Mau Uji Nyali? Jadilah Petani
Perlahan tapi pasti, pabrik-pabrik berdiri di atas tanah subur bernama Nusantara. Senyampang itu, menjadi petani berarti menjadi miskin, pendapatan petani hanya rata-rata Rp 1,8 juta per 2000 m2, atau Rp 9 juta per hektare per bulan.
Oleh : Kurnia Fajar
JERNIH—Konon, sampai abad ke-16 masyarakat Nusantara mayoritas berprofesi sebagai nelayan. Nenek moyang kita piawai mengarungi ganasnya lautan dan melakukan ekspansi besar-besaran ke berbagai belahan dunia lain. Pelaut-pelaut tradisional kita mencari tripang hingga ke gugusan pulau-pulau kecil di Melanesia, juga Australia. Dengan kapal yang lebih besar, pelaut  kita diakui dunia berlayar sampai Madagaskar.
Datangnya bangsa Eropa ke Nusantara mengubah itu semua. Kebutuhan rempah-rempah yang begitu tinggi membuat masyarakat Nusantara mulai bercocok tanam secara intensif. Perlahan namun pasti, bangsa Nusantara beralih dari bangsa maritim menjadi bangsa darat (baca : agraris). Pertanian dibuat dan disusun secara intensif, irigasi dibangun.
Semua orang bergembira memasuki dunia agraris dan mulai meninggalkan lautan. Sejak dahulu, bangsa Nusantara hidup berkoloni, berkelompok-kelompok dalam satu kesatuan yang disebut desa dalam bahasa Jawa, sementara masyarakat suku lain menyebutnya dengan kampung, kampong (Melayu), Gampong (Aceh), dukuh, dusun, udik, dan masih banyak lagi padanan kata lain yang merujuk pada perdesaan.
Memasuki abad 21 dunia cocok tanam (agraris) memasuki senjakala. Tidak ada masa depan di dunia pertanian, orang tua tidak pernah berwasiat pada anaknya untuk menjadi petani. Selamat datang dunia industri. Perlahan tapi pasti, pabrik-pabrik berdiri di atas tanah subur bernama Nusantara. Senyampang itu, menjadi petani berarti menjadi miskin, pendapatan petani hanya rata-rata 1,8 juta rupiah/2000 m2 atau Rp 9 juta per hektare perbulan. Sebuah angka yang kecil jika dibandingkan menjadi buruh yang bisa mendapatkan penghasilan Rp 2,7 juta sampai Rp 3,3 juta perbulan. Secara tidak sadar kita sedang digiring dari bangsa agraris menjadi bangsa buruh. Menyedihkan! Pembangunan dan revolusi industri telah menghadirkan kaum urban, kaum perkotaan yang jauh dari debu dan lumpur sawah kebun. Kaum pedesaan menjadi marjinal, warga negara kelas dua di tanah leluhurnya sendiri.
Akibat dari tidak adanya minat menjadi petani, ketahanan pangan kita pun menjadi lemah. Lebih dari 70 persen produk pertanian kita impor. Susu kita impor, daging impor, kedelai impor, garam, beras dan gula pun impor. Bahkan ada produk pertanian yang 99 persen impor, yakni bawang putih.
Bagaimana ceritanya kita menjadi lemah seperti ini? Padahal kedaulatan bangsa dimulai dari kedaulatan pangan. Pertanian memasuki senja kala. Jumlah lahan pertanian terus berkurang tergantikan oleh perumahan dan infrastruktur pendukungnya. Untuk tetap bertahan mereka mulai menggarap lahan perkebunan dan kehutanan, tindakan yang menyebabkan kualitas lingkungan rusak, karena longsor kemudian menjadi sebuah keniscayaan.
Jika harga komoditas naik, petani hampir tidak merasakan keuntungan dari naiknya harga tersebut. Pemerintah biasanya segera membuat atau menyusun harga pembelian petani (HPP) sehingga keuntungan petani menjadi tetap.
Tetapi ketika harga komoditas rendah, HPP tersebut tidak berlaku kembali. Seringkali terlihat, pada saat puncak musim panen dan harga jatuh, komoditas pertanian dibiarkan membusuk di pohon, tidak ada yang memanen karena biaya memanen jauh lebih tinggi dibanding harga jual komoditas.
Selain itu faktor hama, penyakit tanaman, cuaca ekstrem menjadi resiko ketidakpastian dalam dunia pertanian. Akibatnya, sektor usaha pertanian menjadi bisnis yang dipenuhi ketidakpastian. Tidak heran, dunia perbankan pun enggan merilis kredit sektor pertanian.
Hasil penelusuran penulis ke beberapa bank, komoditas pertanian yang sudah ada skema kredit dan dapat diukur resikonya hanya perkebunan sawit. Di luar itu perbankan masih enggan memberikan kredit. Tidak hanya pertanian, komoditas peternakan juga sama, tidak ada kredit bagi komoditas-komoditas peternakan.
Dengan kondisi yang ada, tidak heran banyak orang frustrasi dan tidak lagi mau jadi petani. Para orang tua, tidak lagi berwasiat kepada anak-anaknya.
Alhasil, hanya orang-orang berani yang bisa jadi petani. Kalau dibalik, untuk menera keberanian seseorang, terutama keberhasilan seorang pengusaha, tantang dia jadi pengusaha pertanian. Artinya, jika seorang pengusaha ingin menguji nyalinya, jadilah petani! [ ]
Kurnia Fajar, direktur utama PT Agro Jabar