Mama Kamji, Sufi Kampung yang Gemar Mengkhitan Orang Dewasa
Kalau “bengkong” lain, lumrah mengkhitan anak-anak, Mama Kamji memilih mengkhitan orang dewasa, karena memerlukan peralatan dan keberanian khusus. Sebab banyak pasen yang akan dikhitan, bisa saja tiba-tiba mengamuk.
Oleh : H. Usep Romli H.M.
Mama Kamji adalah seorang pegiat seni, aktivis sosial dan spiritual di Garut, awal abad 20. Bukan tokoh terkenal. Hanya tokoh lokal saja. Nama dan kiprahnya ditemukan pada akhir tahun 1972 oleh Tim Pengumpul Folklore Kabupaten Garut yang diselenggarakan UNESCO dalam rangka Tahun Buku Internasional 1972. Ucapan dan perilakunya mengandung nilai-nilai “hikmah” yang kadang sulit dimengerti orang kebanyakan.
Jika terjadi musim wabah penyakit (pagebug), Mama Kamji dari pagi hingga petang keliling kampung dan desa sambil membawa sapu lidi, cangkul, golok dan parang . Menyapu sampah, memotong dahan-dahan yang menjulur ke jalan atau rumah. Mengeruk saluran penuh air menggenang. Membabat rumput sepanjang sisi jalan.
“Semua itu sumber wabah penyakit yang harus dibersihkan, “kata Mama Kamji, penuh tulus ikhlas.
Ia mencari nafkah dengan main “lais”. Akrobat tali. “Ngamen”ke kampung-kampung yang sedang panen padi. Hasil “saweran” yang diperolehnya, selain untuk memenuhi kebutuhan makan minum dirinya dan keluarganya, dibagikan kepada orang-orang yang membutuhkan.
Mama Kamji juga terkenal sebagai “palika”. Tahan menyelam berjam-jam di lubuk-lubuk sungai yang dalam berarus deras. Masuk ke “sedong” (ceruk gua di dasar lubuk). Menangkap berbagai jenis ikan menggunakan tangan kosong, terutama untuk memenuhi keinginan orang-orang yang sedang “nyiram” (ngidam). Menurut kepercayaan, keinginan orang ngidam, jika tidak terpenuhi kelak bayi yang dilahirkannya suka ”ngacay”. Terus menerus mengeluarkan air liur.
Kebiasaan di kampung-kampung tempo dulu, banyak ibu-ibu hamil muda ingin memakan sesuatu yang sulit didapat. Seperti pepes ikan kancra (sejenis ikan liar penghuni sungai-sungai besar). Bagian Mama Kamji memenuhi hajat orang-orang “ngidam” atas permohonan para suaminya. Ia rela “blusukan” di lubuk-lubuk angker, demi membebaskan anak-anak bayi dari penyakit “hokcay” atau olohok bari ngacay”.
Sesekali dia juga menjadi “bengkong” atau tukang mengkhitan. Tapi khusus mengkhitan orang dewasa. Terutama para “mualaf” (orang baru masuk Islam). Kalau “bengkong” lain, lumrah mengkhitan anak-anak, Mama Kamji memilih mengkhitan orang dewasa, karena memerlukan peralatan dan keberanian khusus. Sebab banyak pasen yang akan dikhitan, tiba-tiba ngamuk. Sehingga harus ditundukkan dengan keahlian silat dan jampi-jampi tertentu.
Ia mengaku bukan ulama, walaupun sangat populer di kalangan para ulama setempat. Bahkan banyak ulama menganggap Mama Kamji seorang “waliyullah”. Kekasih Allah, yang martabat derajat hidupnya sudah mencapai “maqam” (tingkatan) “ma’rifat” (mengenal Allah). “Maqam” kedua setelah “syari’at” (dasar pelaksanaan aturan Allah). Selangkah lagi masuk ke “maqam hakikat” (kepasrahan mutlak kepada Allah).
“Mama Kamji sudah berhasil membersihkan hatinya dari segala yang hina (at takhalli minal radzail), mengisi hatinya dengan segala yang terpuji (at takhalli bil fadlail) dan memurnikan perasaan serta pikiran dari apa-apa selain Allah (at tabarri amma siwalah), “kata seorang narasumber folklore mengenai sosok Mama Kamji, yang sudah “teu naon-naon ku naon-naon”. Tidak apa-apa oleh apa pun juga. Sehingga ia asyik-asyik saja berjalan dan jungkir balik di atas bentangan tali “lais” setingi sepuluh meter dari permukaan tanah,tanpa alat pengaman apapun. Tenang-tenang saja menyelam berjam-jam tanpa alat bantu pernapasan.
Ketika mendengar orang-orang mengatakan, Mama Kamji jago berjalan di angkasa dan menyelam ke dasar sungai, ia menjawab, burung lebih jago lagi terbang di angkasa. Ikan lebih jago lagi berenang dan hidup selamanya di dalam air. Manusia tidak ada yang jago di bidang apa pun, karena memiliki banyak kelemahan di banding mahluk lain. Kelebihan manusia hanya terletak pada akal, rasa malu dan ketakwaan (melaksanakan segala perintah Allah dan meninggalkan segala laranganNya).
Wala pun hanya “sufi kampung ”, Mama Kamji berwawasan luas. Berkat pergaulan hidup di tengah masyarakat, Mama Kamji ikut memperhatikan kondisi sosial dan politik yang terjadi sehari-hari. Tatkala diminta nasihat, siapa sosok kepala desa yang harus dipilih pada waktu itu (tahun 1950-an) , Mama Kamji tidak mau menyebut nama Si Ini atau Si Itu. Ia hanya memberikan kriteria berdasarkan rujukan Quran dan Sunnah Rasulullah Saw.
“Jangan memilih calon yang berwatak “mutrofin”. Yaitu suka bermewah-mewah, dan melalaikan kewajiban. Sebagai pemimpin ia seharusnya mampu berbuat kebaikan dan kebajikan bagi dirinya serta masyarakatnya. Tapi malah ia membiarkan perbuatan jahat, korup, dan sejenisnya, merajalela, asal tidak mengganggu kesenangan duniawi yang ia nikmati dari hasil menjadi pemimpin pilihan rakyat. Itulah jenis pemimpin “mutrofin”.
Mama Kamji menyitir ayat Quran, S.Isra ayat 16, yang menjelaskan, jika Allah SWT akan menghancurkan suatu negeri, Dia akan memerintahkan kaum “mutrofin” di negeri itu, supaya ta’at kepada Allah SWT. Namun kaum ”mutrofin” acuh tak acuh saja. Maka Allah SWT menghancurkan negeri itu sehancur-hancurnya.
“Jangan pula memilih pemimpin zalim. Sebab akan menciptakan masyarakat yang zalim, baik kepada sesama manusia, maupun kepada Allah SWT. Allah tidak akan menghancurkan suatu negeri, kecuali jika penghuni negeri itu zalim,” kata Mama Kamji menyitir ayat 59 Q.s.al Qashasah. Ia menerangkan, zalim terhadap diri sendiri yaitu menghalangi dirinya untuk menjalankan hak sebagai manusia yang ingin ta’at kepada Sang Maha Pencipta. Juga menghalangi dirinya sebagai mahluk, agar tidak menjalankan kewajiban beramal saleh kepada sesana manusia.
“Jangan memilih orang yang tidak patuh hukum. Suka mempermainkan hukum demi kepentingan diri pribadi dan keluarganya. Menurut Kangjeng Nabi Saw, kehancuran umat-umat terdahulu, akibat pilih kasih dalam menerapkan hukum. Jika yang bersalah kaum elit, mereka tidak dihukum.Tapi jika yang bersalah kaum alit, mereka dihukum sebenar-benarnya hukuman.”
“Bersabda pula Kangjeng Nabi, jangan menyerahkan suatu urusan kepada bukan ahlinya. Sebab jika suatu urusan ditangani bukan ahlinya, tunggulan kehancurannya. Nah jangan kalian pilih orang semacam itu,” Mama Kamji membacakan dua hadis sahih riwayat Imam Bukhari.
Walaupun berskala lokal, petuah Mama Kamji tentang memilih pemimpin, Insya Allah, cocok diterapkan pada skala nasional. Terutama pada saat memilih figur-figur pimpinan, baik di tingkat pusat, maupun tingkat daerah . Kriteria dari Mama Kamji, mungkin berguna untuk acuan.
Sesuai pepatah, jika yang ke luar dari pantat ayam adalah telur, manfaatkanlah. Pendapat Mama Kamji dapat dianggap telur. Bahkan mungkin bukan sembarang telur. Melaikan telur emas. [ ]