“Kopi Panas Radhar Panca Dahana”: Matinya Kebudayaan dan Tanggung Jawab Korporasi
Ketika saya mengatakan ‘terjadi asasinasi kebudayaan’ atau ‘kebudayaan mengalami sakaratul maut’, itu memang benar-benar terjadi dan nyata. Terbukti, bukan hanya sakaratul maut, tapi mati dan punah
JERNIH– Sebuah riset dari World Wide Farms menyatakan, pada tahun 2020, 70-75 persen hutan di Kalimantan akan punah. Tidak hanya hutan, ada belasan ribu spesies atau sub-spesies flora dan fauna yang juga kehilangan tempat tinggal, wilayah hidup, bahkan kehilangan eksistensinya dan ikut punah.
Di tanah seluas itu juga hidup manusia. Mereka beranak-pinak dan bereksistensi serta menjalankan tradisi dan adat.
Hanya semata-mata untuk eksploitasi alam atau hutan, semua itu ikut punah. Demi kepentingan komersial dan bisnis dari segolongan orang yang kita sebut kapitalis. Mereka yang memiliki korporasi besar dan menggunakan hutan sebagai sumberdaya utama untuk menjalankan roda bisnisnya. Betapa luar biasanya dampak dari praktik bisnis ekonomi yang berbasis pada kapitalisme seperti itu.
Belum lama ini, saya bertemu dengan sahabat yang merupakan Ketua Masyarakat Adat Melayu di Pekanbaru, Riau. Dia selalu berkeliling ke berbagai kampung suku adat Melayu, tak hanya di sekitar Riau. Dia menceritakan bagaimana beberapa suku asli di berbagai wilayah itu kini mengalami kegamangan hidup. Mereka tidak tahu harus berbuat apa. Termangu-mangu setiap hari karena tempat hidupnya selama ini yang membentuk mereka menjadi sebuah masyarakat dan suku-bangsa atau kesatuan adat yang kuat selama ratusan bahkan ribuan tahun sudah menjadi perkebunan sawit.
Wilayah itu, menurut mereka, diambil tanpa izin. Seperti dirampok. Hal itu tidak bisa digantikan oleh apapun, bahkan dengan harta yang melimpah sekalipun. Karena di dalam ruang yang sudah diisi kelapa sawit itu mereka bereksistensi, menjalankan pemujaan kepada Tuhan, menciptakan hubungan di antara mereka, dan menciptakan kebudayaan yang sangat tinggi.
Pembangunan dengan tujuan dan metode seperti itu telah menciptakan dampak yang tidak kecil terhadap budaya bangsa dan masyarakat kita. Di Lapindo, Sidoarjo, Jawa Timur, misalnya, ada beberapa masyarakat dengan kebudayaan lama yang lenyap begitu saja. Bagaimana ini diatasi? Apakah bisa disubstitusi atau diganti? Kalau sekolah, jalan atau masjid yang hancur karena bencana alam bisa diganti dengan yang baru. Tapi kalau adat-istiadat, kebudayaan dan peradaban, bagaimana menggantinya? Berapa tahun membentuknya, apakah 100 atau 200 tahun? Tidak mungkin diganti!
Pada kenyataannya, korporasi-korporasi itu tidak pernah memberikan atensi yang memadai. Mereka mendapatkan impresi untuk mengeluarkan dana dari keuntungan mereka sekian persen untuk corporate social responsibility (CSR). Dana CSR ini biasanya dialokasikan untuk menciptakan pengganti dari kerusakan yang terjadi pada lingkungan, kesehatan, pendidikan, dan lain-lain. Semua itu bisa digantikan, tapi kalau kebudayaan tidak mungkin bisa diganti dan tidak ada dalam CSR dana untuk kebudayaan.
Saya sudah berulangkali bicara, bahkan kepada dua presiden terakhir, tentang perlunya corporate cultural responsibility (CCR). Bentuknya tidak seperti dana CSR dan tidak diambil dari CSR. Dia harus tersendiri dan tidak digunakan untuk mensubstitusi atau mengganti kebudayaan yang hancur, rusak dan punah.
CCR itu digunakan untuk mengantisipasi. Sebelum kerusakan atau kehancuran itu terjadi, kebudayaan atau adat isitiadat yang terkena dampak industrialisasi harus sejak awal mendapatkan resistensi, bimbingan atau berupa penggantian tempat, lokasi, fasilitas dari pelaksanaan adat istiadat tersebut. Bukan setelah hancur, karena tidak bisa digantikan.
Sampai sekarang, dua presiden terakhir itu tidak pernah terpikir untuk membuat Inpres, Kepres atau undang-undang yang mewajibkan korporasi besar yang melakukan industrialisasi di wilayah-wliayah itu untuk juga bertanggungjawab pada dampak kultural yang diakibatkannya.
Ketika saya mengatakan ‘terjadi asasinasi kebudayaan’ atau ‘kebudayaan mengalami sakaratul maut’, itu memang benar-benar terjadi dan nyata. Terbukti, bukan hanya sakaratul maut, tapi mati dan punah. Tidak hanya di Riau, Kalimantan, atau Lapindo di Sidoarjo, tapi telah terjadi hal serupa di berbagai tempat dan wilayah di negara ini. Terkikis bahkan punahnya kebudayaan karena program pembangunan, industrialisasi, dan praktik kapitalisme yang dijamin oleh undang-undang.
Saya bicara ini atas nama banyak orang. Dengan harapan, kita sebagai bangsa secara bersama, khususnya mereka yang mendapatkan limpahan wewenang, amanah, fasilitas, dan kekuasaan untuk mengelola negara ini segera mengatasi masalah tersebut.
Bangsa ini terancam eksistensinya bila kebudayaannya mati atau punah. Kebudayaan mati, bangsa pun akan lenyap. Semoga ini menjadi perhatian kita bersama dan secara bersama-sama kita mencari jalan keluarnya. [ ]