Orang yang sadar dirinya, akan memahami Tuhannya. Orang yang memahami Tuhannya akan merefleksikan kerendahhatian dalam ketakterhinggaan kasih-Nya; semakin besar bukan menjadi kian bahaya bagi yang lain, malahan memberikan ruang hidup bagi keragaman yang lain. Seperti keluasan langit yang mampu memberi ruang bagi matahari, bulan, bintang, dan semua yang terkait dengannya. Seperti ketinggian gunung yang bisa memberi ruang tumbuh bagi aneka pepohonan.
Oleh : Yudi Latif
JERNIH– Mawas diri merupakan kewajiban pertama seorang pemimpin. Sayyidina Ali berpesan pada Malik al-Asytar, walinya di Mesir,”Barangsiapa diangkat atau mengangkat dirinya sebagai pemimpin, hendaklah ia mulai mengajari dirinya sebelum mengajari orang lain. Dan hendaknya ia mendidik dirinya dengan cara memperbaiki tingkah lakunya, sebelum mendidik orang lain dengan ucapan lidahnya. Orang yang menjadi pendidik dirinya lebih patut dihormati daripada yang mengajari orang lain.”
Stelah pemimpin bermawas diri, bolehlah ia kembangkan harmoni keluar dengan menjalin keseimbangan hak dan kewajiban dalam relasi sosial, yang disebut Raja Yao sebagai ”Jalan Tengah Sempurna”; meliputi hubungan dua arah dalam lima pasang: ayah-anak, suami-isteri, pemimpin-rakyat, tua-muda dan saling percaya antarkawan.
Orang yang sadar dirinya, akan memahami Tuhannya. Orang yang memahami Tuhannya akan merefleksikan kerendahhatian dalam ketakterhinggaan kasih-Nya; semakin besar bukan menjadi kian bahaya bagi yang lain, malahan memberikan ruang hidup bagi keragaman yang lain. Seperti keluasan langit yang mampu memberi ruang bagi matahari, bulan, bintang, dan semua yang terkait dengannya. Seperti ketinggian gunung yang bisa memberi ruang tumbuh bagi aneka pepohonan.
Orang yang memahami Tuhannya juga akan menyadari keterbatasan dirinya. Adapun orang yang memahami keterbatasannya akan giat belajar dan menghargai kehadiran orang lain dalam rangka menggosok baru permata dirinya. Bahwa manusia senantiasa dalam proses menjadi dengan memandang setiap momen sebagai kebaruan yang harus diisi dengan belajar dan bekerja untuk menyempurnakan diri.
Konfusius berkata, tujuan hidup manusia adalah belajar dan terus belajar untuk menjadi “manusia seumur hidup”. Caranya? Jika pisau diasah dengan batu, manusia harus diasah oleh sesama manusia. Berkata pula Imam Syafi’i, ”Berangkatlah, niscaya engkau mendapatkan ganti untuk semua yang engkau tinggalkan.” Diingatkan pula oleh Lao Tzu, “Perjalanan ribuan kilometer dimulai dengan langkah pertama.”
Lewat kearifan Timur, manusia disadarkan bahwa jalan keimanan, jalan kemanusiaan, jalan kepemimpinan, dimulai dari pengenalan dan penempaan diri. Untuk itu, orang harus mampu menembus selubung ego penampakan lahiriyah menuju penemuan substansi di ulu kesadaran terluhur. [ ]