
Jokowi sudah tidak seperti dulu lagi. Legitimasinya melemah, daya dukungnya pun menciut. Opportunity hanya menjaga Gibran. Hitung punya hitung dan peluang 2029 rasanya memang perlu berlabuh ke partai Prabowo. Lalu apa efeknya pada Projo?
JERNIH – Langkah Ketua Umum Pro Jokowi (Projo), Budi Arie Setiadi, untuk merapat ke Partai Gerindra jelas bukan perpindahan partai biasa. Pilihan ini adalah puncak dari krisis identitas yang tak terhindarkan bagi organisasi relawan berbasis sosok (person-based political volunteerism) pasca-kepemimpinan idolanya berakhir.
Jokowi sudah tak memiliki daya dobrak. Bahkan belakangan cenderung didera berbagai persoalan secara bertubi-tubi. Sedang Gibran, sang putra yang diharapkan menampilkan pesona baru tak kunjung tampak.
Keputusan ini mencerminkan sebuah kalkulasi politik yang dingin dan rasional, sekaligus mengukuhkan tesis bahwa dalam politik, keberlanjutan kekuasaan lebih penting daripada loyalitas historis.
Projo lahir dari karisma politik Presiden Joko Widodo. Menurut Teori Otoritas Karismatik Max Weber, otoritas yang bersumber dari kualitas luar biasa seorang individu (karisma) cenderung tidak stabil dan tidak berkelanjutan. Ketika Jokowi tidak lagi berada di puncak kekuasaan, karisma tersebut harus mengalami rutinisasi—yakni, proses penstabilan dan pengalihan otoritas ke dalam bentuk yang lebih formal dan institusional.
Bagi Budi Arie, seorang tokoh sentral yang menikmati posisi menteri, rutinisasi ini berbentuk perpindahan ke institusi politik yang berkuasa: Partai Gerindra. Keputusan ini menunjukkan bahwa Projo, melalui pimpinannya, secara efektif meninggalkan idealisme berbasis figur menuju pragmatisme berbasis kekuasaan.
Perpindahan ini, dilihat dari kacamata Teori Pilihan Rasional (Rational Choice Theory),yang akar intelektualnya bisa ditelusuri lebih jauh ke karya Adam Smith (The Wealth of Nations, 1776) yang menekankan manusia sebagai makhluk rasional yang bertindak berdasarkan kepentingan pribadi untuk memaksimalkan manfaat.
Maka ini adalah upaya Budi Arie untuk memaksimalkan utilitasnya (kelangsungan karir dan jabatan politik). Gerindra adalah kapal yang menjanjikan stabilitas dan peluang kekuasaan jangka panjang, sesuatu yang tidak lagi dapat ditawarkan oleh “Partai Bayangan” (sebutan lain untuk kelompok relawan) pasca-Jokowi.
Dibandingkan bila menyeberang ke PSI yang secara konstituen belum terbukti mampu membawanya ke Senayan, Gerindra jauh lebih bermanfaat, lebih terbukti dan termasuk tiga besar partai politik papan atas.
Langkah Budi Arie menimbulkan dua patahan besar di tubuh Projo, yang mengarah pada krisis identitas akut di akar rumput.
Pertama adalah patahan ideologis dari Jokowi ke Gerindra sebagai partai. Inti Projo adalah dukungan tanpa syarat kepada Jokowi. Dengan bergabungnya sang ketua umum ke Gerindra, Projo dipaksa untuk mengubah narasi politiknya. Lihat Budi Arie yang beralasan bahwa langkah ini adalah demi memperkuat agenda politik Presiden Prabowo sebagai kelanjutan pembangunan. Narasi ini bertujuan untuk melakukan “pembenaran loyalitas” yang baru, dari satu sosok ke sosok lain.
Namun, di tingkat basis, ini dapat memicu disorientasi. Relawan yang tulus berjuang karena ideologi kerakyatan Jokowi mungkin merasa dikhianati dan melihat perpindahan ini sebagai oportunisme politik. Mereka akan kesulitan menerima Gerindra, yang secara historis pernah menjadi lawan politik utama Jokowi. Inilah yang oleh para analis disebut sebagai “Krisis Identitas Politik”—ketika loyalitas beralih dari prinsip ke posisi kekuasaan.
Kedua ialah patahan struktural yakni meleburnya “Partai Bayangan”. Di masa kejayaannya, Projo berfungsi sebagai “Partai Bayangan” yang mampu memobilisasi massa dan menggalang dana lebih cepat dan fleksibel daripada partai politik resmi. Kehadiran Budi Arie di Gerindra kini berpotensi mengeliminasi independensi Projo.
Projo kini menghadapi dua kemungkinan; melebur dan melemah yakni sebagian besar struktur relawan akan mengikuti Budi Arie dan secara de facto menjadi sayap non-formal dari Gerindra, kehilangan identitas unik mereka.
Sedang sisa-sisa anggota yang menolak bergabung akan menjadi kelompok serpihan yang kehilangan sumber daya, pendanaan, dan kepemimpinan sentral, sehingga perlahan-lahan kehilangan relevansi politik dan tereliminasi dari peta kekuasaan.
Banyak pendapat mengemuka, bahwa sejatinya Budi Arie tidak pernah bisa lepas dari sosok Jokowi. Perpindahannya ke Gerindra bahkan dimaknai sebagai sebuah rencana infilitrasi Jokowi ke partai yang pernah menjadi lawannya itu. Dengan kata lain, Budi Arie adalah mata-mata Jokowi.
Pemikiran ini sama sekali tidak benar dan terlampau sederhana sebagai sebuah taktik politik. Bahkan pasti Gerindra sudah mmebaca gelagat ini dan malah mungkin memiliki rencana lebih cerdas lagi mengatasinya, seperti strategi antispionasi guna melawan spionasi di dunia mata-mata.
Namun Gerindra membuat wacana lain tentang keterbukaan dan kebebasan, dengan menyatakan menerima gelombang besar aktivis dan basis massa relawan dari era Jokowi. Seakan hendak memperkuat Partai Gerindra sebagai rumah baru bagi tokoh-tokoh pro-pemerintahan dan berpotensi mengubah kultur politik internalnya.
Bahkan di balik pernyataan ini, sejatinya Gerindra mempunyai rencana lain. Jika Budi Arie benar diterima dan mau menerima segala konsekuensi sebagai kader partai, ia akan dijadikan sebagai middle man yang disiapkan untuk mengantisipasi jika Gibran maju sendiri, atau sebaliknya meneruskan era kedua Prabowo-Gibran dengan dimana masih ada relawan Jokowi yang dapat dikendalikan. Kali ini oleh Gerindra.(*)
BACA JUGA: Reshuffle Kabinet, Prabowo Lantik Empat Menteri Satu Wamen, Sri Mulyani dan Budi Arie Diganti






