SolilokuiVeritas

Masa Depan Partai Golkar di Era ADIDAS

Golkar memerlukan sosok yang memiliki ketokohan yang kuat dan mampu mengangkat moral perjuangan kader-kader Golkar di daerah. Dia harus mampu menunjukkan posisi politik yang wajar atau sesuai dengan postur politik yang dimiliki Golkar, yaitu baik dari kesejarahan maupun sebagai partai politik nomor dua terbesar di parlemen. Airlangga dan Bahlil sangat telanjang gagal tampil mewakili postur Partai Golkar karena lebih menonjolkan dirinya sebagai anak buah presiden. Tokoh-tokoh lain juga – seperti telah dikemukakan di atas – tidak berani tampil berkompetisi di dua ajang strategis terakhir. Di sinilah peluang Jokowi menjadi terbuka.

Oleh     : Rain Adham Azmo*

JERNIH– Sekitar dua tahun lalu saya berbincang soal politik dengan seorang petinggi Partai Golkar yang juga salah seorang pimpinan DPR. Di tengah perbincangan petinggi Golkar itu memuji-–tepatnya mengagumi-– cara berpolitik Jokowi.  Alasannya sederhana: Jokowi selalu mendapatkan apa yang dia inginkan walaupun ada upaya penentangan atau penolakan, baik dari publik maupun bawahannya.

Dia mengemukakan beberapa contoh, diantaranya dalam penentuan Pj Gubernur Aceh, Mayjen (Purn) Achmad Marzuki. Sejak awal Jokowi sudah menyebut nama ini, tetapi karena tidak dibenarkan militer menjabat jabatan sipil menurut UU, Mendagri Tito Karnavian mencoba meyakinkan Jokowi lantas mengajukan beberapa nama dan selalu ditolak Jokowi. Sampai akhirnya yang bersangkutan pensiun dini dan diberi jabatan eselon I sipil secara kilat sebelum ditunjuk sebagai Pj Gubernur Aceh. Seperti kita ketahui kemudian publik pun heboh.

Hebatnya Jokowi, kata petinggi Golkar ini, dia tegar menghadapi protes publik tersebut.” Andai kata hal itu terjadi di era Presiden SBY atau presiden lainnya, upaya presiden seperti itu pasti sudah gagal, katanya meyakinkan saya.

Menurut penulis, semua itu bisa terjadi–mengutip pepatah Minang-– karena bertemu ruas dan buku: ada presiden (yang pasti punya kekuasaan sangat besar) yang tidak peduli atau tidak tahu kerusakan institusi negara yang ditimbulkan oleh perilakunya itu; pada saat bersamaan bertemu dengan politisi bermasalah dan inferior. Itu sebabnya tidak ada gerakan masyarakat sipil, sebesar apa pun itu, yang disambut oleh para politisi menjadi kebijakan negara. Hampir semua mereka sudah tersandera karena masalah yang mereka buat, mulai dari masalah korupsi sampai masalah moral lainnya.

Inferioritas politisi itu tentu saja berdampak pada institusi partai, termasuk Partai Golkar yang disebut banyak pakar sebagai satu-satunya “the real” partai politik di Indonesia. Hal itu terlihat mulai dari ketidakberanian ketua umumnya, Airlangga Hartanto, mencalonkan diri baik sebagai capres maupun wapres; sampai kemudian dia menyerah dengan mengundurkan diri sebagai ketua umum partai.

Inferioritas itu makin terlihat saat rapat pleno dan Munaslub, di mana tak satu pun tokoh partai tersebut berani bertempur mencalonkan diri, baik sebagai pelaksana tugas (dalam pleno) dan ketua umum (saat Munas); kecuali yang direstui Jokowi. Seperti kita ketahui kemudian Agus Gumiwang terpilih secara aklamasi sebagai Plt dalam pleno dan Bahlil Lahadalia sebagai Ketua Umum dalam Munaslub dua pekan kemudian.

Dilihat dari sejarah Partai Golkar (pasca Orba), ini kali pertama pemilihan ketua umum Golkar tanpa kompetisi terbuka. Pada sisi lain, dilihat dari karir politik Bahlil dan para tokoh Golkar yang ada sekarang, sulit membayangkan Bahlil bisa menjadi ketua umum, apalagi tanpa perlawanan (terbuka) sama sekali. Penjelasannya tiada lain, yaitu inferiority complex yang merasuki para tokoh-tokoh Golkar generasi di bawah Akbat Tanjung (AT) dan Jusuf Kalla (JK).

Pertanyaannya kemudian apakah Bahlil Lahadalia tidak inferior? Dilihat dari sepak terjang dan gaya kepemimpinannya, Bahlil bukan seorang yang inferior, sebaliknya malah seoarang yang sangat percaya diri (PD). Seperti dikatakan oleh Presiden Prabowo, walaupun dia berasal dari pergurun tinggi kecil di pelosok Papua sana, dari keluarga miskin dan tidak bisa berbahasa Inggris, Bahlil sangat PD menjabat menteri investasi. Lagi pula bagaimana mungkin seorang yang inferior berani melawan tokoh-tokoh Golkar yang lebih senior darinya dan anak-anak tokoh terpandang di Indonesia.

Dalam perspektif ini saya melihat Bahlil, dengan perwakannya yang kecil, bak seekor kancil yang mampu bergerak lincah mengecoh para harimau yang siap memangsanya.

Namun demikian, melihat kepemimpinannya baru seumur jagung dan menilik lebih detil apa yang terjadi di internal Golkar saat ini, kesimpulan di atas masih perlu diuji. Salah satunya beredar gossip di DPP Golkar bahwa ada larangan dari pimpinan Golkar untuk melakukan yel-yel “Golkar menang! Menang!”, karena takut mengusik Partai Gerindra pimpinan Presiden Prabowo yang kini suaranya berbeda tipis dengan Golkar. Larangan itu kemudian melahirkan joke dengan akronim Adidas (Anak Didik Dasko).

Inferioritas Golkar (baca=Bahlil) belakangan semakin mendalam ketika Bahlil mengusulkan koalisi permanen Prabowo-Gibran dalam waktu yang tidak terbatas. Narasi itu telah menempatkan Golkar Bagai partai kecil yang hanya siap membebek pada kekuasaan, partai yang sudah kalah sebelum bertanding.

***

Tidak bisa dimungkiri dan terlihat jelas dari gerak-geriknya, selama jadi presiden sampai sekarang, Jokowi masih ingin berkuasa. Setelah gagal dengan ide tiga periode dan perpanjangan jabatan, Jokowi berhasil menempatkan anaknya Gibran Rakabuming Raka sebagai Wapres Prabowo. Bahkan berhasil menempatkan 15 orang-orangnya masuk dalam kabinet Prabowo Gibran. Jokowi juga terlihat sangat jelas ingin dilihat sebagai orang yang masih berkuasa. Dia seperti ingin memperlihatkan kepada publik bahwa dia tidak hanya bisa menyetel anaknya Gibran, tetapi juga masih bisa mengendalikan Prabowo dan pemerintahannya.

Gerak gerik itu tentu saja menggelisahkan banyak pihak, tidak saja para oposan, pembencinya dan para intelektual independen yang khawatir pada efek kerusakan institusional yang ditimbulkannya, melainkan juga dari orang-orang sekeliling Prabowo yang sudah barang tentu tidak rela junjungannya dikerdilkan.

Sejauh ini internal Partai Gerindra dan Prabowo sendiri masih menahan diri. Bahkan Prabowo dalam hampir setiap pidatonya selalu menyampaikan pujiannya sangat tinggi pada Jokowi. Prabowo seperti berupaya meyakinkan publik bahwa antara dia dan Jokowi itu mustahil dipisahkan. Akan tetapi para oposan, pembenci dan para intelektual independen sudah lama memperlihatkan kekhawatirkan dan perlawannya ke publik. Belakangan para Purnawirawan TNI juga mulai memperlihatkan sikap mereka.

Pada sisi lain, apalagi pasca pernyataan sikap purnawirawan TNI, publik membaca bahwa Prabowo sedang berupaya mengurangi pengaruh Jokowi baik di pemerintahan, birokrasi dan partai politik, maupun di publik dan konglomerat yang berada di belakang Jokowi. Perintah pada TNI-AL untuk membongkar pagar laut termasuk dengan tampilnya mantan istrinya Titiek Suharto di garis depan, pidatonya yang keras pada TNI dan Polri, ancaman reshuffle kabinet, serta pidatonya yang menyebut bahwa dia tahu ada orang (ditengarai merujuk pada fufufafa) yang menyebut dirinya bajingan tolol adalah bentuk-bentuk dari upaya tersebut. Pendek kata banyak pihak yang meyakini bahwa Prabowo akan menunjukkan jati dirinya pada saat yang tepat; walaupun banyak pula yang meragukan itu.

Terlepas benar tidaknya bacaan publik di atas, Jokowi dan keluarganya sekarang belum dalam posisi aman karena orang-orangnya di kabinet, birokrasi, TNI dan Polri akan dengan mudah disingkirkan oleh Prabowo. Jokowi sangat lemah bila hanya mengandalkan posisi Gibran sebagai Wapres. Oleh karena itu menarik untuk membaca langkah berikutnya yang akan diambil Jokowi untuk mempertahankan pengaruh politik dan ekonominya.

Satu-satunya opsi Jokowi saat ini adalah menjadi ketua umum partai politik yang kuat di parlemen. Pilihan yang tersedia ada empat, yaitu PDIP, Gerindra, Golkar atau PSI. Walaupun sudah dipecat dari PDIP, Jokowi masih memiliki hak untuk melawan di kongres partai tersebut. Tetapi, selama Megawati masih ada, rasanya upaya itu  nyaris mustahil.

Begitu juga di Gerindra, sulit membayangkan Prabowo akan dengan sukarela menyerahkan lehernya pada Jokowi.  Dengan demikian opsi yang tesisa adalah PSI dan Partai Golkar. Akan tetapi pilihan pada PSI bisa dikatakan sebagai pilihan terakhir, bak kata pepatah bila tak ada rotan, akar pun jadilah.

***

Pertanyaannya kemudian tentu sejauh mana peluang itu ada pada Golkar? Untuk menjawab pertanyaan ini ada dua faktor yang akan berpengaruh: pertama, tentu saja kondisi di internal Golkar dan kedua, faktor Prabowo.

Mari kita lihat internal Golkar. Pada pemilu legislatif tahun 2024 yang lalu Golkar kembali menempati posisi nomor 2 dengan perolehan suara naik 3,08%  dari 12,31% menjadi 15,39%, kenaikan paling besar dibandingkan partai lain yang mengalami kenaikan. Hal ini tak terlepas dari keputusan DPP pimpinan Airlangga Hartanto untuk bergabung dengan koalisi Prabowo-Gibran yang didukung Presiden Jokowi serta kepiawaian para punggawa Golkar memanfaatkan situasi politik. Akan tetapi pada pilkada yang digelar setelah pileg kinerja Golkar yang sudah berganti komandan ke Bahlil Lahadalia mengalami penurunan drastis. Golkar kehilangan kursi kepala daerah di daerah-daerah basis dan strategis seperti di Sumatera Utara, Jakarta, Banten, Jawa Barat, Jawa Timur dan Sulawesi Selatan.

Kekalahan di daerah-daerah strategis tersebut jelas sangat mengkhawatirkan, karena bisa mengancam perolehan suara Golkar pada pemilu 2029 kelak. Bagaimana pun kepala daerah adalah variabel cukup – jila bukan sangat – menentukaan dalam perolehan suara parpol dalam pemilu legislatif. Bila gagal mengantisipasi, apalagi ini merupakan pengalaman pertama bagi Golkar, bukan tidak mungkin nanti suara Golkar akan turun drastis. Dalam konteks ini sebagian faksi dalam tubuh Golkar menganggap relevan mendiskusikan peran Jokowi.

Kenapa? Seperti dijelaskan di awal, sangat jelas tokoh-tokoh Golkar  paska JK dan AT mengalami inferiority complex yang akut yang belakangan memunculkan satir ADIDAS. Mungkin ini adalah buah dari budaya prakmatisme yang mereka terapkan selama ini. Sudah terbukti berkali-kali pemenang kepemimpinan Golkar tidak pernah ideologis, melainkan penguasa yang bisa memberi mereka “gizi”.

“Gizi” itu hanya bisa didapat dari bisnis rente melalui kekuasaan. Untuk itu tokoh-tokoh tersebut harus mendekat pada pemilik modal yang bisnis mereka butuh kekuasaan politik. Akibatnya semua mereka punya masalah yang juga butuh perlindungan kekuasaan. Itu sebabnya ketika harus berhadapan dengan kekuasaan mereka selalu dalam posisi gamang. Akibat selanjutnya seperti sudah kita lihat bersama, tokoh-tokoh dan institusi Golkar sendiri semakin kerdil dan inferior.

Pada sisi lain, kondisi sekarang Golkar memerlukan sosok yang memiliki ketokohan yang kuat dan mampu mengangkat moral perjuangan kader-kader Golkar di daerah. Dia harus mampu menunjukkan posisi politik yang wajar atau sesuai dengan postur politik yang dimiliki Golkar, yaitu baik dari kesejarahan maupun sebagai partai politik nomor dua terbesar di parlemen. Airlangga dan Bahlil sangat telanjang gagal tampil mewakili postur Partai Golkar karena lebih menonjolkan dirinya sebagai anak buah presiden. Tokoh-tokoh lain juga – seperti telah dikemukakan di atas – tidak berani tampil berkompetisi di dua ajang strategis terakhir. Di sinilah peluang Jokowi menjadi terbuka.

Tentu sangat logis muncul pertanyaan: apakah mungkin,  karena menurut AD/ART Golkar itu tidak bisa dan – lagi pula – Jokowi sudah tidak berkuasa lagi? Akan tetapi, mengingat budaya pragmatism Golkar dan inferioritas tokoh-tokohnya, jawabannya: mungkin saja. Bahkan ada yang meyakini itu hal yang gampang terjadi di Golkar. Pertanyaan yang lebih relevan tampaknya adalah: apakah Presiden Prabowo dan pengikutnya akan membiarkan begitu saja? Mari kita tunggu episode berikutnya. []

*Penulis meminta anonimitas

Back to top button