Kemandirian, Kleptokrasi dan Banjir Nabi Nuh Jilid Dua
Mereka tak ingin watak dominan para birokrat yang disebut Mochtar Lubis dalam novel popular di generasi mereka, ‘Senja di Jakarta’ sebagai ‘berjiwa kaum catut’—itu terus tumbuh, berbiak dan lestari dari generasi ke generasi.
Oleh : Darmawan Sepriyossa
JERNIH– Pada 1995, setelah hampir tiga tahun bergulat dengan sekian banyak wacana demi kemaslahatan negaranya, sekelompok anak muda yang tergabung dalam Forum Dialog Indonesia (FDI)—sebuah forum pemikiran pemuda lintas sipil-militer, menerbitkan sebuah buku.
Judulnya ideal, bahkan boleh jadi dianggap generasi senior mereka saat itu nyaris utopis. Judul buku itu “Membangun Kemandirian Indonesia”, seiring sejalan dengan semangat membara dalam dada mereka, khas para pemuda. Pamornya kian bertambah karena buku itu pun diberi pengantar serta kata-kata pujian untuk semangat para anak muda itu, oleh Prof Juwono Sudarsono, tokoh intelektual terkemuka.
Dari judulnya, apalagi dikaitkan dengan realitas keseharian Indonesia saat itu, buku terbitan FDI itu bisa dibilang nyaris berisikan daftar utopisme. Tentu saja setelah membongkar borok-borok yang ada, sebagai alasan rasional dan hujjah mereka untuk menyampaikan visi Indonesia yang ideal.
Indonesia yang ideal, di mata para anak muda itu adalah Indonesia yang relatif mandiri. Mereka juga mengerti, jalin-kelindan dunia yang saat itu pun menurut Kenichi Ohmae telah membuat negara-negara seolah menjadi ‘borderless’ dan terhubung saling perlu satu sama lain, menjadikan tak mungkin ada negara yang sepenuhnya mandiri, kecuali malah menjadi miskin dan terasing.
Tak hanya soal kemandirian. Indonesia ideal bagi mereka adalah Indonesia yang bebas korupsi. Korupsi yang saat itu dengan angkuh membanggakan dinding temboknya di hampir semua lembaga birokrasi, membuat jijik anak-anak muda itu. Mereka menghendaki negeri yang—kalau bisa—bebas korupsi. Sebagai anak-anak muda yang masih relatif terbebas dari budaya birokrasi yang dekaden saat itu, mereka tak percaya pada pandangan kalangan tua yang bilang bahwa korupsi justru adalah olie pelicin bagi berjalannya roda pembangunan dan ibarat bahan bakar bagi mesin birokrasi.
Mereka tak ingin watak dominan para birokrat yang disebut Mochtar Lubis dalam novel popular di generasi mereka, ‘Senja di Jakarta’ sebagai ‘berjiwa kaum catut’—itu terus tumbuh, berbiak dan lestari dari generasi ke generasi.
Kolusi dan permainan kekuasaan yang picik dan licik membuat anak-anak muda itu menginginkan negeri tempat anak-cucu mereka lahir dan tumbuh nanti tidak seperti yang mereka lihat dan alami. Anak-anak muda itu menghendaki semua warga negeri bisa mencapai tingkat kesejahteraan dan kemakmuran yang adil, sesuai peran mereka sendiri-sendiri.
Lewat buku itu—“Membangun Kemandirian Indonesia”, anak-anak muda itu menegaskan apa yang menggedor hati, menjadi kehendak tak hanya buat diri, melainkan suara mereka sebagai generasi.
Kini, seperempat abad kemudian, banyak di antara para pemuda itu telah mengisi pos-pos penting di birokrasi dan aneka lembaga negeri ini. Di sisi sipil, sekian banyak kursi petinggi lembaga-lembaga terkemuka mereka tempati. Di militer, sekian orang telah menyandang bintang, menjadi petinggi yang ikut menentukan ke arah mana negeri ini melangkah.
Satu hal yang belum mereka lakukan setelah 25 tahun itu hanyalah berkumpul dengan serius—mereka sering berkumpul untuk hal-hal yang mungkin tak seserius saat muda. Berkumpul untuk bertanya ulang kepada hati mereka masing-masing saat bertatap mata satu dengan lainnya, untuk membaca kembali apa yang telah mereka tulis di masa muda, tentang impian akan negeri ideal yang mereka harap dan telah dipahat sejarah dalam “Membangun Kemandirian Indonesia”.
Namun, barangkali mereka memang telah letih. Perjuangan, bahkan untuk hal-hal ideal yang dulu membanggakan, telah berada jauh di belakang. Tertinggal oleh kesadaran untuk senantiasa lentur penuh pragmatis. Warna abu-abu di pelipis, dan rambut yang kian menipis, menjadi penanda bahwa para pemuda itu kini kian menua. Dan menjadi ‘tua’, bukankah juga sebuah keharusan untuk bertindak ‘bijaksana’?
Tak ada, dan memang untuk apa lagi ada darah yang menggelegak galak? Jangan-jangan, itu justru itu akan membuat darah tinggi kumat. Mungkin kini para pemuda itu sadar akan pemeo lama yang sayup-sayup pernah mereka dengar atau baca dari “Catatan Seorang Demonstran”-nya Soe Hok Gie, bahwa ”after thirty there is no revolutionary’.
Jadi, wajar bila mereka bahkan tak bergerak manakala cita-cita yang mereka pancangkan kuat-kuat itu sebenarnya nyaris tak beranjak. Realitas, kecuali yang menyapa di keseharian mereka, tak bergerak dari kejumudan yang dulu mereka lihat.
Kemandirian yang sejak seperempat abad lalu diidam-idamkan, hingga kini pun masih saja hanya bayang-bayang di alam impian. Sementara korupsi yang mereka benci, kini masih tegak berdiri kalau pun tidak lebih mengerikan lagi. Barangkali, beberapa di antara para pemuda itu justru kini hanya diam termangu, menjadi alien dalam lingkaran budaya korupsi, di kanan-di kiri. Posisi yang setidaknya masih punya ruang untuk disyukuri.
Impor yang tetap lestari
Lihat saja di realitas. Kemandirian dalam sisi yang paling dasar, yakni pangan, tetap saja sekadar jadi cita-cita, bahkan nyaris utopia karena tak pernah serius diperjuangkan. Guru Besar Fakultas Pertanian IPB University, Prof Dwi Andreas Santosa, mengatakan Indonesia yang luas ini tak pernah bisa lepas dari ketergantungan akan impor pangan. Ia mencontohkan kenaikan impor pangan secara signifikan dari 22 juta ton pada 2014 menjadi 28 juta ton pada 2018.
Memang, dalam catatan peringkat ketahanan pangan, Indonesia mengalami kenaikan, dari sebelumnya di posisi 75 pada 2015 menjadi posisi 62 pada 2019 lalu. Tetapi menurutnya ketahanan pangan Indonesia itu buruk, karena didapat dengan mengandalkan impor. Ia bahkan menilai bahwa ketahanan pangan yang kita miliki tak lebih dari ketahanan pangan yang semu.
Sebagai gambaran, mengacu data The Economist Intelligence Unit Desember 2019, ketahanan pangan Singapura tercatat sebesar 87,4 poin. Sementara, Malaysia mencapai 73,8 poin, Thailand 65,1 poin, Vietnam 64,6 poin, dan Indonesia 62,6 poin. Indeks ketahanan pangan global atau Global Food Security Index (GFSI) Indonesia itu tercatat sebesar 46,7 pada 2015. Level GFSI Indonesia kemudian meningkat menjadi 50,6 pada 2016, dan 51,3 pada 2017. Lalu meningkat menjadi 54,8 pada 2018, dan 62,6 pada 2019.
Bila dielaborasi lebih detil, berdasarkan data BPS kita masih mengimpor bahan pangan utama yang menjadi pangan pokok kebanyakan warga negara kita: beras. Data Badan Pusat Statistik (BPS), tahun 2014, impor beras tembus 844 ribu ton. Setahun setelah pemerintahan berjalan, impor beras naik tipis 861 ribu ton. Kemudian, pemerintah kembali mengimpor beras sebanyak 1,28 juta ton pada 2016, dan sempat turun menjadi hanya 305 ribu ton pada 2017. Pada 2018 impor beras kembali meroket hampir mencapai tujuh kali lipat tahun sebelumnya, menjadi 2,25 juta ton.
Pada tahun 2018 itulah terjadi sengkarut di antara para pembantu presiden sendiri tentang impor beras ini. Saat itu Kementerian Pertanian kukuh untuk tidak mengimpor beras, sementara Kementerian Perdagangan yang dipimpin Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita menilai perlu tambahan impor beras guna menstabilkan harga. Kisruh itu sempat pula menyeret Direktur Utama Perum Bulog saat itu, Budi Waseso alias Buwas. Buwas yang baru menjabat sebagai dirut Perum Bulog pada April 2018, berkeras bahwa gudang Perum Bulog sudah dipenuhi cadangan beras yang mencapai 2,4 juta ton. Jumlah tersebut belum termasuk beras impor yang masuk pada Oktober 2018 sebesar 400 ribu ton, sehingga total stok beras di gudang Bulog menjadi 2,8 juta ton. Urusan itu baru selesai manakala Wapres Jusuf Kalla saat itu turun tangan.
Bagi kalangan awam, luas tanah Indonesia yang bisa dikonversi menjadi sawah, ditambah besarnya proporsi warga negara yang bermata pencarian sebagai petani, sebenarnya membuat kekurangan beras hingga harus selalu mengimpor itu menjadi hal yang ganjil dan mengundang pertanyaan. Pasalnya, wilayah daratan Indonesia termasuk salah satu yang tergolong paling luas di dunia.
Data ‘Sumber Belajar Kementerian Pendidikan Kemdikbud’ menyebutkan luas daratan Indonesia itu sebesar 1.919.440 km². Sementara berdasarkan data yang dimiliki Direktorat Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Dukcapil) per 30 Juni 2020, jumlah total penduduk Indonesia mencapai 268.583.016 jiwa. Dari jumlah tersebut data Badan Pusat Statistik (BPS) menyatakan bahwa pertanian merupakan sektor lapangan pekerjaan yang masih mendominasi, dengan proporsi penduduk sebesar 27,33 persen, dibandingkan sektor perdagangan (18,81 persen) dan industri pengolahan (14,96 persen). Data Kementerian Pertanian menyebutkan setidaknya ada 33,4 juta petani di Indonesia.
Mungkin karena potensi yang kita miliki besar, sehingga secara rasional seharusnya tak terlalu sukar untuk mencukupi kebutuhan beras dengan upaya kita sendiri, Presiden Jokowi pernah mengatakan bahwa Indonesia bakal mencapai swasembada pangan dalam tiga tahun sejak periode pertama pemerintahan dirinya. Hal tersebut disampaikan Jokowi pada Desember 2014, hanya dua bulan setelah menjabat sebagai presiden.
“Sudah hitung-hitungan, tiga tahun nggak swasembada, saya ganti menterinya. Yang dari fakultas pertanian bisa antre. Tapi saya yakin bisa. Hitung-hitungannya ada. Jelas sekali. Konsentrasi 11 provinsi, rampung. Sudah ada perhitungannya,”kata Jokowi saat itu, optimistis.
Sayang, enam tahun berselang, belum juga kemandirian yang ditunggu-tunggu itu menunjukkan tanda-tanda bakal muncul. Yang terjadi justru fenomena yang bertolak belakang dengan harapan. Tak hanya impor beras yang sebagaimana data di atas terus melonjak, bahan pangan lain pun ikut-ikutan melompat-lompat.
Misalnya untuk daging. Angka impor daging kita pada 2015 tercatat 0,26 milliar dolar AS. Setahun kemudian angkanya sudah lebih dari dua kali lipat di angka 0,58 milliar dolar AS, dan melonjak menjadi 0,59 milliar dolar AS di tahun selanjutnya. Di 2018 angka itu sudah mencapai 0,72 milliar dolar AS, dan di 2019 angkanya sudah mencapai 0,85 milliar dolar AS.
Artinya, selama empat tahun saja sudah ada peningkatan hampir empat kali lipat dari nilai impor semula. Negara-negara penyuplai utama daging ke Indonesia adalah Australia, India, Amerika Serikat, Selandia Baru dan Brasil.
Meski negara kita sejatinya adalah negara maritim, dan kebanggaan sebagai penerus nenek moyang seorang pelaut terus digaungkan, Indonesia adalah negara importir hasil-hasil laut. Untuk bisa makan hasil laut, apa yang diproduksi Indonesia belum lagi mampu mencukupi kebutuhan yang ada, meski memiliki lautan seluas 6,32 juta km2—alias lebih dari tiga kali lipat luas daratan. Agar bisa menutupi kebutuhan produk ikan, udang dan moluska, Indonesia masih mengimpor produk tersebut.
Ambil angka impor tahun 2015 yang nilainya mencapai 0,19 milliar dolar, yang pada 2016 lagsung menjadi 0,23 milliar dolar AS. Setahun kemudian jumlah itu menjadi 0,28 milliar dolar AS (2017), lalu di 2018 nilainya sudah mencapai 0,29 milliar dolar AS. Angka tahun lalu untuk impor produk hasil laut tercatat 0,3 milliar dolar AS. Pemasok utama kita untuk hasil laut dan turunannya adalah Cina, Norwegia, Kanada, Amerika Serikat dan Seychelles. Seiring maraknya pencurian ikan di perairan Indonesia oleh para nelayan illegal Cina, sangat boleh jadi negara kita membeli hasil laut kita sendiri yang dicuri kapal-kapal negara lain yang memiliki teknologi penangkapan ikan lebih canggih.
Meski negara agraris ini kaya dengan aneka rupa buah-buahan, untuk pangan jenis ini pun kita masih mengimpor. Angka transaksi impor buah-buahan itu dipastikan selalu menanjak dari tahun ke tahun.
Di tahun 2015, misalnya, angkanya transaksinya masih 0,66 milliar dolar AS. Angka itu menanjak setahun kemudian ke angka 0,85 milliar dolar AS, dab naik lagi di tahun 2017 menjadi 1,19 milliar dolar AS. Pada 2018 angkanya menjadi 1,31 milliar dolar AS, dan tahun 2019 lalu angka itu semakin tinggi pada angka 1,49 milliar dolar AS. Negara luar yang mendapatkan banyak devisa Indonesia sehubungan dengan pasokan buah-buahan mereka adalah Cina, Thailand, Australia, Amerika Serikat dan Pakistan.
Terlalu panjang untuk ditulis detil. Namun yang jelas, ketergantungan impor pangan kita telah mengkhawatirkan. Ketergantungan kepada impor kedelai dan daging sapi pada 2019 lalu meningkat masing-masing menjadi 88,1 persen dan 34,7 persen, sementara 60 persen gula kita adalah impor.
Menurut Prof Dwi Andreas Santoso, guru besar IPB University, pada tahun 1990-an sebenarnya Indonesia sudah mencapai swasembada bawang putih dan kedelai. Namun tahun 2000-an pemerintah membuka keran impor untuk keduanya. Akibatnya, saat ini sekitar 90 persen kebutuhan bawang putih dipenuhi dari luar, tepatnya Cina. Sementara sekitar 80-90 persen kebutuhan kedelai Indonesia juga dipenuhi dari impor karena waktu itu importir Indonesia mendapat banyak fasilitas dari Amerika Serikat.
“Konsep itu sudah mematikan petani bawang putih dan memusnahkan petani kedelai,”ujar Dwi dalam sebuah wawancara dengan situs berita Tirto.com. Dwi mengingatkan, ketergantungan pada produk pangan luar negeri akan membuat Indonesia rentan terhadap gejolak harga komoditas pangan dunia.
Bukan hanya itu. Ada catatan yang menarik. Merujuk data tahun 2018, angka konsumsi gandum untuk pangan sudah mencapai 8,5 juta ton atau sekitar 30 kilogram per kapita per tahun. Sedangkan konsumsi beras, menurut kajian BPS, hanya sebesar 27 Kg per kapita per tahun. Artinya, konsumsi gandum kita saat ini sudah di atas beras, padahal 100 persen gandum yang dimakan orang Indonesia itu sepenuhnya diimpor.
Ada pertanyaan, apakah negara kita memang tidak bisa menanam gandum? Bisa, ternyata. Beberapa petani di Lereng Gunung Bromo, Pasuruan, Jawa Timur, telah berhasil membudidayakan gandum sejak 2007. Sayangnya, keberhasilan mereka sampai hari ini tak didukung pemerintah. Mungkin, pilihan untuk membantu petani dan menegakkan kemandirian negeri pada saatnya, tidak menghasilkan komisi sama sekali.
Bercerita tentang impor memang seringkali membuat hati kita trenyuh dan was-was. Bagaimana tidak, bila ternyata fakta kemudian menonjok kita: bahwa negeri dengan lautan luas di sekelilingnya ini, ternyata masih saja harus mengimpor garam! Badan Pusat Statistik mencatat salah satu impor bahan pangan terbesar periode Januari-November 2018 , selain biji gandum dan meslin yang mencapai 9,2 juta ton, gula yang mencapai 4,6 juta ton, juga garam yang mencapai 2,5 juta ton!
Jerat kleptokrasi
Pada awal 2019, Transparency International merilis Indeks Persepsi Korupsi (IPK) negara-negara di dunia, yang sepanjang 2018 itu Indonesia menduduki peringkat ke-89 dengan skor 38. Meskipun ada peningkatan satu angka dari tahun 2017 dengan skor 37, dengan fakta perolehan angka penilaian itu membuat kita tak bisa menafikan bahwa masyarakat dunia memandang Indonesia sebagai negara yang terbelit kleptokrasi.
Apa itu kleptokrasi? Secara leksikal kleptokrasi bisa diartikan sebagai negara yang diperintah oleh para pencuri. Sederhananya, kleptokrasi adalah pemerintahan para maling. Penguasa memakai uang rakyat untuk memperkaya diri sendiri dengan korupsi. Praktik korupsi dilakukan dengan menyelewengkan kewenangan untuk memengaruhi kebijakan. Kleptokrasi akan membuat pemerintahan rusak, yang jika dibiarkan akan membuat negara itu mengarah menjadi negara gagal.
Terlalu sukar untuk menampik kecenderungan kondisi Indonesia berada dalam cekikan kleptokrasi. Angka yang diberikan Transparency International pada 2019 itu, yakni 38 dari skala 100, menegaskan bahwa Indonesia masih terjebak dalam pusaran kleptokrasi yang parah. Manakala negara yang demokratis seyogianya bisa mencapai skor Indeks Persepsi Korupsi (IPK) mendekati skor 100, Indonesia justru terjebak dalam kubangan kleptokrasi dengan IPK berskor 38, alias di bawah.
Skor itu membuat posisi Indonesia di lingkungan Asia Pasifik pun tergolong buruk dengan menempati urutan ke-14. ‘Wajar’—meski kata ini sesungguhnya semacam apologia yang ganjil—bila hanya kalah dengan negara tetangga sejenis Singapura yang berada di peringkat ke-1 dengan skor 85, atau Australia peringkat ke-2 dengan skor 77. Namun bila dibandingkan negara serumpun seperti Brunei Darussalam yang berada di peringkat ke-6 dengan skor 63, Malaysia yang ada di peringkat ke-9 dengan skor 47, atau tragisnya dengan Vanuatu yang menduduki peringkat ke-10 dengan skor 46, Kepulauan Solomon di peringkat 11 dengan skor 44, jelas kita harus berkali-kali mawas diri. Apalagi ternyata negara Komunis yang menerapkan etatisme dan kurang mempertimbangkan sisi-sisi demokratis seperti Cina pun berada di peringkat ke-13 dengan skor 39, atau sedikit terhormat dibanding kita. Lihat, betapa dekatnya kita dengan Cina dari sisi ini.
Bukti lain dari jerat kleptokrasi itu, begitu Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Kejaksaan Agung memberantasnya, di Indonesia segera ada 10 menteri dan 20 gubernur masuk penjara. Banyaknya pejabat negara teringkus KPK itu merupakan indikasi kuat negara berada dalam cengkeraman kleptokrasi.
Kesan itu kian dikuatkan fakta, manakala berdasarkan data KPK selama 2004-2018, profesi mereka yang kena perkara KPK itu berturut-turut adalah profesi anggota DPR dan DPRD (247 orang), swasta (238 orang), eselon I/II/III (199 orang), lain-lain (109 orang), wali kota/ bupati dan wakil wali kota/bupati 101 orang), hakim (22 orang), gubernur (20 orang), pengacara (11 orang), komisioner (7 orang), jaksa (7 orang), pejabat korporasi (5 orang), duta besar (4 orang), dan polisi (2 orang). Secara total, hingga 2018 saja telah terjaring sebanyak 998 orang penggangsir uang rakyat, pengkhianat umat, pencoleng berdasi, dan silakan cari aneka sebutan lain yang rendah, sehina ketidakpedulian mereka dengan amanah yang sudah dipercayakan rakyat.
Gambaran di atas baru data yang terungkap dari KPK, belum lagi data yang terungkap dari kepolisian dan kejaksaan yang tentu lebih banyak lagi.
Mungkin saja akan ada pertanyaan, apa hubungan kleptokrasi dengan kemandirian negara? Tentu saja sangat erat, bahkan kaitannya merupakan hubungan sebab-akibat alias kausalitas. Ia berhubungan dengan banyak pertanyaan, antara lain, mengapa (pejabat) pemerintah memilih mengimpor pangan daripada bersungguh-sungguh berupaya menguatkan basis pertanian rakyat agar pada saatnya negeri bisa tercukupi produksi sendiri? Mengapa kita memilih membeli peralatan persenjataan (Alutsista) dari sebuah negara yang dikenal sebagai produsen barang berkualitas buruk, dibanding membeli peralatan perang ke negara lain dengan kualitas produk yang lebih bagus pada harga yang perbedaannya tidak signifikan, atau kadang relaif sama, bahkan boleh jadi lebih murah?
Kleptokrasi, yang turunannnya adalah para birokrat berjiwa ‘tukang catut’ dalam istilah Mochtar Lubis, yang membuat pilihan kita adalah mengimpor, menghidupi para petani di negara-negara lain, dibanding bertahan mengonsumsi produk dalam negeri, yang artinya memberi makan petani lokal dan sanak keluarganya, menguatkan ketahanan pangan negeri sendiri sembari menghemat devisa untuk hal-hal lain yang lebih berguna.
Birokrat di negeri-negeri kleptokrasi tak akan pernah punya waktu dan rasa haru untuk mempertimbangkan apakah harus mengedepankan kepentingan negara atau dengan segera mengambil komisi dari permainan impor tersebut. Yang lebih parah, birokrat negeri-negeri kleptokrasi bahkan tak akan berpikir tentang kewajiban berat anak-cucu mereka yang harus membayar utang-utang luar negeri berkatagori—boleh jadi, ‘utang najis’ (odious debt) yang terus mereka bikin, yang penting-–sekali lagi, ada komisi yang membuat pundi-pundi simpanan mereka padat berisi.
Tidak tepat waktunya kita membahas akar persoalan buruknya mental para birokrat kita ini, meski dengan gampang misalnya kita dapat merujuk, antara lain, pada apa yang dikatakan Donald K Emerson, bahwa sejak awal sejarahnya, birokrasi Indonesia memang berbeda dengan sejarah tumbuhnya birokrasi Eropa. Birokrasi Indonesia tumbuh dengan semangat pengabdian pada aristokrat di satu sisi, serta kebiasaan menindas wong cilik di sisi lain. Yang lebih perlu tentu saja adalah komitmen untuk memberantas sifat-sifat pengambil rente, jiwa tukang catut dan hal-hal koruptif lainnya dari mental birokrasi kita.
Arah yang tampaknya salah
Tentu saja sejarah akan mempertanyakan pemerintah bila tak melakukan apa pun untuk mencoba mencari solusi guna menyelesaikan semua persoalan ini. Namun dua program strategis yang digadang-gadang pemerintah untuk menyelesaikan persoalan import dan mengembangkan perekonomian nasional ini, tampaknya salah arah.
Kita tahu, untuk mencoba meredam angka-angka impor pangan, pemerintah berusaha membangun lumbung pangan terintegrasi atau food estate. Selain yang direncanakan di Papua, program ini juga memanfaatkan lahan seluas 164,6 ribu hektare di Kalimantan Tengah untuk intensifikasi dan ekstensifikasi. Hanya saja, pembuatan food estate ini malah memunculkan masalah. Tak hanya kemudian kita baca di berbagai berita tentang ganti rugi tanah adat di Papua yang tak kepalang kecilnya, atau perusakan dan pembakaran hutan Papua seluas kota Seoul secara semena-mena, tapi persoalan siapa yang menjadi motor penggerak food estate pun tampaknya melenceng dari tujuan semula.
Program food estate yang mulai berjalan di Papua, misalnya, justru menempatkan korporasi besar sebagai motor. Food estate yang bagi pemerintah akan jadi jawaban atas maraknta impor dan ancaman krisis pangan itu justru diserahkan pengelolaannya kepada industri.
Padahal berbagai penelitian sudah menunjukkan, produksi dari pertanian skala kecil padat tenaga kerja jauh lebih tinggi daripada produksi unit pertanian yang didukung teknologi tinggi. Dengan demikian menjawab masalah krisis pangan dengan mendorong para petani meningkatkan produksi, jauh lebih meguntungkan dibanding mengundang korporasi pangan.
Sayang, padahal program food estate itu pun bisa sekaligus menjadi momen untuk menguatkan masyarakat dalam bingkai kemajuan koperasi. Karena bagaimana pun, bila yang menjadi ‘panglima’ adalah kepedulian kepada negeri, proyek lumbung pangan ini justru bisa digunakan untuk mendorong menguatnya peran koperasi—yang anggotanya para warga dan petani—bukan korporasi.
Inilah yang pada Hari Tani tahun 2020 ini memunculkan kritik dari kalangan petani, bahwa “Hari Petani 2020 ini situasinya makin tidak baik untuk petani. Ada orientasi membangun pertanian tanpa petani. Jadi pangan dan produk pertanian hendak diserahkan ke korporasi pangan,” kata banyak kalangan.
Padahal, menurut Ben White dari International Institute of Social Studies, Den Haag, Indonesia tak perlu pertanian pangan monokultur skala luas. Sepengalamannya, pertanian yang efektif-efisien adalah memaksimalkan hasil produksi per hektare dengan meminimalkan input modal. Selain itu, sistem pangan dari usaha tani skala kecil dia nilai lebih unggul secara ekonomi, sosial dan ekologi. Pertanian skala besar dan monokultur dinilai tidak bervisi berkelanjutan.
Yang kedua, semua upaya menguatkan ketahanan pangan dan membatasi impor itu akan sia-sia manakala pemerintah menerapkan Omnibus Law yang kini telah menjadi undang-undang. Pasalnya, kita tahu karena persoalan ini telah diangkat banyak pihak dan hampir semua media independen, UU Omnibus Law Cipta Kerja yang disahkan DPR 5 Oktober lalu, sangat berpotensi membawa Indonesia terjebak dalam kebiasaan impor produk pertanian.
Hal itu tampak jelas dalam revisi UU 19/2013 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani (Perlintan). UU Cipta Kerja menghapus frasa pasal 30 ayat (1) yang berbunyi: “setiap orang dilarang mengimpor komoditas pertanian pada saat ketersediaan komoditas pertanian dalam negeri sudah mencukupi kebutuhan konsumsi dan/atau cadangan pangan pemerintah.” Dalam UU Cipta Kerja versi 812 halaman, pasal 30 ayat (1) diubah menjadi: “Kecukupan kebutuhan konsumsi dan/atau cadangan pangan pemerintah berasal dari produksi dalam negeri dan impor dengan tetap melindungi kepentingan petani.”
Frasa “mengutamakan produksi pertanian dalam negeri untuk memenuhi kebutuhan pangan nasional” dalam pasal 15 juga ikut dihapus. Sanksi bagi orang yang mengimpor saat kebutuhan dalam negeri tercukupi dalam pasal 101 juga ditiadakan. UU Cipta Kerja juga melonggarkan impor produk hortikultura dalam revisi UU 13/2010. Beleid itu menghapus ketentuan “ketersediaan produk hortikultura dalam negeri dan penetapan sasaran produksi dan konsumsi” dalam pasal 88, sebagai aspek yang wajib dipertimbangkan dalam impor produk hortikultura.
Bila kemudian, karena saya telah mengangkat berbagai persoalan yang sudah sering diangkat-angkat ke permukaan itu, maka saya otomatis bertanggung jawab untuk mencarikan solusinya, saya tampaknya akan mengajak kita semua untuk mengambil jalan langit. Jalan relijius dengan meminta dalam doa, agar langitlah yang mencarikan solusi ampuhnya.
Tak sepenuhnya relevan, namun ibarat syair lagu dangdut,” Kau yang mulai, Kau yang mengakhiri.” Biarlah Tuhan Maha Pencipta yang telah menciptakan manusia–termasuk yang memilih menjadi true believer kleptokrasi—pula yang menghapus segala persoalan yang ada, yang tumbuh dan yang kini tak lagi tahu harus kita potong di bagian mana itu. Sebagian kita bahkan sudah tak lagi mengenali mana bagian akar, batang, dahan dan ranting dari persoalan yang ada.
Mungkin, dalam doa itu kita berharap Tuhan berkenan menyucikan kembali Bumi dari kita para pengkhianat amanah sebagai khalifah atau wakil-Nya di Bumi, dengan menurunkan banjir besar ala banjir Nabi Nuh. Setelah itu, tak perlu lagi kita mengkampanyekan “Potong Satu Generasi!” yang pernah menjadi trend di awal-awal millennium ini. Kampanye yang kalau kita ingatkan kepada sebagian para pemimpinnya, mungkin segera membuat mereka malu. Betapa tidak, karena jalan hidup setiap kita, pada dasarnya adalah cermin tempat kita berkaca. Termasuk berkaca seberapa konsisten kita memegang amanah dan kebenaran. [ ]
Tulisan ini juga dimuat dalam “Kasyaf”—Jurnal Popular Pemikiran Ekonomi Islam, Pusat Studi Ekonomi dan Bisnis Islam, Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Padjadjaran, volume 3 tahun 2020