SolilokuiVeritas

Memulihkan Soeharto, Memulihkan Adab Kita

Semua kekalahan yang dialami bangsa ini, ia tanggung sendiri, tanpa keluh, airmata, protes malah masih dengan senyum-jenderalnya yang tak lepas, bahkan ketika ia menderita sakit parah. Sementara para the losers yang sebenarnya, berebut menjadi pahlawan, menjadi guru-bangsa, tokoh sejarah yang dihormati dan mengharap ditulis dengan tintas emas di buku-buku pelajaran SD, bahkan masih berebut kue kekuasaan dan kue ekonomi yang telah ia rusak sendiri.

Oleh  :  Radhar Panca Dahana

JERNIH—Saya lahir hanya beberapa bulan sebelum pecah apa yang disebut dengan Gestok (menurut Sukarno), Gestapu (menurut AH Nasution) atau G30S/PKI dalam istilah Orde Baru. Karenanya sebagai orang Indonesia, saya adalah wakil dari generasi yang hidup dan berkembang dewasa di masa Presiden Suharto berkuasa lebih dari 30 tahun. Masa yang penilaiannya oleh orang banyak menimbulkan prokontra cukup tajam, antara yang menyanjung dan yang mengecam keras.

Sesungguhnya, generasi saya, yang diistilahkan sebagai generasi “X” belakangan ini, adalah pihak yang merasa paling berhak melakukan penilaian itu, karena sejak dini hingga lebih dari setengah hidup generasi ini ditempa oleh produk-produk kebijakan satu dari tiga Jenderal Besar itu. Namun saya tidak berani mewakili generasi “X” itu jika saya harus mengatakan, tidak memiliki semacam kesumat dendam yang terasa begitu luar biasa pada masa berlangsungnya reformasi hingga lengser keprabonnya “Jenderal (dengan) Senyum” yang khas itu.

Radhar Panca Dahana

Sejak awal saya tidak terlalu memasalahkan tudingan dalam maupun luar negeri tentang totaliterian dan korupsinya pemimpin Orde Baru itu. Dua hal yang setelah saya pelajari seksama, ternyata tidak terbukti sama sekali. Baik dari sumber netral, musuh politik, pendendam yang tak jelas, maupun sumber subyektif (antara lain komentar atau tulisan-tulisan para sahabat maupun mantan bawahannya). Apa yang pernah saya sesalkan dahulu adalah kebijakan politik-ideologisnya yang sekali saya anggap telah “memangkas (daya) imajinasi” satu generasi, generasi saya. Antara lain dengan cara ancaman dan represi terhadap kebebasan mimbar/bicara di kalangan akademik hingga kesenian.

Namun setelah saya renungi dan pelajari, ada bagian-bagian yang saya tak kenali dan pahami saat saya dahulu memiliki prasangka di atas. Hal itu sebenarnya saya sadari awal ketika saya akhirnya pada 1986 memutuskan untuk ikut penataran P4 (yang semula saya tolak tegas), untuk membuktikan seberapa jauh kebebasan berpikir (dan berimajinasi) saya terkekang oleh rezim yang berkuasa.

Seberapa keras tekanan yang akan saya dapatkan. Dan dalam penataran selama sekitar lima hari itu, yang dipimpin oleh beberapa profesor, ternyata saya bebas mengutarakan pendapat, apa saja, bahkan kritik tertajam yang saya bisa lakukan kala itu. Para profesor hanya senyum-senyum mendengarnya. Bahkan saya diangkat menjadi ketua kelompok (Nusa) saat itu, menjadi ketua seluruh kelompok, juga menjadi juru bicara dari seluruh kelompok.

                                      ***

Sampai hari ini saya tak berhenti merenungkan masa pemerintahan dan gaya pemerintahan Orde Baru dan Suharto. Banyak hal yang saya temukan dan memberi semacam pencerahan. Terutama ketika saya harus berangkat ke Paris, Prancis, untuk melanjutkan sekolah.

Sama seperti saya lahir hanya beberapa bulan sebelum peristiwa yang akhirnya mengangkat Suharto ke puncak pimpinan negeri, saya berangkat ke Eropa hanya sedikit bulan sebelum peristiwa besar jatuhnya Suharto, Mei 1998.

Kejadian itu membuat saya kesal bertubi-tubi, hingga pada akhirnya dengan bulat hati saya memutuskan menghentikan beasiswa yang diberikan pemerintah Prancis karena keterlibatan negara Eropa itu, bersama negara-negara Barat/maju lain, bersekongkol menciptakan kekacauan di Indonesia, lalu menjatuhkan Suharto pada puncaknya. Saya tidak bisa makan enak, menikmati fasilitas Eropa, wisata ke negara-negara eksotik, sementara seluruh saudara saya sebangsa mengalami tragedi kemanusiaan yang luar biasa. Saya harus bersama keluarga sendiri, bangsa sendiri. 

Saya pun pulang kembali ke negeri sendiri, walau dengan keras ditahan-tahan oleh lembaga pemberi beasiswa di Paris. Walau hanya diploma setingkat master saya peroleh, dan gelar doktor yang tinggal setahun-dua batal saya sanding. Ora pateken.

Dalam jarak 30.000 km dari Indonesia, selama di Eropa, saya bukan hanya bisa melihat Indonesia-–sebagai bagian dari diri sendiri—secara lebih objektif dan jernih, tapi juga bisa memperoleh data dan fakta yang lebih akurat dari apa bisa diperoleh mereka yang ada di dalam negeri. Karena saya bisa melihat sendiri bagaimana data dan fakta yang diproduksi di negeri lain kemudian bergulir di kalangan masyarakat Indonesia setelah dipoles, disemir, dipelintir bahkan menjadi fake news alias hoax dalam istilah mutakhir.

Saya menjadi saksi, bagaimana banyak isu politik, ekonomi, sosial dan lainnya yang bergulir seperti bola panas sudah diproduksi lebih dulu di Eropa, lewat media massa, komentar atau diskursus para pemimpinnya. Saya melihat dan mendengar sendiri bagaimana kabar-kabar tentang Indonesia dimanipulasi, dipelintir dan sangat memojokkan bahkan memfitnah (terutama) pemerintah Orde Baru dan Suharto. Di negeri sendiri, hingga hari ini, saya tidak pernah mau mengikuti ajakan untuk demonstrasi di jalanan. Namun di negeri anggur itu, hampir seminggu dua kali saya mengajak siapa pun orang Indonesia di kota saya belajar, melakukan demo menentang pemberitaan media massa maupun para pemimpin Barat yang saya anggap terlalu jauh mencampuri persoalan internal bangsa Indonesia.

Namun di balik banyak fitnah itu, kebebasan pers Barat juga menyajikan berita-berita dalam negeri yang tidak pernah terungkap di media massa lokal. Termasuk apa yang terjadi saat Presiden Suharto menawarkan satu bentuk kekuasaan kolegial pada sembilan pemuka agama pada 18 Mei 1998. Sebuah tawaran yang jika dinilai secara wajar cukup elegan, karena kuasa dipegang oleh para pemimpin rakyat, yang notabene tokoh-tokoh Islam (membuktikan keberpihakan dan keyakinan Suharto pada agamanya).

Namun tawaran elegan dan sebenarnya menjadi kompromi dan solusi politik yang positif itu ternyata secara “heroik” ditolak, terutama oleh dua tokoh yang menjadi pemimpin informal sembilan tokoh itu: Cak Nur dan Gus Dur.

Saya paham betapa kecewa Presiden ke-2 RI almarhum itu. Mungkin dia akan jauh lebih kecewa jika dia tahu, satu rahasia yang dia ungkap tentang skenario “asing” yang bermain bahkan memainkan gerakan reformasi, ternyata dibocorkan oleh satu di antara sembilan tokoh agama itu ke media asing.

Bocoran itu menciptakan gelombang protes dan kemarahan luar biasa secara global. Diawali dan dipandu oleh Madeleine Albright, Menlu AS kala itu, sebarisan pemimpin dunia mengeluarkan kecaman keras pada Suharto, dan membuat air yang sudah mendidih seperti membakar Indonesia. Tapi sampai hari ini, saya kira, bocoran itu belum juga terkuak di Indonesia, belum juga menguak bagaimana gerakan reformasi dimainkan oleh tangan-tangan lain.

Namun setidaknya tangan “sombong” Michel Camdessus, Direktur Eksekutif IMF saat Suharto menandatangani Letter of Intent (LoI) 15 Januari 1998, telah terbongkar sebagai musabab terjadi krisis ekonomi berkepanjangan di negeri kita. Menjadi sebab pencapaian-pencapian terbaik Orde Baru, yang sebelumnya mendapat apresiasi luar biasa dunia internasional, tercabik-cabik –setidaknya dalam impresi publik—sehingga menjadi alasan protes sekalangan orang Indonesia kala itu.                                              

                                             ***

Saya sudah menulis artikel tentang pengamatan saya terhadap Suharto sebagai korban dari Globanialisasi (akronim dari saya tentang “Global Colonialism” sebagai bentuk baru dari imperialisme posmodern) sejak saya masih di Eropa yang dimuat di koran lokal.

Dan hingga kini saya masih meyakini hal tersebut, bahkan dengan data-data yang kian akurat dan kuat, termasuk bukti-bukti imperialisme posmodern di atas yang kian merasuk hingga kedalaman batin kita di masa belakangan ini. Semua itu bermula dari (suksesnya, kata sebagian orang) gerakan Reformasi. Tepatnya: setelah kekalahan Suharto dalam pertempurannya melawan konspirasi internasional yang hendak “merampok” sumber-sumber daya terbaik negara ini, natural maupun nurtural.

Sebenarnya, dalam perhitungan saya, Suharto memiliki kemampuan, kapasitas individual maupun historiknya sebagai tentara, menghadapi lawan-lawan asingnya itu. Terlebih jika ia mendapat dukungan kuat secara nasional (dari dalam negeri). Namun ternyata ia malah dipunggungi, difitnah bahkan dikhianati dengan cara yang lebih menusuk dari Judas atau Brutus, seperti yang ditunjukkan oleh mundurnya 14 menteri dari Kabinet Reformasi bentukan Suharto, walau sebelumnya mereka sudah menyatakan persetujuan. “Jenderal (penuh) Senyum” itu akhirnya menjadi “Presiden Sepi” karena bahkan tangan kirinya sendiri berkhianat pada dirinya.

Apa yang terjadi kemudian? Ia menjadi tumbal dari kekalahan bangsa ini dalam perjuangannya melawan intervensi dan infiltrasi asing, kekuatan-kekuatan dunia yang kala itu sedang menyiapkan strategi baru dalam penciptaan tatanan dunia baru, tatanan yang kita hadapi penuh ketidakterdugaan (unpredictable) saat ini.

Semua kekalahan yang dialami bangsa ini, ia tanggung sendiri, tanpa keluh, airmata, protes malah masih dengan senyum-jenderalnya yang tak lepas, bahkan ketika ia menderita sakit parah. Sementara para the losers yang sebenarnya, berebut menjadi pahlawan, menjadi guru-bangsa, tokoh sejarah yang dihormati dan mengharap ditulis dengan tintas emas di buku-buku pelajaran SD, bahkan masih berebut kue kekuasaan dan kue ekonomi yang telah ia rusak sendiri.

Saya kira, semua itu menjadi salah satu representasi dari realitas adab dan budaya bangsa kita yang kian bobrok, bahkan dalam banyak kesempatan, saya sebut ada pada titik nadir. Di semua dimensi, level atau bidang kehidupan: politik, bisnis, akademik, artistik (seni) bahkan agama. Siapa yang berani menyangkal bila kenadiran itu hadir begitu keras, sarkastik dan tiada aling-aling dalam dua dekade terakhir, dua dekade dimana kita menikmati era atau rezim reformasi.

Karena itu, sejarah sudah mestinya ditegakkan seperti tiang bendera besi yang lurus lempang, bukan rumput atau benang basah yang meliuk atau bengkok hanya dengan tiupan angin kecil. Suharto saya kira mesti diperiksa, dipelajari dan dinilai kembali secara obyektif, berdasarkan aneka data obyektif, menempatkannya secara proporsional dalam sejarah bangsa ini. Sebagaimana dulu Suharto melakukan pada pendahulunya. Sebagaimana seharusnya bangsa yang beradab, atau bangsa yang ingin mengembalikan keluhuran adabnya. Dengan memulihkan secara profesional pemimpin besar (sebagaimana banyak pengakuan dari pelbagai negarawan dunia) Suharto, sesungguhnyalah kita juga memulihkan keadaban kita agar tidak lebih jatuh dari kenadiran yang mencekam saat ini.

Buku “100 tahun Pak Harto” yang disusun oleh Noor Johan Nuh ini mungkin bisa menjadi salah satu bahan atau data obyektif untuk melakukan semacam historical rejudgement pada sosok yang terlalu banyak mendapat khianat dan fitnah itu. Yang memendam semua duka bangsa itu dalam hati dan senyumnya yang tak henti. Dengan buku ini kita bisa mungkin lebih memahami apa sesungguhnya yang ada dalam perasaan, pikiran dan batin Suharto sebagai Presiden, terhadap rakyatnya, terhadap bangsa dan negara yang dipimpinnya.

Semua terlihat seperti sebuah foto, gamblang dan tak berdusta. Karena memang foto bisa bicara dengan makna lebih dari “seribu kata”. Kejujuran data bahkan bisa membongkar dusta-dusta yang selalu melingkarinya. Semoga semua hasilnya menjadi berkah bagi yang membaca, berkah bagi semua manusia yang mencintai Indonesia, berkah bagi masa depan bangsa kita. [  ]

Almarhum seorang budayawan, sastrawan, aktivis, meninggal 23 April 2021,

Back to top button