Kasus Baku Tembak Polisi: Teguran Buat Media Massa
Diambil hikmahnya, inilah momen penting Polri untuk menegakkan cita-cita Presisi tersebut. Bila di hadapan momen penting ini Polri masih tergoda untuk ‘bermain’, orang Romawi kuno akan menepuk kening mereka seraya berteriak kecewa,”Actum est de republica! Walah, habislah negara!”
JERNIH– Syukurlah, baik Kepala Kepolisian RI (Kapolri),Jenderal Listyo Sigit Prabowo, maupun kepala eksekutif tertinggi negeri, Presiden Jokowi, sama-sama memberikan angin segar bagi peluang terungkapnya kasus baku tembak sesama polisi—bahkan sesama anggota Brimob—yang terjadi di rumah Kepala Divisi Propam Polri, Irjen Ferdy Sambo. Kapolri menjanjikan pembentukan tim khusus untuk mengungkap hal itu, sementara Jokowi selain meminta agar kasus itu diungkap tuntas, juga memerintahkan agar proses hukum kasus itu segera dilakukan.
Harapan Kapolri agar kasus tersebut bisa diungkap melalui pemeriksaan yang transparan dan objektif, juga menggembirakan. Tinggal satu hal yang masih diharapkan publik—yang diwakili Indonesia Police Watch (IPW), Ketua Komisi III DPR RI, dan Institute for Security and Strategic Studies (ISESS)—yakni penonaktifan Ferdy Sambo, yang sementara ini ditolak Kapolri. Desakan IPW sendiri beralasan, antara lain, karena yang bersangkutan adalah saksi kunci kejadian naas tersebut.
“Sulit untuk menghindari asumsi-asumsi negatif yang muncul di masyarakat bila Irjen Ferdy Sambo masih menjabat sebagai Kadiv Propam, karena akan diragukan objektivitasnya,”ujar Bambang Rukminto dari ISESS, menambah alasan untuk itu. Penonaktifan sendiri tak bisa disebutkan sebagai sanksi—sebagaimana yang bergulir sebagai wacana saat ini, melainkan hanya upaya menjalankan proses hukum secara objektif untuk mencari keadilan.
Dorongan pimpinan tertinggi Polri serta Kepala Negara itu tentu saja tak boleh jadi mubazir. Tim khusus bentukan Polri dari awal harus berkomitmen untuk sungguh-sungguh mengungkap tuntas insiden ini tanpa pretensi apa pun, kecuali mengungkap kebenaran. Segala kekuatiran tentang citra Polri manakala kebenaran terkuak—misalnya—sebagaimana konon rumors di masa lalu, harus diabaikan. Publik akan lebih mencintai Polri yang mengedepankan cita-cita Presisi, yakni institusi Polri dan aparatnya yang prediktif, responsibilitas, transparansi dan berkeadilan.
Diambil hikmahnya, inilah momen penting Polri untuk menegakkan cita-cita Presisi tersebut. Bila di hadapan momen penting ini Polri masih tergoda untuk ‘bermain’, orang Romawi kuno akan menepuk kening mereka seraya berteriak kecewa,”Actum est de republica! Walah, habislah negara!”
Pembentukan tim itu pun sejatinya bagus buat citra Polri sekaligus bagi Presiden. Sukar untuk menafikan bahwa citra Polri sangat lekat dengan citra Presiden, seiring Pasal 5 ayat 1 Perpres no 52 tahun 2010, bahwa: “Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia disingkat Kapolri adalah Pimpinan Polri, yang bertanggung jawab kepada Presiden.” Karena posisi Polri seperti itulah, maka sama saja dengan mempertaruhkan citra Presiden Jokowi di mata publik bila kasus ini ditangani serampangan, tidak transparan, apalagi manakala masyarakat melihat ada upaya lain di luar membongkar kebenaran secara tuntas.
Era seperti itu sudah harus kita kubur bersama sebagai pengalaman kelam yang barangkali niscaya agar negeri ini mencapai saat gemilangnya, kelak. Persis sebagaimana ucapan Kaisar Augustus sebelum matinya,”Acta est fabula—(waktu) sandiwara telah selesai…”
Transparansi juga bisa mencegah bertambahnya lebih banyak lagi kalangan yang skeptis akan pengungkapan insiden ini. Benar, di era informasi, manakala masyarakat bisa mengakses segala macam kabar—termasuk sinyalemen, aneka dugaan, bahkan hoaks— tumbuhnya lapisan masyarakat skeptis memang tidak terelakkan. Lapisan masyarakat yang cenderung seolah selalu nyinyir pada apa pun keterangan dan informasi negara. Tetapi kondisi itu bukanlah situasi yang taken for granted. Senantiasa mengedepankan sikap transparans dalam berbagai hal, akan mengikis hingga habis segala sifat nyinyir tersebut. Sementara sikap skeptis, sejarah dunia pun mengajarkan bahwa sikap tersebut baik, bahkan bisa mulia.
Kita memang sudah kadung terperosok ke dalam era post-truth, yang konon dicirikan dengan masyarakat yang kurang peduli dengan hal-hal objektif, melainkan lebih memilih info yang memiliki daya tarik emosional dan (terkait) kepercayaan pribadi”. Tetapi tentu, karena hidup seringkali berjalan berdasarkan hukum kausalitas, ada fenomena kuat yang menyebabkannya.
Menurut orang yang konon disebut Oxford sebagai pencetus pertama istilah itu, dramawan Serbia-Amerika, Steve Tesich, sikap apatis terhadap informasi versi pemerintah yang mengiringi sekian skandal pemerintahan Amerika Serikat, datang dari keinginan rakyat Amerika untuk ‘berlindung’ dari kebenaran yang lebih sering menyesakkan. “Sindrom Watergate” yang dialami public AS, ditambah sekian banyak skandal lain, semacam manipulasi informasi Perang Vietnam serta skandal penjualan senjata ‘Iran-Contra’, manipulasi info Perang Teluk kemudian, membuat publik AS—dalam terma Tesich, muak dan jijik.
“Terungkapnya fakta bahwa Presiden Nixon dan anggota kabinetnya adalah sekelompok penjahat murahan benar-benar membuat bangsa ini muak dan jijik. Tapi kebenaran menang dan sekali lagi bangsa yang besar ini dengan bangga menepuk dadanya sendiri; terlepas dari kejahatan yang dilakukan di kantor tertinggi di tanah AS, sistem pemerintahan kita berhasil. Demokrasi menang,” tulis Tesich.
Tetapi seiring manipulasi info Perang Vietnam, lalu Nixon pun begitu cepat dimaafkan, menurut dia, rakyat AS mulai menghindar dari kebenaran. “Kita pun mulai menyamakan kebenaran dengan berita buruk dan kita tidak menginginkan berita buruk lagi, tidak peduli seberapa benar atau vitalnya hal itu bagi kesehatan kita sebagai sebuah bangsa. Kita meminta pemerintah untuk melindungi diri kita dari kebenaran,” tulis Tesich. Terbentuklah masyarakat post-truth, dan era post-truth pun segera datang menjadi fenomena dunia. Publik negara demokrasi—AS—tiba-tiba menyerah kepada keadaan dan menerima bahwa sensor pers adalah ‘kejahatan yang perlu’.
“Kita juga dengan cepat menjadi purwarupa dari masyarakat yang hanya bisa didambakan monster-monster totalitarian dalam mimpi mereka. Semua diktator hingga saat ini harus berupaya keras untuk menutupi kebenaran. Kita, dengan tindakan kita sendiri, menunjukkan bahwa hal itu tidak lagi diperlukan,…kita telah dengan sukarela memilih untuk hidup di dunia pasca-kebenaran,” tulis Tesich dalam artikel fenomenalnya,“A Government of Lies”, yang dimuat The Nation, 1992 lalu.
Tantangan buat media massa
Sudah menjadi rahasia umum bahwa saat ini pun menjadi era yang sulit buat kehidupan media massa. Bila merujuk Tarikh Islam, kondisi saat ini bisa diumpamakan Tahun Duka, yang terjadi sekitar tahun ke-10 kenabian. Ini tahun-tahun to be or not to be bagi media. Tahun-tahun yang barangkali akan dikatakan sebagai tahun vivere pericoloso oleh Bung Karno—tahun-tahun penuh bahaya.
Namun kita pun sadar, hidup-mati media massa tak hanya ditentukan oleh seberapa banyak uang yang bisa dikumpulkan. Kredibilitas juga menentukan apakah media itu akan ‘hidup’, atau justru bertahan sekian lama dalam nestapa, sebelum akhirnya sama juga, mati.
Kredibilitas inilah yang dipercayai berkaitan dengan mortalitas media. Sebuah survey yang digelar di AS pada dekade lalu menyatakan, sebenarnya pada 2025-an mendatang, public AS hanya memerlukan empat media massa, seiring tingkat kepercayaan mereka. Keempatnya itu adalah The New York Times, The Washington Post, USA Today, serta Wallstreet Journal. Cukup, itu saja.
Hal tersebut seiring hasil studi yang dilakukan Edelman, bahwa sejak 2012 hingga 2018 kepercayaan masyarakat terhadap media massa memperlihatkan tren menurun. Pada 2013,tingkat kepercayaan terhadap media memang sempat meningkat dari 68 persen di 2012 menjadi 73 persen. Namun setelahnya trend terus menurun, bahkan sempat mencapai 63 persen di 2016.
Artinya, media massa harus konsisten menjalankan ‘tugas suci’, yang di tengah persiangan industri pers sempat terpinggirkan. Yang terutama, media massa seharusnya benar-benar menjalankan tugasnya sebagai the clearing house of information, tempat masyarakat menyandarkan diri untuk mempercayai benar-tidaknya sebuah kabar yang mengemuka. Majalah TEMPO, sejak awal kelahiran kembalinya pada 1998 mencita-citakan posisi tersebut di masyarakat Indonesia.
Tetapi TEMPO pun bukan tanpa halangan dan persoalan internalnya sendiri. Pada sekitar tahun 2003, di kala ‘war on terror’ tengah menjadi hits, banyak media di Indonesia lupa satu hal: bahwa pernyataan pihak Polri harus senantiasa dikatakan sebagai pernyataan pihak Polri. Tidak boleh sekali-kali hal tersebut baur dan akhirnya dianggap menjadi satu-satunya kebenaran atas peristiwa yang terjadi.
Di TEMPO, perdebatan soal itu terjadi berbulan-bulan, melibatkan terutama Farid Gaban, BHM dan Karaniya Dharmasaputra. Farid mengkritik cara TEMPO–yang saat itu mulai cenderung menjadi kebiasaan, untuk menjadikan versi polisi laiknya “begitulah peristiwanya”.
Kami, para wartawan coro, hanya menyaksikan perdebatan yang terjadi, sambil sesekali ikutan di sisi-sisi yang memungkinkan kami ikut nimbrung. Sayangnya, tanpa kami ketahui lebih detil, perdebatan terhenti dengan pengunduran diri Farid.
Intinya, sebagaimana yang diyakini Farid, saya percaya bahwa skeptisisme sudah seharusnya menjadi sifat dan perilaku wartawan. Kalau sifat itu mengganggu, ya memang mana ada coro yang tak menganggu? Paling tidak, menurut pemenang tiga kali Penghargaan Pulitzer, Thomas Friedman, skeptisisme bahkan nyawa jurnalisme. “Skeptis, selalu mempertanyakan segala sesuatu, meragukan yang diterima, mewaspadai segalanya agar tidak ditipu, adalah inti jurmalisme.”
Sebab paling tidak, penulis The Professional Journalist, John Hohenberg percaya bahwa wartawabn tidak hidup untuk mengembangkan cheerleader complex, yakni sikap berhura-hura mengikuti arus yang ada, puas dengan permukaan sebuah peristiwa, serta enggan mengingatkan kekurangan-kekrangan yang ada di masyarakat. Joseph Pulitzer sendiri pernah mengingatkan bahwa media massa tak akan pernah menjadi besar hanya dengan ‘mencetak’ selebaran yang disiarkan para tokoh pengusaha dan politikus.
Wartawan harus terjun ke lapangan, berjuang dan menggali hal-hal yang eksklusif. Ketidaktahuan membuka kesempatan korup, sedangkan pengungkapan mendorong perubahan. Masyarakat yang mendapat informasi lengkap, akan menuntut perbaikan dan reformasi. Paling tidak, itu yang dipercayai Mitchell V. Charnley, guru besar di the University of Minnesota School of Journalism, dalam magnum opusnya, “Reporting”.
Oh ya, tidak pula pada tempatnya wartawan bosan dengan ‘kebenaran’, sesuatu yang menjadi tugasnya untuk diperjuangkan. Wartawan cum filsuf Julian Baggini pernah berkata,”Dunia masih tidak siap, dan tidak pula bersedia untuk mengucapkan selamat tinggal kepada kebenaran.” [dsy]