
Kongres Pemuda I 1926 dan Kongres Pemuda 1928 tidak terlepas dari kalangan ini. Begitu juga peristiwa penculikan Bung Karno dan Bung Hatta pada 1945 yang berujung kepada Proklamasi 17 Agustus 1945. Sepanjang 1965-1966, mereka bergerak terus, berujung kepada peralihan kekuasaan dari tangan Bung Karno. Mereka bergerak lagi 1974 dan 1978. Ratusan pimpinan mahasiswa diadili dan masuk penjara. Dua puluh tahun kemudian, Presiden Soeharto mengundurkan diri akibat aksi kelompok pemberang ini.
Oleh : Indra J Piliang Sang Gerilyawan
JERNIH– Kalangan yang sering disebut sebagai kelompok pemberang adalah mahasiswa. Kelompok yang menahbiskan diri bagi perubahan demi perubahan yang tertuju kepada rakyat.
Identifikasi terhadap rakyat adalah mereka yang berasal dari kalangan miskin, menderita, namun tahan banting dalam menjalankan kehidupan yang keras. Periode kehadiran kalangan mahasiswa pemberang ini terjadi dalam dua puluh tahun sekali. Mereka memang dibentuk dalam sejarah panjang, yakni sejak apa yang dinamakan oleh Taufik Abdullah sebagai “Kaoem Moeda Movement” pada 1908.
Kongres Pemuda I 1926 dan Kongres Pemuda 1928 tidak terlepas dari kalangan ini. Begitu juga peristiwa penculikan Bung Karno dan Bung Hatta pada 1945 yang berujung kepada Proklamasi 17 Agustus 1945. Sepanjang 1965-1966, mereka bergerak terus, berujung kepada peralihan kekuasaan dari tangan Bung Karno. Mereka bergerak lagi 1974 dan 1978. Ratusan pimpinan mahasiswa diadili dan masuk penjara. Dua puluh tahun kemudian, Presiden Soeharto mengundurkan diri akibat aksi kelompok pemberang ini.
Bisa dikatakan, kalangan pembangkang inilah yang mewarnai kepemimpinan nasional, terutama pada lapisan kedua setelah presiden pada lapisan pertama. Yang paling lama berada pada posisi ini adalah angkatan 1966 dan angkatan 1970-an. Mereka menjadi pimpinan partai politik, anggota kabinet, legislator nasional, akademisi, pengusaha dan profesional lain.
Mereka tak hilang ditelan zaman. Yusril Ihza Mahendra sebagai anggota Majelis Pertimbangan Mahasiswa Universitas Indonesia yang menulis spanduk: “Nama Dua Nabi, Kelakuan Dua Iblis” yang tertuju kepada Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Daoed Joesoef kini masih menjadi menteri utama dalam Kabinet Merah Putih. Begitu juga Airlangga Hartarto, ketua Senat Mahasiswa Fakultas Teknik Universitas Gajah Mada. Heri Achmadi sebagai ketua Dewan Mahasiswa Institut Teknologi Bandung kini menjadi duta besar di Jepang.
Kalangan intelektual dan aktivis di setiap zaman sangat dipengaruhi tokoh-tokoh mahasiswa pada zaman masing-masing. Baik yang di sebelah sana, maupun di sebelah sini. Mereka tentu bukan sekadar kerumunan atau kelompok yang ikut menggerutu dalam korsa pidato pemimpin demagog. Mereka adalah para pemikir dalam tingkat teknis dan detil di bidang masing-masing. Berbeda dengan tipologi gerakan mahasiswa 1998 yang tak sampai memunculkan ideologi gerakan, akibat terlalu singkat di jalanan, para pimpinan gerakan mahasiswa era 1970-an dan 1980-an lebih berdaya aksara.
Kaum Pemberang yang hadir dalam peristiwa kemerdekaan adalah mereka yang melawan fasisme. Sutan Syahrir adalah ideolog paling terkemuka, bersama pasukan khusus seperti Adam Malik, Chairil Anwar, Chaerul Saleh dan lain-lain. Dari segi pemikiran, mereka terlibat dalam Polemik Kebudayaan, berhadapan dengan Sutan Takdir Alisyahbana yang diframing pro-Barat pada tahun 1930an.
Kaum Pemberang ini bukanlah kelompok yang mengangkat kapak peperangan secara tiba-tiba, tetapi sudah bergulat dengan perbedaan-perbedaan pemikiran selama lebih dari sepuluh tahun. Bahkan pada level agitasi dan propaganda, mereka terlibat penuh dalam penyebaran pamflet atau grafiti di dinding-dinding kota hingga kereta api dengan diksi bahasa Inggris yang akurat: Merdeka atau Mati. Diksi yang diampu Tan Malaka.
Kaum Pemberang bukanlah sosok-sosok yang terus-menerus menepuk dada, berdiri di depan podium, lalu mencibir ke arah lawan-lawan yang entah siapa, tak jelas hidung yang dituju, apalagi bulu di dalam lobang hidung itu. Mereka telaten dan teliti memilih lawan. Kaum Pemberang sama sekali bukan tipologi Thomas Hobbes dalam buku “Leviathan: Bellum Omnium Contra Omnes”, perang segala lawan semuanya. Bandit-bandit sosial dalam revolusi kemerdekaan, kaum chauvinistik yang menuduh etnis tertentu adalah pro Belanda, pun mereka hadapi.
Kaum Pemberang bersekutu dengan rakyat, berseteru dengan baiat-membaiat. Raja Alim, Raja Disembah dengan sepuluh jari, bahkan kalau itu pun harus membunuh adik sendiri seperti tragedi Hang Tuah. Raja Lalim, Raja Disanggah, pun bukan dengan senjata, tetapi yel-yel perjuangan, petaka dan bendera, bertelanjang dada di alun-alun istana, berbaring di rel-rel kereta api, menutup hidung dan kuping, serta mata, dalam aroma teatrikal yang hening untuk menyatukan energi. Ada yang menembak mereka dengan peluru tajam, seperti Arief Rahman Hakim dalam tragedi 1966 atau para mahasiswa Trisakti 1998, tentu itu sambaran cemeti dari Gundala Putra Petir guna membangkaikan kuasa dan seluruh rezimnya.
Kaum Pemberang, bergeraklah! Semesta bersamamu! Sampai terang datang dari kegelapan Indonesia! []
Markas Gerilyawan, Kemayoran, Selasa, 19 Februari 2025