klinis, moral dan integritas. Di sinilah peran profesi harus dominan: menyusun standar pembimbingan, membentuk jaringan pelatih klinis, dan menjaga agar transformasi dokter tetap berakar pada nilai, bukan sekadar keterampilan.

Solusi-solusi ini bersifat praktis, tapi berdiri di atas fondasi prinsipil: bahwa negara boleh mengelola sistem, tetapi hanya komunitas profesi dan akademik yang tahu bagaimana cara membentuk manusia. Maka jika krisis memanggil kita untuk bergerak cepat, marilah kita tetap melangkah dengan akal sehat. Karena dokter yang baik tidak lahir dari kecepatan, tapi dari ketepatan proses pendewasaannya. [ ]

* Ilmuwan Otak, Dekan FK UPN Veteran Jakarta

Back to top button