
Setelah dua tahun terjebak dalam perang dan pengungsian, ribuan warga Palestina berjalan kaki menembus puing untuk kembali ke utara Gaza — tanah yang dulu mereka sebut rumah. Di balik kehancuran, mereka memeluk satu keyakinan: Gaza tetap milik mereka, meski hampir tak ada yang tersisa untuk dipertahankan.
JERNIH – Puluhan ribu warga Palestina kembali ke utara Jalur Gaza pada hari Jumat (10/10), menapaki jalanan penuh reruntuhan dengan harapan baru setelah gencatan senjata yang diusulkan Amerika Serikat mulai berlaku. Kesepakatan ini membuka peluang untuk mengakhiri perang panjang antara Israel dan Hamas, sekaligus menandai babak baru dalam sejarah kelam Gaza yang telah dua tahun didera kehancuran. Dalam beberapa hari ke depan, seluruh sandera yang tersisa dijadwalkan akan dibebaskan — sebuah langkah yang diharapkan menjadi awal dari proses rekonsiliasi dan pemulihan.
Namun, di balik kabar gembira ini, masih tersisa banyak pertanyaan besar: siapa yang akan memerintah Gaza ketika pasukan Israel perlahan mundur? Akankah Israel kembali mengkhianati genjatan senjata seperti yang sudah sering terjadi?

Gencatan senjata ini menandai tonggak penting dalam upaya mengakhiri konflik yang bermula pada Oktober 2023, ketika militan Hamas menyerbu Israel dan menewaskan sekitar 1.200 orang. Serangan ini adalah respons terhadap agresi Israel yang berkelanjutan terhadap rakyat Palestina, terutama di Masjid Al-Aqsa, Tepi Barat, dan Jalur Gaza.
Israel membalas dengan lebih membabibuta. Tidak hanya menyasar Hamas, namun juga penduduk sipil. Hingga menewaskan lebih dari 67.000 warga Palestina dan melukai hampir 170.000 lainnya. Sekitar 90 persen penduduk Gaza terpaksa mengungsi, banyak di antaranya berkali-kali, hanya untuk menemukan rumah mereka telah lenyap menjadi abu dan puing.
Serangan Israel rupanya tidak berhenti dan terus melakukan aksi yang kemudian dunia menyebutnya sebagai genosida.
Dimulainya Gencatan Senjata dan Harapan Baru
Militer Israel mengonfirmasi bahwa gencatan senjata mulai berlaku pada Jumat pagi. Sebanyak 48 sandera terakhir — sekitar 20 di antaranya diyakini masih hidup — dijadwalkan akan dibebaskan pada Senin mendatang.
Sementara itu, Israel mengizinkan Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk mulai mengirimkan bantuan kemanusiaan dalam skala besar mulai Minggu. Bantuan ini diharapkan dapat meredakan krisis kelaparan yang parah akibat blokade dan pembatasan selama perang.

Sebanyak 170.000 metrik ton bantuan telah disiapkan di negara-negara tetangga seperti Yordania dan Mesir, menunggu izin akhir untuk disalurkan. PBB melaporkan bahwa dalam beberapa bulan terakhir, mereka hanya mampu menyalurkan sekitar 20 persen dari bantuan yang dibutuhkan.
Juru bicara PBB, Stephane Dujarric, menyatakan bahwa bahan bakar dan pasokan medis mulai mengalir melalui perbatasan Kerem Shalom. Namun, PBB terus mendesak Israel agar membuka lebih banyak jalur masuk dan menjamin keselamatan pekerja bantuan serta warga sipil yang kembali ke wilayah-wilayah yang sebelumnya menjadi medan perang.
Kembalinya Warga dan Luka yang Tersisa
Sepanjang jalur pesisir Gaza bagian tengah, ribuan warga berjalan kaki menuju utara, mencoba menemukan kembali tempat yang pernah mereka sebut rumah. Adegan ini mengingatkan pada momen emosional gencatan senjata sebelumnya pada Januari. Namun kali ini, kehancuran yang mereka saksikan jauh lebih parah. Gedung-gedung tinggi rata dengan tanah, rumah-rumah diledakkan, dan reruntuhan menutupi hampir setiap sudut kota.
Untuk pertama kalinya adzan berkumandang di Gaza di tahun 2025. Takbir juga terus menggema. Rakyat Gaza kembali ke tanah tumpah darahnya.
“Tidak banyak kegembiraan, tetapi gencatan senjata sedikit meringankan rasa sakit,” kata Jamal Mesbah, seorang pengungsi yang berencana kembali ke utara.

Di Khan Younis, di Gaza bagian selatan, ratusan warga menemukan hanya puing dan sisa-sisa benda yang tak lagi berarti. “Tidak ada yang tersisa. Hanya beberapa pakaian dan potongan kayu,” ujar Fatma Radwan dengan nada pasrah.
Kehancuran fisik hanyalah satu sisi dari luka Gaza. Di sisi lain, trauma dan kehilangan membekas dalam-dalam pada setiap keluarga. Hani Omran, yang juga kembali ke Khan Younis, menggambarkan pemandangan di sekitarnya dengan getir: “Kami tiba di tempat yang tak teridentifikasi. Kehancuran ada di mana-mana.”
Warga saling bergotong-royong. Ada yang membagi-bagikan uang, yang mungkin sisa-sisa terakhir. Tua-muda, pria dan perempuan, anak-anak pun kakek-nenek berjalan kaki seolah menampilkan kerinduan pada kampung halaman. Tempat nenek moyang mereka dulu pernah hidup makmur.
Bagi banyak warga Gaza, gencatan senjata ini membawa secercah harapan — meski tipis — setelah dua tahun hidup dalam ketakutan dan penderitaan. Mereka mendambakan akhir dari perang, namun juga sadar bahwa perdamaian sejati masih jauh dari genggaman. Di antara reruntuhan dan debu, mereka kembali menata hidup, dengan keyakinan bahwa bahkan dari puing-puing kehancuran, harapan masih bisa tumbuh.
Di tengah genjatan senjata, masih ada pekerjaan rumah yang merupakan resolusi sidang PBB tempo hari. Juga dukungan warga dunia yang mengalir deras dengan satu harapan; free Palestine. (*)
BACA JUGA: Israel Mulai Mundur dari Gaza Berdasarkan Kesepakatan dengan Hamas