
Mungkin begitulah cara Allah menjaga kerinduan saya pada kota itu: Madinah tetap utuh sebagai tempat rindu yang tak tergantikan. Sementara anak-anak saya adalah takdir indah yang harus dirawat dengan syukur.
Oleh : Geisz Chalifah
JERNIH– Seorang teman bernama Haris suatu hari menelepon, mengajak saya berangkat umrah. Saya tertegun. Umrah? Hari gini?
Di masa itu saya merasa belum waktunya—entah karena alasan pribadi, entah karena bisikan ragu. Tapi Haris terus mendesak, dan akhirnya saya ikut dalam rombongan.
Begitu memasuki kota Madinah dan Masjid Nabawi terbentang di depan mata, hati saya luluh. Keharuan menyeruak. Saya tenggelam dalam sejarah yang selama ini hanya hadir lewat buku Husain Haekal tentang Muhammad. Membaca sejarah bisa ratusan kali, tapi menjejakkan kaki di tanah itu adalah ziarah batin yang sama sekali berbeda.
Setiap selesai salat, saya selalu berjalan melewati makam manusia terbaik di muka bumi itu. Ada magnet tak kasat mata yang menuntun langkah. Hari-hari berlalu, dan sejak saat itu, setiap Ramadhan tiba, pikiran saya selalu kembali pada Madinah.
Saya pun berniat: bila kelak dikaruniai anak perempuan, akan saya beri nama Madina—sebagai penanda kecintaan pada kota itu.
Hari yang dinanti akhirnya tiba. Di rumah sakit, keluarga besar berkumpul. Keponakan-keponakan perempuan sudah menunggu dengan antusias, siap menyambut Madina. Dokter kandungan pun pada saat kontrol sebelumnya sudah mengatakan: anak ketiga saya perempuan.
Tak lama kemudian, seorang suster keluar membawa kabar gembira: anak saya lahir sehat, ibunya pun selamat. Saya lega. Namun ketika kembali ke ruang tunggu, tawa pecah. Semua keponakan perempuan tetap tak punya “saingan.” Karena yang lahir bukan Madina, melainkan Luthfi.
Ya, Madina tak pernah lahir. Tiga anak saya, semuanya laki-laki.
Namun mungkin begitulah cara Allah menjaga kerinduan saya pada kota itu: Madinah tetap utuh sebagai tempat rindu yang tak tergantikan. Sementara anak-anak saya adalah takdir indah yang harus dirawat dengan syukur. Alhamdulillah. [ ]






