
Dalam teori gerakan sosial klasik ala Charles Tilly, mobilisasi massa selalu membutuhkan tiga unsur: grievance (keluhan), organization (organisasi), dan political opportunity (celah politik). Namun, tanpa kedewasaan politik, gerakan mudah berubah dari perjuangan substantif menjadi alat negosiasi kekuasaan. Masalahnya, sebagian gerakan pengemudi kini mulai kehilangan otonomi. Alih-alih memperjuangkan perbaikan tarif, jam kerja, atau perlindungan sosial, mereka justru larut dalam narasi ideologis—siapa kawan, siapa lawan; siapa pro pemerintah, siapa oposan. Di titik ini, isu kesejahteraan berubah menjadi komoditas politik.
Oleh : Aditama Rizki
JERNIH– Di jalan-jalan besar Jakarta, di bawah panas terik dan riuh klakson, ribuan pengemudi ojek online—ojol—bergerak bagai denyut kehidupan kota. Mereka bukan sekadar pengantar makanan atau penjemput pelanggan, melainkan bagian dari arsitektur ekonomi digital baru. Dalam istilah sosiolog Manuel Castells, mereka adalah “the networked proletariat” — kelas pekerja jaringan yang menggantungkan nasibnya pada algoritma.
Namun di balik layar ponsel yang selalu menyala itu, ada paradoks besar: mereka disebut “mitra”, bukan “pekerja”. Padahal, dalam praktiknya, mereka tunduk pada sistem kerja yang sangat mirip hubungan industrial klasik—dengan atasan yang tidak bernama: aplikasi.
Dari Fleksibilitas ke Prekaritas
Data Kementerian Perhubungan tahun 2025 mencatat, jumlah pengemudi ojol telah melampaui 7 juta orang di seluruh Indonesia. Namun, data BPJS Ketenagakerjaan menunjukkan hanya sekitar 2 juta yang menjadi peserta aktif jaminan sosial. Ironisnya, sebagian besar bahkan tidak rutin membayar iuran. Artinya, jutaan lainnya hidup tanpa jaring pengaman sosial—tanpa perlindungan kecelakaan, tanpa tabungan hari tua, tanpa asuransi kesehatan.
Dalam survei IDEAS, sebelum pandemi pendapatan harian mereka mencapai Rp304.688, namun anjlok menjadi Rp100.000 per hari selama pandemi dan baru naik ke kisaran Rp174.000 pada 2023. Survei Balitbang Kemenhub menambahkan: 50,1 persen pengemudi hanya berpenghasilan antara Rp50.000 hingga Rp100.000 per hari, hampir setara dengan ongkos bensin dan biaya perawatan motor. Bagi sebagian besar pengemudi, menjadi ojol bukan jalan menuju kemakmuran, tapi strategi bertahan hidup di tengah krisis urban.
Inilah yang disebut oleh ekonom Prancis, Guy Standing, sebagai the precariat — kelas pekerja tanpa kepastian kerja, tanpa kepastian pendapatan, dan tanpa masa depan yang pasti. Kelas baru yang bekerja keras, namun tidak pernah merasa aman.
Ketika Gerakan Sosial Disusupi Hasrat Politik
Ketika kondisi ekonomi penuh ketidakpastian, ruang untuk manipulasi politik terbuka lebar. Keresahan sosial mudah disulut oleh narasi perjuangan, apalagi bila dibungkus dengan jargon “solidaritas pekerja”.
Belakangan, muncul berbagai kelompok pengemudi yang mengklaim mewakili aspirasi para ojol. Salah satu yang paling aktif, Garda Indonesia, misalnya, beberapa kali mengancam melakukan aksi besar, bahkan rencana unjuk rasa nasional pada 20 Oktober 2025, bertepatan dengan satu tahun pemerintahan Prabowo–Gibran. Mereka menyerukan off-bid massal—mematikan aplikasi secara serentak—sebagai bentuk protes terhadap kebijakan pemerintah yang dianggap tidak berpihak kepada pengemudi.
Fenomena semacam ini bukan hal baru. Dalam teori gerakan sosial klasik ala Charles Tilly, mobilisasi massa selalu membutuhkan tiga unsur: grievance (keluhan), organization (organisasi), dan political opportunity (celah politik). Ketika tiga unsur itu bertemu, gerakan bisa meledak. Namun, tanpa kedewasaan politik, gerakan mudah berubah dari perjuangan substantif menjadi alat negosiasi kekuasaan.
Masalahnya, sebagian gerakan pengemudi kini mulai kehilangan otonomi. Alih-alih memperjuangkan perbaikan tarif, jam kerja, atau perlindungan sosial, mereka justru larut dalam narasi ideologis—siapa kawan, siapa lawan; siapa pro pemerintah, siapa oposan. Di titik ini, isu kesejahteraan berubah menjadi komoditas politik.
Risiko Sosial Ekonomi dari Politisasi Ojol
Jika ancaman mogok nasional benar-benar terjadi, dampaknya terhadap stabilitas ekonomi perkotaan bisa signifikan. Jakarta saja melayani lebih dari 3 juta perjalanan ojol per hari, sebagian besar digunakan oleh masyarakat kelas menengah bawah untuk aktivitas ekonomi mikro. Pemadaman aplikasi secara massal akan melumpuhkan arus mobilitas, mengganggu distribusi barang, dan berpotensi memicu keresahan sosial.
Ekonom perkotaan dari UI, Muhamad Chatib Basri, pernah menyebut bahwa ekonomi digital seperti transportasi daring memiliki multiplier effect hingga 2,3 kali terhadap konsumsi rumah tangga. Artinya, gangguan kecil di sektor ini bisa berimbas besar terhadap roda ekonomi harian. Dengan tingkat pengangguran terbuka 4,8 persen dan gini ratio 0,375 pada 2025, aksi politik semacam itu bisa menjadi pemantik instabilitas sosial baru.
Dalam perspektif ekonomi politik, situasi ini mirip dengan apa yang dikatakan oleh Albert Hirschman dalam “Exit, Voice, and Loyalty” (1970): ketika saluran aspirasi (voice) tersumbat dan saluran keluar (exit) tidak tersedia, maka yang muncul adalah bentuk-bentuk protes destruktif. Di sinilah pentingnya negara hadir sebagai fasilitator, bukan hanya regulator.
Menuju Model Hibrida yang Realistis
Pertanyaan krusialnya: apakah para pengemudi ojol sebaiknya diakui sebagai pekerja penuh (employees) atau tetap sebagai mitra (independent contractors)?
Kementerian Ketenagakerjaan kini sedang mengkaji ulang posisi hukum mereka, namun aplikator menolak keras dengan alasan biaya dan fleksibilitas. Di satu sisi, jika diakui sebagai pekerja formal, mereka berhak atas pesangon, jaminan sosial, dan upah minimum. Di sisi lain, model ini bisa membuat aplikator memangkas jumlah mitra atau menaikkan biaya operasional yang pada akhirnya dibebankan kepada konsumen.
Solusinya mungkin bukan hitam-putih. Beberapa negara telah mengadopsi model hibrida, seperti Inggris dan Australia. Di sana, para pengemudi dikategorikan sebagai dependent contractors—bukan karyawan penuh, tetapi juga bukan pekerja lepas murni. Mereka mendapatkan hak-hak dasar seperti jaminan kecelakaan kerja, asuransi kesehatan, dan batas jam kerja maksimum, namun tetap memiliki fleksibilitas menentukan waktu kerja.
Pendekatan ini dianggap sebagai bentuk “protective flexibility”—konsep yang diusulkan oleh ekonom Belanda Ton Wilthagen. Artinya, fleksibilitas pasar tenaga kerja tidak boleh mengorbankan perlindungan sosial. Negara, aplikator, dan komunitas ojol perlu duduk bersama mencari rumus lokal dari model tersebut.
Lebih penting lagi, gerakan sosial digital seperti komunitas ojol harus otonom, bebas dari intervensi partai atau kelompok kepentingan. Sebab, begitu mereka kehilangan kemandirian, mereka akan menjadi sekadar “alat tekanan” dalam politik elektoral.
Karena itu, literasi politik dan ekonomi digital harus menjadi bagian dari kebijakan negara. Para pengemudi perlu memahami bagaimana sistem algoritma menentukan pendapatan, bagaimana kebijakan fiskal mempengaruhi harga bahan bakar, dan bagaimana strategi komunikasi politik bisa menggiring opini mereka. Hanya dengan pemahaman semacam ini mereka bisa berdaulat atas nasib sendiri.
Sosiolog Pierre Bourdieu pernah menulis: “Ketidaktahuan politik adalah bentuk dominasi yang paling halus.” Ketika para pengemudi tak sadar sedang dimobilisasi untuk tujuan yang bukan milik mereka, maka perjuangan kesejahteraan berubah menjadi sandiwara politik.
Menjaga Gerakan Tetap Murni
Kini, ketika tekanan hidup semakin berat dan politik semakin cair, pekerja ojol perlu lebih waspada. Seruan-seruan untuk off-bid massal, boikot, atau aksi besar yang tidak jelas ujungnya patut dicurigai. Bisa jadi, di balik spanduk perjuangan, ada kepentingan tersembunyi yang tidak pernah menyentuh dapur keluarga para pengemudi.
Yang dibutuhkan bukan mobilisasi destruktif, melainkan dialog produktif—antara pemerintah, aplikator, dan komunitas pengemudi. Negara harus hadir bukan untuk mengekang, tetapi untuk melindungi; bukan untuk mengatur secara kaku, tetapi menciptakan keseimbangan antara efisiensi dan keadilan sosial.
Karena pada akhirnya, seperti kata ekonom Amartya Sen, “pembangunan adalah kebebasan”—dan kebebasan sejati tidak hanya berarti bisa memilih kapan menyalakan aplikasi, tetapi juga bebas dari ketakutan kehilangan pendapatan esok hari.
Sudah saatnya pekerja ojek online melek atas perjuangan dan isu-isu mereka. Dunia digital tidak otomatis menciptakan keadilan sosial, sebagaimana platform tidak otomatis menciptakan kemakmuran.
Mereka harus memahami: tidak semua yang berbicara atas nama mereka benar-benar berpihak kepada mereka. Kadang, yang paling lantang bicara tentang “keadilan”, justru sedang bernegosiasi di balik layar untuk kekuasaan.
Karena itu, setiap seruan kolektif harus diuji dengan satu pertanyaan sederhana: Apakah ini memperbaiki nasib saya, atau hanya memperpanjang karier politik orang lain? [ ]