Kekuasaan Rakyat di Era Bangkrutnya Demokrasi
Di tengah demonstrasi yang marak dalam kampanye Occupy Wall Street (OWS), 2 Oktober 2011, pemenang Nobel Ekonomi Joseph E Stiglitz mengejutkan dunia dengan orasinya di tengah-tengah massa yang marah saat itu. Bukan hal baru sebenarnya. Tetapi kenyataan yang diangkat itu seolah mendapatkan energi baru karena Stiglitz mengatakannya dengan lantang.
Pernyataannya itu kemudian dikemukakannya lagi dalam sebuah tulisannya belakangan, The Globalization of Protest. “…perasaan bahwa sistem sekarang ini telah gagal, dan keyakinan bahwa bahkan dalam suatu demokrasi , proses elektoral tak akan bisa membetulkan kesalahan…para pengejar rente (rent seeker) kaya menggunakan kekayaan mereka untuk memengaruhi legislasi demi melindungi dan meningkatkan kekayaan mereka….(dan ) memengaruhi arah politik…Mereka (para pemrotes itu) benar, memang ada yang salah dengan sistem kita.”
Yang disesalkan Stiglitz dan para pemrotes yang tergabung dalam OWS itu adalah betapa kekuatan-kekuatan lobi, baik lobi ekonomi maupun politikyang lazimnya diusung korporasi-korporasi besar di AS, telah melakukan distorsi besar-besaran atas prinsip-prinsip demokrasi. Rakyat boleh bebas memilih pemimpin mereka, kadang men jadikannya objek celaan, tetapi akhirnya para pemimpin terpilih itu harus tunduk kepada kekuatan lobi-lobi tersebut.
Sudah jadi common sense alias rahasia umum, kemenangan para presiden AS lebih banyak ditentukan oleh seberapa besar dana kampanye yang mereka kumpulkan.
Darimana dana-dana itu selain tentu saja dari korporasi-korporasi besar atau pribadi yang ujung-ujung terkait pula dengan korporasi besar itu?
Stiglitz dan para pemrotes dalam gerakan OWS melihat bahwa saat ini demokrasi Amerika Serikat telah menjelma menjadi sekadar oligarki kekuasaan di tangan sekelompok kecil orang. Tampaknya itu pula yang tengah terjadi di negeri ini. Demokrasi di Indonesia pun tampaknya sudah mengarah ke kebangkrutan. Demokrasi Indonesia, meski sementara kalangan ngotot menyebutnya Demokrasi Pancasila, toh bila dicermati juga telah jatuh menjadi hanya semacam oligarki.
Lihatlah, betapa kekuasaan seolah telah dengan mudah dibagi-bagi melalui lobi-lobi dan kasak-kusuk. Entah di Istana, di Senayan, atau di cofee shop dan kafe di sekeliling area kekuasaan.
Sesaat pasca-Pilpres 2014, Koalisi Merah Putih (KMP) masih menegaskan sikap oposan terhadap apa pun kebijakan yang datang dari Merdeka Utara. Tetapi di DPR saat itu, dalam kasus Komjen Budi Gunawan, dengan mudah bersama Koalisi Indonesia Hebat (KIH) yang sempat dikesankan berlawanan diametral, mereka melagukan koor yang sama. “Majulah, majulah menang, Jendral!”
Pada soal penyikapan terhadap Jenderal Budi, tidak lagi ada kubu pemenang Pemilu 2014 dan pihk yang kalah. Semua sepakat lewat lobi-lobi oligarki yang mengatasi kekuasaan rakyat. Kekuasaan (yang realitasnya ditentukan posisi jabatan) kini ditentukan berdasar kasak-kusuk kekuatan lobi, entah itu berupa kekuatan modal maupun kekuatan politik.
Terasa benar, betapa lobi-lobi itulah yang mencengkeramkan kuku mereka tidak hanya kepada kekuasaan yang ada, tetapi juga pada figur-figur potensial, sebagai investasi mereka di masa datang. Figur, yang pada saatnya bisa mereka panen pengaruh politiknya.
Masalahnya, meski secara kasat mata kita melihat betapa rapuhnya demokrasi, sistem itu masih akan dan harus kita peluk dalam kesepakatan bersama. Sistem itu tetap menjadi evil we can do without. Atau katakanlah, demokrasi bagaimana pun adalah sebuah necessary evil yang masih belum tergantikan.
Tentu saja, kesadaran akan adanya penyelewengan demokrasi menjadi oligarki ini seharusnya memicu kita semua untuk berpikir dan mencari solusi. Untuk memikirkan secara serius bagaimana mengembalikan demokrasi kepada niatnya semula sebagai kekuasaan rakyat. Tidak sekadar jargon atau pun atas nama sebagaimana saat ini. [dsy]