SolilokuiVeritas

Menagih Konsistensi Dedi Mulyadi Mengubah Wajah Bank BJB

Kontrol direksi lemah dalam pemberian kredit, sehingga kita tahu dalam berita media nasional beberapa pekan lalu, BJB juga ikut kebobolan dalam pemberian kredit senilai Rp 662 miliar kepada PT Sritex yang kemudian dinyatakan pailit.

Oleh : Yudho Prasojo*
JERNIH– Dalam beberapa bulan terakhir, PT Bank Pembangunan Daerah Jabar dan Banten Tbk atau disingkat BJB cukup ramai diperbincangkan publik. Mulai dari dugaan seputar kasus korupsi yang melibatkan petinggi bank dan bahkan mantan gubernur.

Juga lemahnya kontrol direksi dalam pemberian kredit, karena kita tahu dalam berita media nasional beberapa pekan yang lalu BJB juga ikut kebobolan dalam pemberian kredit senilai Rp 662 miliar kepada PT Sritex yang kemudian dinyatakan pailit. Manajemen juga tidak mampu menyuguhkan performance maksimal sehingga laba perseroan cenderung turun dan harga saham BJB juga demikian.

Menurut Majalah Tempo laba BJB turun dari Rp 1,80 triliun di 2023 menjadi Rp 1,39 triliun di tahun 2024. Harga sahamnya yag teratat Rp 1150 di akhir tahun 2023, terkoreksi menjadi Rp 910 di akhir tahun 2024.

Inilah yang menjadi catatan Gubernur KDM. Sehingga akhirnya Gubernur Dedi Mulyadi berencana melakukan serangkaian perubahan dalam menata bank kebanggaan masyarakat Jawa Barat dan Banten itu. Paling tidak saya mencatat ada empat janji Dedi Mulyadi dalam melakukan perubahan di BJB.

Pertama, menurunkan rasio BOPO hingga 40 persen. Data Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menunjukkan rasio beban operasional terhadap pendapatan operasional (BOPO) Bank BJB pada 2023 mencapai 85,7 persen, lebih tinggi dibanding rata-rata nasional sektor perbankan yang berada di kisaran 78 hingga 80 persen.

Apakah mungkin KDM mampu menurunkan ini? Karena artinya dengan turun 40 persen rasio BOPO yang diharapkan menjadi 50 persen. Sebuah pekerjaan yang tidak mudah, mengingat BJB dikelilingi oleh lingkungan politik yang kuat. Perlu keberanian dan kekuatan dalam menantang arus. Padahal kita tahu pragmatisme kini sudah menjalar kemana-mana.

Kedua, menurunkan suku bunga kredit kepada ASN. Untuk janji ini saya rasa KDM akan mampu merealisasikannya. Namun tentu BJB akan mengurangi “kebaikan” yang selama ini diperlihatkan kepada para ASN di Jawa Barat maupun Banten. Ini semacam kuat-kuatan, bertahan di zona nyaman atau keluar dari zona nyaman.

Ketiga, perampingan jaringan kantor. Selama ini barangkali alasan BJB memperbanyak jaringan kantor adalah semata-mata agar mudah melayani publik. Namun dalam pendapat KDM, di era digitalisasi tidak diperlukan lagi banyak kantor cabang. Hingga akhir 2024, Bank BJB tercatat memiliki 457 unit kantor cabang pembantu, namun baru 17 unit yang mengadopsi layanan digital penuh.

Keempat, perampingan struktur direksi menjadi tiga orang. Apakah hal ini mungkin dilakukan? Memang benar tidak ada ketentuan yang mengatur jumlah direksi sebuah bank, biasanya disesuaikan dengan Risk Appetite Bank. Jika kita benchmark ke bank lain yang apple to apple secara asset, CIMB Niaga ada 10 orang Dewan Direksi. Kemudian Danamon delapan orang, Bank Jatim tujuh orang dan Bank DKI enam orang. Tidak ada yang diisi hanya dengan tiga orang direksi.

Apakah KDM akan berani menantang arus? Khusus untuk posisi direktur utama harus dijaga independensinya. Karena dari sisi perbankan ada yang dinamakan Four Eyes Principles untuk semua putusan bisnis. Apakah mungkin menempatkan direktur bisnis hanya satu orang, sementara bisnis BJB banyak? Di consumer, korporasi, komersial, UMKM dan DPLK.

Saya berpendapat akan berat jika dijabat oleh satu orang. Sampai dengan tulisan ini terbit penulis belum mendapatkan informasi kapan dilaksanakan RUPS bank. Tentu hal ini akan sangat kita tunggu-tunggu. Di satu sisi Pemprov Jawa Barat sebagai pemegamg saham terbesar (namun bukan mayoritas) melalui Gubernur Dedi tentu ingin berbenah. Namun di sisi lain, haruslah hati-hati karena publik akan sangat cermat dan ketat mengawasi.

Para stakeholder dan pemegang saham lainnya apakah akan mendukung dan mendorong ide-ide perubahan ini terkait revitalisasi dan efisiensi ini atau justru berbalik dengan merongrong dan menolak usulan KDM dengan alasan peraturan OJK dan status BJB sebagai perusahaan Tbk. Padahal ada maksud terselubung untuk melanggengkan kelompok-kelompok yang berafiliasi kepada proxy kekuasaan lama atau pemegang saham lain di BJB. Publik juga harus mencermati hal ini.

Terakhir dalam statement kepada publik, KDM menyampaikan bahwa CSR BJB harus lebih transparan. Tentu hal ini merupakan sesuatu yang akan diamini BJB karena akuntabilitas dan transparansi adalah bagian dari compliance Bank. Rasanya, KDM harus memiliki think tank di belakang yang terus menerus memberikan pandangan. Sehingga semua statement publiknya menjadi lebih jelas dan terukur.

Sebagai mantan aktivis dan pernah menjabat ketua KAHMI Jawa Barat, tentu KDM tidak kekurangan kawan dan jaringan. Namun karena beberapa statement di atas sudah diucapkan kepada publik maka wajar jika kita menagih janji konsistensi KDM yang sudah ditahbiskan sebagai pemimpin perubahan. Perubahan di BJB yang awalnya sudah bergemuruh, jangan sampai di akhir cerita menjadi melempem seperti kerupuk dan proses ini antiklimaks.

Jika KDM adalah harapan, publik menanti harapan tersebut. Karena pada prinsipnya kita mendukung, mendorong dan menjaga KDM sebagai tokoh perubahan untuk konsisten melakukan perbaikan di semua sendi kehidupan dan pembangunan di Jawa Barat. **
*Warga Jawa Barat

Back to top button