SolilokuiVeritas

Mempertanyakan Kesadaran Eksistensial Dosen UGM

Adhie Massardi bisa mengatasi omong kosong dan kemunafikan yang disampaikan para pengangkut beban “ijazah Jokowi asli lho”. Dia mampu menembus hiruk-pikuk perdebatan tentang ijazah Jokowi sehingga menggulirkan revolusi intelektual. Ya, dia ingin kaum intelektual menyelesaikan revolusi intelektual yang sudah dimulai oleh Rismon-Roy Suryo dkk.

Oleh     :  Ana Nadhya Abrar*

JERNIH—Alhamdulillah, segala puji bagi Allah. Salah satu ciri khas Adhie M Massardi adalah kemampuan pandangannya untuk menembus tumpukan informasi sehingga menghasilkan peta jalan (road map) masalah. Ini dibuktikan lagi oleh tulisan terakhir beliau di jernih.co.

Dia bisa mengatasi omong kosong dan kemunafikan yang disampaikan para pengangkut beban “ijazah Jokowi asli lho”. Dia mampu menembus hiruk-pikuk perdebatan tentang ijazah Jokowi sehingga menggulirkan revolusi intelektual. Ya, dia ingin kaum intelektual menyelesaikan revolusi intelektual yang sudah dimulai oleh Rismon-Roy Suryo dkk.

Adhie M. Massardi menunjuk UGM secara khusus untuk menuntaskan revolusi intelektual itu. Ide yang masuk akal, mengingat UGM sudah lama menjadi penjaga moral masyarakat. Dalam posisi ini, UGM mampu melihat kehidupan dengan kaca mata bening. Ia bisa pula berimajinasi tentang masa depan Indonesia yang cerah. Ia bahkan siap menyongsong kehidupan masa depan dengan penuh percaya diri.

Namun, semua itu bertolak dari kesadaran eksistensial diri dosennya. Kesadaran eksistensial dosen ini terbentuk karena tiga serangkai: (i) pengalaman dan pemahaman tentang esensi dan dosen UGM, (ii) dunia di luar diri dosen UGM, dan (iii) hubungan antara dosen UGM dan masyarakat.

Semakin mendalam kesadaran dosen UGM tentang ketiga hal ini, semakin cepat mereka bergerak ke tahap-tahap yang lebih tinggi dari yang ada sekarang. Ya, kesadaran eksistensial itu akan menimbulkan pengakuan tentang keberadaan diri dosen UGM sebagai suatu eksistensi.

Sampai di sini muncul pertanyaan, apakah kesadaran eksistensial diri dosen UGM sudah membentuk eksistensi yang minta segera diwujudkan?

Tidak mudah menjawab pertanyaan ini. Namun, pengalaman keterbatasan saya sebagai seorang dosen UGM membuka sebuah dimensi baru tentang UGM. Apakah itu? Dosen UGM mulai mengalami defisit kesadaran untuk bertanya dan gelisah demi memperoleh jawaban atas segala teka-teki metafisik dan sosial budaya di sekelilingnya. Mereka disibukkan dengan mengurusi diri sendiri: mentransfer pengetahuan kepada mahasiswa, melakukan penelitian, mengatur administrasi pendidikan untuk dirinya sendiri agar segera jadi profesor dan menciptakan anak tangga menjadi birokrat di Jakarta. Yang terakhir ini tentu saja mengubah pola pemikiran menjadi mapan dan teratur.

Dalam keadaan begini, usulan Adhie M. Massardi agar UGM menuntaskan revolusi intelektual yang sudah digulirkan Rismon-Roy Suryo dkk memasuki ruang hampa di UGM. Sunyi. Tidak memperoleh resonansi yang luas. Tidak akan segera menemukan bentuknya yang riil.

Sampai pada kenyataan ini, saya tersentak. Itulah sebabnya saya berharap kepada para dosen UGM yang mau merenung dan berpikir tentang keberadaan UGM, mengoreksi saya. [ ]

*Guru besar UGM (keterangan ini dari Jernih.co)

Back to top button