Solilokui

Ke Gontor, Apa yang Kau Cari? : Penganiayaan Berbuah Kematian di Perkajum

Pengelola ponpes dan ustaz pembimbing di Gontor 1 yang sejak awal tahu kejadian sebenarnya namun menutupi dengan merancang skenario yang mengatakan Aat “wafat akibat terjatuh karena kelelahan mengikuti perkajum”, baik disampaikan melalui telpon atau dikatakan langsung ketika menyerahkan jenazah kepada keluarga, sudah selayaknya dihukum seberat-beratnya oleh Pimpinan PMDG atas dusta yang dibuat dengan sengaja.

Oleh   :  Akmal Nasery Basral*

“Orang yang benar niatnya akan menemukan ilmu yang bermanfaat dan berkah.

Akan mudah baginya memberikan kemanfaatan ilmunya.”–KH Ahmad Zarkasyi  

  • – 1985)

I.

Ini skenario buruk yang bisa saja terjadi di masa depan: orang tua akan berpikir seribu kali sebelum mengirimkan anak-anak mereka ke pondok pesantren. Sebab anak perempuan rentan menjadi korban pencabulan, sedangkan anak lelaki dipulangkan dalam keadaan mati. Seperti dialami seorang santri bernama Albar Mahdi.

Kisah ini bermula dari perkajum (Perkemahan Kamis dan Jumat) santri Ponpes Gontor 1, Ponorogo, Jawa Timur, pada 18-19 Agustus 2022.

Akmal Nasery Basral

Albar Mahdi yang berusia 17 tahun—biasa dipanggil Aat—ditunjuk sebagai ketua pelaksana. Dia santri aktif dan berprestasi. Saat pertama datang dari Palembang mendapat tempat sebagai santri ponpes Gontor 4, Banyuwangi. Kecerdasannya membuat para guru merekomendasikan anak sulung dari tiga bersaudara pasangan Rusdi-Siti Soimah itu untuk menimba ilmu di Gontor 1.

Tiga hari usai Perkajum, sekitar pukul 10.20 WIB (Senin, 22/8), Soimah menerima telpon dari Gontor yang mengabarkan putranya mengembuskan napas terakhir pukul 06.45 WIB. Penyebabnya? Terjatuh akibat kelelahan sebagai ketua pelaksana perkajum. Soimah terkejut mengapa butuh waktu hampir empat jam untuk menyampaikan kabar duka sementara data orang tua santri lengkap di ponpes?

Selasa siang jenazah Aat tiba di Palembang. Seorang ustaz dari Gontor yang menyerahkan jenazah kepada keluarga dengan mengatakan penyebab kematian Aat akibat kelelahan. Anak ini “mati syahid”. Namun keluarga curiga melihat kain kafan pembungkus jenazah yang di beberapa bagian berwarna merah tersebab rembesan darah. Soimah sebagai ketua arisan perkumpulan orang tua santri Gontor di Palembang—beranggota 20-an orang—juga mendengar info berbeda dari orang tua santri lainnya mengenai penyebab kematian anaknya.

Maka perempuan yang sehari-hari berprofesi sebagai wartawati media Suara Nusantara (koransn.com) itu meminta ustaz pengantar jenazah Aat tetap di rumah mereka, sabar menunggu kedatangan dokter yang akan dihubungi untuk melakukan forensik. Strategi ini berhasil. Sang ustaz pun mengubah keterangannya: Aat meninggal dunia akibat penganiayaan yang terjadi di Perkajum. Namun dia tidak tahu kejadian rincinya.

Usai pemakaman, Soimah dan Rusdi menghubungi pengelola Ponpes Gontor untuk mendapatkan informasi lengkap. Tak ada jawaban memuaskan dari pesantren terkemuka tersebut. Soimah lalu menulis kronologi kematian putra sulungnya di laman Facebook pribadi (31/8). Tetap tak ada tanggapan memuaskan dari PMDG (Pondok Modern Darussalam Gontor) yang diharapkan keluarga.

Ahad 4 September, Soimah menempuh cara lain. Dia datangi pengacara Hotman Paris Hutapea yang sedang menggelar acara di Palembang. Dengan bersimbah air mata, dia kisahkan tragedi pilu yang menimpa anaknya. Hotman merekam dan menyiarkan lewat akun IG sembari meminta Kapolda Jawa Timur untuk mengungkap kasus ini. Dari sana kasus menggelinding, dan bergaung ke seantero negeri.

Kapolres Ponorogo AKBP, Catur Cahyono Wibowo, merespons dengan mengatakan pihaknya tak mendapat laporan apapun soal kematian Aat dari PMDG.

Ahad malam, polisi mendatangi ponpes Gontor 1. Pertemuan dadakan digelar tertutup tak boleh diliput wartawan. Keesokan harinya, Senin (5/9)—kemarin—PMDG mengeluarkan pernyataan resmi melalui Juru Bicara Noor Syahid yang mengakui adanya dugaan tindak kekerasan terhadap Aat. “Kami bertindak cepat dengan menghukum mereka yang terlibat,” ujarnya.  Hukuman dalam bentuk pemecatan terhadap pelaku dan mengembalikan mereka kepada orang tua masing-masing.

Apa yang sebenarnya terjadi? Dari pemeriksaan terhadap tujuh orang saksi, yakni dua santri, tiga ustaz pembimbing, dan dua orang dokter, didapatkan rangkuman berikut ini.

Syahdan pada perkajum, Aat meminjam sejumlah perlengkapan berkemah. Saat acara selesai, ada perlengkapan yang kurang ketika dikembalikan. Ini membuat seorang kawan satu angkatan Aat dan seorang kakak kelasnya marah. Mereka melakukan kekerasan terhadap Aat yang berbuntut datangnya malaikat maut.

Kedua santri pelaku penganiayaan berasal dari Padang dan Bangka. Masih belum jelas seperti apa bentuk kekerasan yang dialami Aat dan berapa lama dia sekarat sampai kematian terjadi tiga hari setelah Perkajum selesai. 

Sangat disayangkan Ponpes Gontor 1 baru mengakui terbuka adanya penganiayaan berat ini setelah dua pekan Aat menjadi korban. Padahal sebagai para pendidik-pendakwah mereka pasti tahu dan hafal luar kepala ayat suci kalam ilahi yang menyatakan bahwa “… barangsiapa membunuh seseorang, bukan karena orang itu membunuh orang lain, atau bukan karena berbuat kerusakan di bumi, maka seakan-akan dia telah membunuh semua manusia.” (QS 5: 32).

Memang bisa diberikan kontra argumen bahwa Aat bukan korban  pembunuhan berencana. Kedua pelaku pasti tidak berniat membunuh kawan mereka yang sama-sama berasal dari Sumatra selain ‘memberi pelajaran’ yang, celakanya, berlebihan, kebablasan, dan tak bisa diperbaiki selama-lamanya. Waktu tak bisa diputar mundur.

Penanganan masalah yang dilakukan PMDG dengan tidak melaporkan sejak awal kasus ini kepada polisi—selain memecat pelaku dan memulangkan kepada orang tua mereka—juga sulit dicerna logika. 

Bahkan menjadi lebih absurd lagi ketika pihak PMDG menyatakan ada tradisi di ponpes—yang disepakati dan ditandatangani orang tua dan para santri–bahwa untuk setiap masalah internal yang terjadi, cukup diselesaikan di antara mereka saja. Tak perlu dijadikan masalah hukum yang harus diketahui pihak luar seperti melibatkan Kepolisian.

Logika ini bisa dipahami jika yang meletup problem internal dalam skala kecil. Namun yang terjadi dalam kasus ini adalah hilangnya jiwa seorang santri. Nyawa seorang pemuda yang dititipkan dan dipercayakan orang tuanya untuk dididik dan dilindungi oleh pengelola ponpes. Bukan dikembalikan dalam keadaan jasad membeku dengan alasan dikarang-karang.

Tersebab amanah menjaga jiwa ini gagal dijalankan, para pengelola ponpes sudah selayaknya memprioritaskan tegaknya keadilan. Bukan menutup-nutupi kejadian dan malah terkesan melindungi para pelaku dengan memberikan hukuman yang jauh dari sepadan.

Sebab, meski kedua pelaku tak lagi berstatus santri Gontor karena sudah dikembalikan kepada orang tua masing-masing, pihak ponpes tetap tak bisa berkilah, apalagi cuci tangan dengan alasan sudah “bertindak cepat dengan menghukum mereka yang terlibat.”

Memulangkan santri kepada orang tua mereka hanya bisa dilakukan bagi mereka yang terlibat tindak pidana yang tak menyebabkan hilangnya nyawa, seperti mencuri atau merusak fasilitas ponpes. Bukan perbuatan yang menyebabkan hilangnya kehidupan orang lain yang merupakan salah satu dosa besar.

Pengelola ponpes dan ustaz pembimbing di Gontor 1 yang sejak awal tahu kejadian sebenarnya namun menutupi dengan merancang skenario yang mengatakan Aat “wafat akibat terjatuh karena kelelahan mengikuti perkajum”, baik disampaikan melalui telpon atau dikatakan langsung ketika menyerahkan jenazah kepada keluarga, sudah selayaknya dihukum seberat-beratnya oleh Pimpinan PMDG atas dusta yang dibuat dengan sengaja.

Jangan sampai akibat ‘nila setitik rusak susu sebelanga’ terjadi, yang membuat tercemarnya reputasi sohor ponpes Gontor.  Atau tercederainya nama baik pesantren secara umum yang jumlahnya kini mencapai 26.975 ponpes dengan 2,65 juta santri (Kemenag, April 2022).

II.

Bulan-bulan ini terakhir pelbagai aroma tak sedap memang berembus dari sejumlah pesantren. Utamanya yang berkaitan dengan kekerasan seksual, dari pencabulan sampai pemerkosaan, yang dilakukan oknum pendidik-pengelola ponpes serta santri senior.

Data Komnas Perempuan 2015-2020 menunjukkan pesantren sebagai lembaga pendidikan yang menempati peringkat kedua paling rentan perundungan seksual setelah perguruan tinggi. Jika kampus berada di peringkat pertama dengan 27 persen kejadian, maka pesantren berada di posisi selanjutnya dengan 19 persen. Peringkat ketiga ditempati SMU/SMK dengan 15 persen dilanjutkan oleh SMP dengan tujuh persen. Setelah itu kekerasan seksual di lingkungan TK, SD dan SLB, masing-masing tiga persen.

Sekali lagi, ini berdasarkan laporan yang diterima Komnas Perempuan. Berapa data kekerasan seksual yang sebenarnya di lingkungan lembaga pendidikan tak akan pernah diketahui pasti tersebab mayoritas korban memilih bungkam karena satu dan lain hal yang membuat mereka tak nyaman untuk bersuara. 

Semua bentuk kekerasan seksual adalah buruk, tak bisa ditoleransi. Namun  kekerasan seksual yang terjadi di lingkungan pendidikan menjadi mengerikan karena predator adalah para senior, bahkan pendidik, yang seharusnya menjaga dan melindungi para korban.

Puncak dari semua keburukan kekerasan seksual terjadi ketika pencabulan berlangsung lembaga pendidikan berbasis agama.  Ini musibah superserius bagi pendidikan nasional yang harus ditangani secara komprehensif.

Sebetulnya oknum pelaku kebejatan syahwat di pesantren ini sangat sedikit jumlahnya dibandingkan populasi ustaz pembimbing dan santri senior yang bersikap lurus, berakhlak mulia dan layak menjadi role model seperti ditunjukkan banyak alumni santri yang menjadi sosok-sosok terhormat di tengah masyarakat. Di berbagai bidang. Oleh karena itu, menyikapi masalah ini harus seksama seperti ‘mengambil rambut dari tepung’. Bagaimana rambut bisa diambil namun tepung tak koyak.

Umat Islam tak perlu bereaksi berlebihan, misalnya dengan menyatakan hal ini bentuk Islamophobia yang dilancarkan ‘musuh-musuh Islam’. Tidak. Ini adalah borok dan kudis diri sendiri.  Masih bisa disembuhkan dengan pengobatan tepat dan sikap mental sehat. Sebaliknya, bagi non-Muslim atau mereka yang alergi terhadap pesantren, juga tak perlu menyimpulkan kasus-kasus ini merupakan wajah pesantren secara keseluruhan. Bukan.

Sikapi secara proporsional karena kasus-kasus kekerasan seksual di lembaga pendidikan tak eksklusif terjadi pada lingkutan umat tertentu. Tragedi ini bisa terjadi di lembaga pendidikan agama mana pun bahkan di lingkungan rumah ibadah,  apa pun keyakinannya.

III.

Untuk keluarga besar Gontor yang sedang berduka cita, saatnya mengingat kembali wejangan KH Imam Zarkasyi, satu dari tiga kiai pendiri PMDG selain KH Ahmad Sahal (1901-1977) dan KH Zainuddin Fanani (1908-1967). Beliau mengatakan seperti saya kutip di awal tulisan, “Orang yang benar niatnya akan menemukan ilmu yang bermanfaat dan berkah. Akan mudah baginya memberikan kemanfaatan ilmunya.”

Artinya, jika ada oknum-oknum di lingkungan pesantren yang tak bisa memberikan kemanfaatan ilmu, bahkan menjadi penyebab musibah bagi orang lain, maka mereka adalah orang-orang yang gagal menemukan ilmu bermanfaat dan berkah.

Tragedi ini juga bisa menjadi momentum muhasabah bagi keluarga besar Gontor, baik para alumni yang tersebar di Indonesia dan manca negara apatah lagi yang sedang menjabat pengelola ponpes—ada belasan ponpes PMDG di seluruh Indonesia—agar merenungkan sungguh-sungguh selarik frasa yang terpajang gagah pada plang di setiap gedung ponpes yang megah: “Ke Gontor Apa Yang Kau Cari?”

Jika pertanyaan itu ditanyakan kepada Aat semasa hidupnya, sudah pasti tak akan pernah sedikit pun terlintas di benaknya jawaban, “Saya ke Gontor untuk mencari mati.”

Innalillahi wa inna ilaihi raji’un. [  ]

*@akmalbasral, sosiolog, penulis antologi cerpen “Putik Safron di Sayap Izrail” (Republika Penerbit, 2020),

Back to top button