Solilokui

Mas Febri Diansyah, Agere Volentem Semper Meditari Decet! 

Febri dan Rasamala bukan pendekar hukum pertama yang seolah menyeberang jalan melawan jejak tapaknya sendiri. Sebelumnya telah ada Adnan Buyung, Luhut Pangaribuan, Patra M. Zen, Bambang Widjojanto, Denny Indrayana, dan Chandra M Hamzah. Wajar jika kini orang mungkin hanya akan mendesis pelan, laiknya perkataan Julius Caesar manakala belati Brutus (pun) menghunjamnya,”Et tu, Brute? Kau juga, Anakku?”

Oleh   : Darmawan Sepriyossa

Bergabungnya dua orang mantan kru Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Febri Diansyah dan Rasamala Aritonang, menjadi pembela tersangka pembunuhan berencana “plus”, Ferdy Sambo dan istrinya, Putri Candrawathi, wajar membuat publik terkejut. Meski hal seperti itu bukan yang pertama dan kian kerap terjadi, publik tak urung tetap saja terkesiap dihadapkan pada fenomena tersebut.

Gejala ini hampir kongruen dengan keterkejutan publik Indonesia manakala pada dekade lalu tokoh hukum Adnan Buyung Nasution membela petugas pajak yang lancung dan korup seperti Gayus Tambunan. Meski Bang Buyung—tokoh yang diberi gelar “Bapak Advokat Indonesia” oleh Kongres Advokat Indonesia (KAI)— itu pada Oktober 2010 menyatakan mundur sebagai penasihat hukum Gayus, kesan public tak bisa sepenuhnya pulih. Khalayak bahkan tidak lagi bereaksi manakala Bang Buyung kemudian membela deretan tersangka korupsi lain, seperti Anas Urbaningrum, Tubagus Chaeri Wardana (adik gubernur Banten saat itu, Atut Chosiyah), dan sebagainya.

Setelah Bang Buyung, publik pun makin kerap melihat kenyataan betapa banyak pendekar hukum yang kemudian seolah menyeberang jalan, melawan jejak tapaknya sendiri. Pejuang hukum kelahiran Lembaga Bantuan Hukum (LBH) lain, misalnya Patra M. Zen, juga berada bersama Bang Buyung saat membela Gayus. Belakangan, Patra bahkan tercatat sebagai penasihat hukum Putri Candrawathi, sebelum mengundurkan diri baru-baru ini.

Belum lagi nama lain yang lebih legendaris, Luhut Pangaribuan, yang selain dicatat sejarah sebagai ketua LBH, juga pernah mendampingi mantan Presiden RI Abdurrahman Wahid di Istana. Setelah itu, Luhut sempat jadi pengacara mantan Menteri Pemuda dan Olahraga (Menpora), Andi Mallarangeng, ketika Andi ditetapkan menjadi tersangka korupsi pembangunan gedung olahraga di Hambalang, Bogor. Saat itu Luhut berkilah, sebagai advokat dirinya tidak boleh menolak permintaan bantuan hukum dari seseorang. “Sama seperti dokter tidak boleh menolak pengobatan pasien,”kata Luhut saat itu.

Bahkan, bekas rekan Luhut di LBH yang kemudian menjadi wakil ketua KPK, Bambang Widjojanto, belakangan juga tak risih membela tertuduh kasus korupsi, Mardani H. Maming. Menguatkan skuadnya, Bambang menggandeng mantan wakil Menteri Hukum dan HAM, Denny Indrayana. Nama besar Bambang dalam dunia hukum Indonesia tak mudah dinafikan. Selain mantan dedengkot YLBHI, Bambang adalah pendiri beberapa lembaga penegakan hukum terhormat, seperti Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) bersama almarhum Munir; Konsorsium Reformasi Hukum Nasional (KRHN),  dan Indonesian Corruption Watch (ICW). Sebagai peraih penghargaan Kennedy Human Rights Award, nama Bambang bahkan mendunia.

Jadi, apa yang dilakukan Febri dan Rasamala sebenarnya sudah menjadi hal yang kian biasa. Apalagi, selain nama-nama besar di atas, mantan kolega Febri di KPK, Chandra M Hamzah, juga pernah menjadi pengacara seorang tersangka korupsi. Chandra sempat menangani kasus Muhammad Bahalwan, tersangka kasus korupsi pelaksanaan tender pekerjaan Pembangkit Listrik Tenaga Gas Uap (PLTGU) Blok 2 Belawan pada 2014 lalu.

Wajar jika kini orang mungkin hanya akan mendesis pelan, laiknya perkataan Julius Caesar manakala belati Brutus (pun) menghunjamnya,”Et tu, Brute? Kau juga, Anakku?” Mungkin, fenomena Febri dan Rasamala, tergolong yang terakhir ini.

Kekecewaan public yang awam itu juga tergambar dari pernyataan mantan penyidik senior KPK, Novel Baswedan. Mengaku kaget dan kecewa dengan keputusan kedua rekannya itu, Novel mencuit di akun Twitter-nya,  @nazaqistsha. “Sebagai teman saya kaget dan kecewa dengan sikap @febridiansyah dan @RasamalaArt yang mau menjadi kuasa hukum PC (Putri Candrawathi) dan & FS (Ferdy Sambo),”cuit Novel, Rabu (28/9) lalu. Ia menambahkan,”Saran saya sebaiknya mundur saja. Justru kepentingan korban yang penting dibela.”

Tentu saja Febri dan Rasamala bukan tak punya apologia. Mengaku sudah bertemu langsung dengan Putri, bertemu dan bicara dengan Ferdy Sambo, mendatangi rumah Ferdy di Magelang, yang diyakini menjadi hulu perkara, hingga mendatangi lima orang ahli hukum di bidang pidana.

“Jadi, sebagai advokat saya akan dampingi perkara Bu Putri secara objektif dan faktual,”ujar Febri, berjanji melalui konferensi pers awal pekan ini. Sementara Rasamala mengaku, pengakuan Ferdy Sambo, meski di akhir setelah sebelumnya justru mencoba menutupi dengan beragam scenario, menjadi bagian penting mengapa ia bersedia. “Pertimbangannya terutama karena Pak Ferdy telah bersedia mengungkap fakta yang sebenarnya yang ia ketahui terkait kasus ini di persidangan nanti,”kata Rasamala.

Selebihnya, sebagaimana laiknya urusan yang menyangkut hal etika seperti itu, keduanya menegaskan pilihan mereka sebagai pilihan professional.  “Jadi ini pilihan profesional. Pilihan profesional kami sebagai advokat,”kata Febri, dalam konferensi pers yang sama.

Karena di ranah maya sebelumnya telah berseliweran kabar soal penyitaan sekian miliar rupiah dari bunker di rumah Ferdy Sambo, juga kabar soal mafia judi yang konon melibatkan dana ratusan triliun, wajar bila publik pun mengaitkan bergabungnya Febri dan Rasamala ini semata urusan uang. Apalagi, kasus-kasus besar yang melibatkan pemberitaan massif memang memungkinkan pengacara mendapat fee gemuk, bahkan bukan tak mungkin tambun bin buncit.

Sudah menjadi rahasia umum, fee pengacara untuk kasus-kasus ‘besar’ itu  sangatlah menggiurkan. Untuk ilustrasi, pertengahan 2017 lalu saja, artinya lima tahun lalu, honor pengacara senior Otto Cornelis Kaligis, misalnya, sudah  500 dolar AS atau hampir Rp 7 juta per jam. Itu hanya konsultasi, belum lagi untuk mengurus perkara yang tarifnya akan naik. Entahlah, berapa ‘pasaran’ fee pengacara besar saat ini. Namun tentu saja, tak ada orang yang berhak menghakimi orang lain dalam urusan mencari penghidupan ini.

Yang bisa public “persoalkan” barangkali hanya urusan hati nurani. Benarkah pengacara tak punyanhak untuk menolak, sebagaimana pembelaan Luhut yang kita contohkan di atas? Tampaknya tidak juga seperti itu.

Manakala tertuduh berhak memilih sendiri penasihat hukumnya sebagaimana diatur Pasal 54 dan Pasal 55 KUHAP, advokat pun tidak juga tak bisa memilih. Pasal 3 Kode Etik Pengacara Indonesia, bab Kepribadian Pengacara menjelaskan: “Pengacara dapat menolak untuk memberi nasihat dan bantuan hukum kepada setiap orang yang memerlukan jasa dan atau bantuan hukum dengan pertimbangan karena tidak sesuai dengan keahliannya dan bertentangan dengan hati nuraninya, tetapi tidak dapat menolak dengan alasan karena perbedaan agama, kepercayaan, suku, keturunan, jenis kelamin, keyakinan politik dan kedudukan sosialnya.”

Klausul itu sekaligus membantah interpretasi bahwa pengacara tidak boleh menolak permintaan tertuduh, sebagaimana  Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat, Pasal 4 ayat (2) tentang sumpah advokat yang berbunyi,”…bahwa saya tidak akan menolak untuk melakukan pembelaan atau memberikan jasa hukum di dalam suatu perkara yang menurut hemat saya merupakan bukan merupakan bagian dari tanggung jawab profesi saya sebagai seorang advokat.” Pasal itu, tidak otomatis bisa diartikan bahwa pengacara tak punya hak tolak, dan otomatis ia tak punya hak memilih siapa pun yang datang padanya untuk dibela. Tidak begitu.

Tuntunan hidup yang lebih universal, Al-Quran, pun menegaskan hak seseoranjg untuk menentukan pilihan sadarnya dalam membela seseorang atau kelompok. Surat An-Nisa ayat 105-109, terutama ayat 105, menegaskan,”Sesungguhnya Kami telah menurunkan kitab kepadamu dengan membawa kebenaran, supaya kamu mengadili antara manusia dengan apa yang telah Allah wahyukan kepadamu, dan janganlah kamu menjadi penantang (orang yang tidak bersalah), karena (membela) orang-orang yang khianat.”

Dalam “Zubdatut Tafsir Min Fathil Qadir”, disebutkan bahwa ayat ini diturunkan berkaitan dengan seorang lelaki dari golongan orang-orang munafik dari Bani Ubairiq mencuri makanan dan senjata dari seorang Yahudi. Namun orang munafik ini menuduh orang saleh yang melakukannya. Hampir saja Rasulullah keliru mengambil sikap, sampai turunnya ayat itu.

Lebih jauh, Syekh Abdurrahman bin Nashir as-Sa’di, pakar tafsir abad 14, menyatakan, ayat ini menunjukkan haramnya pertikaian dalam kebatilan, dan (larangan) menjadi pembela bagi orang yang bersalah dalam perkara agama maupun hak-hak duniawi. Pemahaman terbalik dari ayat ini adalah bahwa boleh membela seseorang dalam perkara persidangan yang mana orang tersebut tidak diketahui memiliki kezhaliman.

Dalam konteks tawasaw bil haqqi—bernasihat dalam kebenaran— tak salah bila seperti yang dilakukan Novel Baswedan,  publik pun mengingatkan Febri dan Rasamala. “Agere Volentem Semper Meditari Decet!  Pertimbangkanlah lagi, dan lagi!”  Pertimbangan yang didasari kesadaran bahwa bila sudah terlambat, tak mungkin lagi mengulang jejak. “Alea iacta est,” kata Julius Caesar, beberapa saat sebelum menyeberang Sungai Rubicon dan memulai perang saudara di Romawi saat itu. “Dadu sudah dilempar…”, keputusan sudah diketuk, dan segala pintu untuk memperbaikinya telah menutup.

Beberapa waktu lalu Febri Diansyah pernah dalam media sosialnya mengunggah slip gaji KPK, menambahinya dengan tulisan “Penghasilanku Berasal dari Rakyat”. Kita meragukan kini Febri akan mengunggah penghasilannya sebagai  pengacara, meski kali ini langsung dari tangan seorang  rakyat bernama Ferdy, atau Putri. [INILAH.COM]

Check Also
Close
Back to top button