Solilokui

Cerita “Ngabuburit” Zaman Dulu (1)

Jika tersisa, belut dapat dijadikan “kere”. Dendeng kering gurih. Berbumbu harum lada dan katuncar, juga garam dan gula merah. Menjadi  persediaan lauk dua tiga hari mendatang

Oleh   : Usep Romli H.M.

Generasi masarakat Sunda, sepuluh atau dua puluh tahun mendatang, mungkin sudah tidak akan mengenal sawah dan ladang lagi. Kedua jenis lahan sumber pasokan pangan terpenting itu, tampaknya akan segera tinggal nama belaka.

Usep Romli HM

Cuma tercatat dalam buku atau kisah-kisah tuturan orang tua. Itupun kalau ada yang rela mencatat dan mengisahkan. Mengingat pada masa sekarang, budaya catat-mencatat kekayaan khasanah masa lalu sudah amat berkurang. Juga budaya berkisah dari orang tua kepada anak-cucunya. Alat-alat audio visual yang digandrungi anak-anak muda, menjauhkan mereka dari orang tua masing-masing. Rata-rata anak-anak muda Sunda, termasuk di pedesaan, sekarang lebih memilih asyik bermain aneka macam perangkat “gadget” dan alat elektronik lain.

Berbagai jenis tradisi budaya yang muncul dari sawah dan ladang, ikut lenyap pula. Termasuk kebiasaan “ngabuburit” (menunggu waktu berbuka) pada bulan Ramadan, yang dulu tak terpisahkan dari keberadaan sawah dan ladang berikut segala kegiatannya yang serba positit.

Seperti “ngurek” alias memancing belut, selepas asar. Selama kurang lebih dua jam menjelajah petak demi petak sawah, seorang tukang “ngurek”, baik anak-anak, maupun orang tua,  akan memperoleh rata-rata 10-20 ikan belut. Cukup untuk menambah pasokan kawan nasi bergizi pada waktu buka atau sahur.  Belut segar dibakar matang, kemudian dicampur bumbu “cobek” memang lezat. Bergizi tinggi.

Atau jika tersisa, belut dapat dijadikan “kere”. Dendeng kering gurih. Berbumbu harum lada dan katuncar, juga garam dan gula merah. Menjadi  persediaan lauk dua tiga hari mendatang.

Jika tidak ke sawah, ya “ngabuburit” ke ladang. Sambil tetap akan membawa hasil. Minimal berbagai jenis lalab “darat”. Seperti daun pepaya muda, daun jambu mete, atau daun singkong. Ketiga jenis daun tersebut jika dicampurkan, direbus, akan menimbulkan cita rasa tertentu. Harum dan renyah.

Pahit rasa daun pepaya dapat hilang oleh daun jambu mete. Dari ladang pula dapat diperoleh aneka macam buah-buahan dan “bongborosan” yang tumbuh liar. Dapat diambil siapa saja. Seperti jambu “kulutuk”, “hanggasa”, “bakasem”, dan lain-lain yang enak dan lumayan  untuk “cuci mulut”. Mungkin juga ada labu besar, “kukuk”, “paria”  dan buah-buahan di bekas huma yang sudah di”pur”kan oleh pemiliknya, bebas diambil siapa saja yang menemukan.   

Hasil “ngabuburit” dari sawah dan ladang itu, cukup penting untuk menambah kebutuhan protein hewani dan nabati warga pedesaan yang rata-rata sederhana dalam pola makan. Juga sebagai bagian dari ketahanan pangan yang tak perlu digembar-gemborkan lagi. Karena sifat “rikrik gemi” (hemat), suka “ngeureut neundeun” (menabung uang atau barang), merupakan watak utama para petani, sebelum hilang lenyap ditelan arus konsumerisme yang tak mengenal “saeutik mahi, loba nyesa” (keseimbangan kepemilikan, pemasukan dan pengeluaran).

Mungkin masih ada sebagian warga pedesaan, memanfaatkan waktu ngabuburit dengan “ngurek” di sawah atau “ngaprak” ladang. Namun tentu suasana dan hasil jauh berbeda tatkala lingkungan sawah dan ladang masih utuh, baik luasnya maupun cara pengolahannya. Sekarang, sawah dan ladang diolah menggunakan target intensifikasi. Penggenjotan hasil. Penggunaan pupuk non-oganik dan obat-obatan kimia pembasmi hama, sudah amat meluas. Menjadi keharusan.

Akibatnya, habitat lingkungan hancur lebur. Sawah tidak lagi berisi satwa penyubur, seperti kini-kini, kuang-kuang, getok, peupeundeuyan, dan sebagainya. Belut juga nyaris musnah. Jika masih ada, dagingnya kurus kering. Hanya tulangnya saja besar dan keras. Tidak mengundang gairah para tukang “ngurek”.

Ladang juga demikian. Sudah miskin papa. Kehilangan penghuninya yang ikut mendukung pertumbuhan flora yang menyediakan kebutuhan enerji dan vitamin bagi manusia. Gaang, kasir, rinyuh, dan jenis-jenis serangga tanah lainnya, lenyap tersapu racun insektisida maha ganas.

Padahal dari kegemburan tanah yang mereka diami, muncul aneka jenis jamur, mulai dari “suung rampak”, “suung bulan”, “suung kotok”, “suung pare”, dll. hingga “lember” dan “supa” yang memperkaya aneka macam hidangan kuliner urang Sunda.

“Ngabuburit” ke sawah dan ladang, mungkin hanya akan tinggal kenangan, di tengah hantaman badai alih fungsi lahan yang meluas cepat, tak tertahankan.  [  ]

Back to top button