Solilokui

Klakson dan Perbiadaban*

“Mengapa Bapak membentak saya?”

“Karena Bapak mengklakson saya tanpa tujuan yang jelas.”

“Tapi nggak usah membentak.”

“Kalau sepeda saya punya klakson, saya akan membalasnya dengan klakson juga. Sayangnya, saya hanya punya mulut…”

JERNIH–Ketika turun dari gowes Puntang pekan lalu, saya melihat penjual nangka nan menggoda di seberang jalan. Buahnya keemasan, seperti rona pagi yang kini agak langka ditemukan karena musim hujan. Dari jauh sudah terbayang wanginya. Cocok buat teman ngopi — biar arabikanya ber-hint nangka.

Saya menyeberang dengan menuntun sepeda. Bukan dinaiki. Ini memang kebiasaan yang lebih saya sukai, khususnya  di jalan besar. Lebih aman.

Kendaraan terdekat di sebelah kanan — atau di belakang saya — berjarak 20 meter. Sepeda motor itu saya perkirakan jauh dari kemungkinan menabrak. Sekalipun begitu, saya tetap mengangkat tangan kanan tinggi-tinggi, sebagai tanda minta kesempatan menyeberang.

Sebelum benar-benar sampai ke seberang, tiba-tiba motor tadi membunyikan klakson sekuat-kuatnya, persis di samping saya. Tidak tahu ditujukan ke siapa klakson itu. Karena selain dia dan penjual nangka, hanya ada saya dan penjual makanan lain, yang mendorong gerobaknya di sisi kiri jalan.

Saya memang tidak suka diklakson — pun saya tidak suka mengklakson. Membunyikan klakson tanpa alasan penting atau darurat adalah penghinaan. Adrenalin saya meledak dalam bentuk teriakan sangat keras, “Woi!”

Pengendara motor itu tinggi besar, berbaju kerja. Rupanya dia tersinggung dengan teriakan saya. Terjadilah perdebatan. Riuhnya bak sidang parlemen Inggris zamannya Winston Churchill — yang difilmkan dalam “The Gathering Storm“. Perdebatan ini saya bahasakan secara eufismistik, biar berkesan lebih sopan.

“Mengapa Bapak membentak saya?”

“Karena Bapak mengklakson saya tanpa tujuan yang jelas.”

“Tapi nggak usah membentak.”

“Kalau sepeda saya punya klakson, saya akan membalasnya dengan klakson juga. Sayangnya, saya hanya punya mulut…”

Seperti lazimnya percecokan di jalan, kali ini berakhir begitu saja. Jangan berharap ada baku hantam — itu hanya ada di YouTube. Tidak juga jambak-jambakan — itu juga hanya ada di sinetron. Tidak juga berpelukan damai — seperti Teletubies. Pokoknya selesai begitu saja.

Mungkin dia menimbang, jangan sampai gegara ini terus viral dan dilaporkan ke atasan, lalu mempengaruhi karirnya. Sementara saya dari tadi mikir, jangan sampai persoalan receh gini bikin saya harus operasi bibir gegara menceng kena bogem mentah.

Hidup memang tentang cara mengukur diri. [  ]

*Judul dari redaksi, perbiadaban mengambil etimologi sebagaimana lawan katanya, peradaban.

Check Also
Close
Back to top button