Bila saat ini para kupu-kupu itu kembali datang, mereka sebenarnya lebih aman. Tak banyak generasi saat ini yang makan hewan ‘sebuas’ generasi kami ke atas, dulu. Lihat saja, generasi saat ini bahkan sama sekali bukan generasi kami yang setiap usai subuh saling bergegas datang ke kebun buah orang, mencari-cari dalam gelap siapa tahu ada buah-buahan jatuh dari pohon.
JAKARTA— Anak-anak muda Kecamatan Kadipaten-–bahkan barangkali anak-anak muda di Kabupaten Majalengka– yang lahir setelah 1998 sangat mungkin tak pernah tahu hal ini. Dulu, kota kecamatan mereka setahun dua kali akan beralih rupa begitu indahnya. Warna kuning merata di mana-mana—bukan karena pagar, tembok dan genteng dicat kuning sebagaimana para bupati mencoba menjilat penguasa Golkar di zaman itu. Pepohonan, genteng-genteng atap rumah, bahkan lapangan dan kebun-kebun berwarna kuning merata. Tak berlangsung lama, paling dua-tiga hari.
Penampakan kuning yang mendominasi pemandangan itu tak lain karena hadirnya ratusan ribu, atau bukan mustahil jutaan kupu-kupu kuning. Mereka biasanya datang di saat pancaroba, peralihan musim dari penghujan ke kemarau, atau sebaliknya. Kupu-kupu yang setelah dewasa saya ketahui bernama latin Eurema hecabeatau itu besarnya dengan sayap terkembang tampaknya tak lebih dari lima cm saja.
Yang saya ketahui dari perbincangan dengan banyak orang tua bertahun kemudian, kupu-kupu yang juga menjadi penanda perubahan musim itu selalu melakukan hal yang pasti. Jika kupu-kupu kuning yang datang dengan jumlah besar itu makin bergeser ke arah barat, itu pasti terjadi sebagai pertanda perubahan musim dari kemarau menuju musim penghujan. Sebaliknya, pada saat musim hujan, bila ribuan kupu-kupu kuning itu beterbangan ke arah timur, hal itu menandakan musim hujan akan segera berubah menuju kemarau.
Sebenarnya kedatangan kupu-kupu itu pun tak terlalu mengejutkan warga. Sebab, sebulan dua sebelumnya orang-orang—apalagi yang terbiasa keluar-masuk hutan di sepanjang Sumedang-Majalengka-Kuningan, sudah mulai menemukan ungeuh atau enthung (keduanya dalam Bahasa Indonesia berarti kepompong) bergelantungan di ranting-ranting pohon dan dedaunan. Banyak pula yang jatuh di tumpukan daun-daun tua yang membusuk, tak pernah henti bergerak-gerak. Urang Sunda menyebut kondisi itu ‘terus utek-utekan’.
Saat itulah para penggembala, terutama yang biasa menggembalakan ternak di tepi hutan, akan berpesta. Mereka akan memotong ranting-ranting penuh kepompong itu, mengumpulkannya banyak-banyak untuk diikat dan dibawa ke rumah atau ke pasar. Mereka yang rajin biasanya membawa wadah besar dari rumah, mencabuti kepompong-kepompong itu dari rantingnya dan menaruhnya di wadah sampai menggunung.
Dengan begitu, ketika pulang mereka tak harus membawa sekian banyak ranting daun ‘berbuah’ kepompong lagi. Dibawa ke pasar pun lebih ringkas. Hanya, bawaan di wadah itu akan bikin geli mereka yang tak terbiasa. Sepanjang belum dimasak, kepompong itu tak akan pernah berhenti bergerak, utek-utekan dalam jumlah banyak. Pernah melihat puluhan atau ratusan belatung bergerak-gerak saat mereka menghabisi bangkai? Seperti itu penampakannya.
Ungeuh laku dijual di Kadipaten. Saya sudah lupa berapa harga per liternya, karena ukuran yang digunakan saat itu liter, bukan kilogram. Pembelinya banyak, terutama warga asli Kadipaten dan sekitarnya. Saya pernah memakannya beberapa kali. Yang pertama waktu diajak ngawadang (makan siang) di rumah seorang teman. Enak, gurih dan sedikit berair (juicy). Mungkin seperti kepompong ulat Jati, yang di daerah Wonogiri, Blora dan Gunung Kidul bahkan sekilonya lebih mahal daripada harga sekilo daging sapi.
Selalu saya makan ungeuh saat di rumah orang, karena Ibu tak suka, bahkan kalau pun hanya melihatnya. Dalam hidup, saya hanya pernah melihat sekali-kalinya fenomena ‘piring terbang’. Ah, bukan, bahkan kuali terbang. Ibu yang marah karena tahu kualinya saya pakai menggoreng ‘ungeuh’, melempar kuali itu hingga melayang jauh. Saya menemukan kuali itu di permakaman umum, sekitar 100 meter di belakang rumah. Tak pernah saya bawa pulang karena tahu Ibu sudah ‘say goodbye’ kepadanya. Saya menyembunyikannya, sampai suatu hari datang penjual gulali. Saya tukar kuali itu dengan gulali.
Sepertinya banyak budaya Nusantara menempatkan kupu-kupu kuning ini sebagai hal yang istimewa. Dalam khazanah budaya Bali, misalnya. Di wilayah Karangasem, misalnya, dikenal tari Kupu-kupu Kuning, yang dimainkan 12 orang penari pria yang berpakaian serba kuning emas.
Menurut cerita, tarian itu menceritakan perjalanan penyerbuan para prajurit Karangasem saat menyerang Kerajaan Selaparang di Lombok pada hari ‘Anggara Umanis Perangbakat Saka 1614’. Konon, saat penyerangan dengan menggunakan empat kapal layar dipimpin I Gusti Anglurah Ketut Karangasem itu, di tengah laut Selat Lombok muncul ribuan kupu-kupu kuning, terbang di angkasa menyeberangi lautan, seolah menjadi penunjuk arah di tengah ganasnya gelombang. Orang-orang Karangasem percaya, kupu-kupu kuning itu jelmaan daun-daun kayu kepel yang berada di Pura Bukit Karangasem.
Setelah berangkat kuliah ke Bandung, tak pernah lagi saya melihat ribuan kupu-kupu kuning itu menghias kota saya. Di beberapa musim pancaroba saya sempat pulang, karena jarak tempuh bersepeda motor Bandung-Kadipaten tak lebih dari dua-tiga jam. Tapi tak pernah lagi kebetulan menemukan, baik fenomena kedatangan kupu-kupu kuning maupun ungeuh di pasar. Orang tua dan kerabat pun tak bisa memberikan penjelasan. Soalnya, meski mengalami berbagai pencurian dan diganggu para peladang, hutan-hutan yang ada tak pernah sampai gundul. Hutan-hutan sepanjang Sumedang-Majalengka-Kuningan adalah hutan yang dijaga ketat para Jagawana, meski bukan berarti aman dari penebangan dan penjualan kayu liar.
Bila saat ini para kupu-kupu itu kembali datang, mereka sebenarnya lebih aman. Tak banyak generasi saat ini yang makan hewan ‘sebuas’ generasi kami ke atas, dulu. Lihat saja, generasi saat ini bahkan sama sekali bukan generasi kami yang setiap usai subuh saling bergegas datang ke kebun buah orang, mencari-cari dalam gelap siapa tahu ada buah-buahan jatuh dari pohon. Generasi saat ini tampaknya agak kurang akrab dengan buah.
Pada 2012 lalu saya sempat menemukan sebuah kicauan di Twitter. Kicauan yang membangkitkan harapan bahwa para kupu-kupu itu hanya berpindah, tak lantas punah sebagaimana saya kuatirkan selama ini.
Kicauan Arvin Zeinullah pada akun @arvinzen itu mencuit,”Musim migrasi kupu-kupu kuning menyeberang jalan tol Cipularang masih berlanjut. What a wonderful world.”
Namun setelah itu tak ada lagi apa pun. Entah tulisan atau cuitan, atau pun yang menegaskan generasi baru kupu-kupu kuning itu masih ada. Yang menjelaskan bahwa mereka masih punya penyintas. Generasi muda Kadipaten telah kehilangan fenomena itu. [ dsy ]