Kewarasan Publik
Fenomena mediokritas intelektual ini berakar pada apa yang disebut Frank Furudi sbg “the cult of philistism”, pemujaan terhadap budaya kedangkalan oleh perhatian berlebihan terhadap interes material dan praktis. Universitas sebagai benteng kedalaman ilmu mengalami proses peluluhan kegairahan intelektual, tergerus oleh dominasi etos manajerialisme dan instrumentalisme; etos yang menghargai seni, budaya, dan pendidikan sejauh yang menyediakan instrumen untuk melayani tujuan praktis.
Oleh : Yudi Latif
JERNIH–Saudaraku, politisi dan intelektual itu penjaga kewarasan publik.
Agar kebijakan publik mencerminkan nalar publik, Pierre Bourdieu menulis tentang kemestian politisi untuk berperilaku bak ilmuwan dan terlibat dalam perdebatan ilmiah berbasis fakta dan bukti. Ini penting agar kebijakan yang diambil tak semata karena pertimbangan politis dan subjektivitas kepentingan yang bisa membahayakan kehidupan publik.
Ironisnya, Joseph Stiglitz menengarai situasi paradoks kerap terjadi; para ilmuwan/intelektual sendiri justru berperilaku bak politisi. Ketika mereka terlibat dalam proses pembuatan rekomendasi kebijakan, argumennya lebih padat politisasi dengan mengabaikan fakta dan bukti demi menyenangkan para politisi yang dilayaninya.
Adalah lumrah jika para politisi tak memiliki keluasan erudisi. Namun sungguh bencana jika intelektual menanggalkan kedalaman ilmu dan akal sehat. Jika perkembangan politik kita hari ini seperti berkutat dalam lingkaran involutif, tanpa terobosan visioner yang memberi panduan ke depan, sebab pokoknya: jagat intelektual mengalami proses mediokratisasi.
Fenomena mediokritas intelektual ini berakar pada apa yang disebut Frank Furudi sbg “the cult of philistism“, pemujaan terhadap budaya kedangkalan oleh perhatian berlebihan terhadap interes material dan praktis. Universitas sebagai benteng kedalaman ilmu mengalami proses peluluhan kegairahan intelektual, tergerus oleh dominasi etos manajerialisme dan instrumentalisme; etos yang menghargai seni, budaya, dan pendidikan sejauh yang menyediakan instrumen untuk melayani tujuan praktis.
Yang mengobarkan kegairahan intelektual berisiko dicap “elitis”, “tak membumi”, dan “marjinal”. Kedalaman ilmu dihindari, kedangkalan dirayakan. Universitas menjatuhkan marwahnya di hadapan politisi. Jarak ilmuwan dan politisi menipis. Kebijakan politik tak memiliki landasan pengetahuan kokoh. Pilihan yang diambil lebih sering sebagai tiruan mentah dari model negara luar, tanpa menakar kesesuaiannya dengan konteks keindonesiaan.
Dalam ketundukan logika intelektual pada nalar politisi, intelektual bisa jadi stempel pembenar penyimpangan kekuasaan. Nasib rakyat diperlakukan sekadar soal statistika. “One death is a tragedy, one million is statistic.” [ ]