
Jika koordinasi kebijakan berjalan efektif, Indonesia berpeluang menjaga pertumbuhan di atas 5% dengan inflasi yang terkendali. Namun, tanpa dukungan fiskal yang kuat dan konsistensi komunikasi kebijakan, ruang positif dari pemangkasan suku bunga bisa kurang optimal.
Oleh : Perdana Wahyu Santosa*
JERNIH—Pada 20 Agustus 2025lalu, Bank Indonesia (BI) kembali mengambil langkah yang mengejutkan sebagian pelaku pasar dengan memangkas suku bunga acuan sebesar 25 basis poin menjadi 5,00 persen.
Keputusan ini merupakan pemangkasan keempat sepanjang tahun 2025 dan kelima sejak September 2024, sekaligus menempatkan suku bunga di level terendah sejak akhir 2022. Gubernur BI Perry Warjiyo menegaskan bahwa langkah ini ditempuh karena inflasi tetap berada dalam kisaran target 2,5 ± 1 persen, rupiah relatif stabil, dan kebutuhan menjaga momentum pertumbuhan ekonomi semakin mendesak.
Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi kuartal II-2025 mencapai 5,12% (yoy), tertinggi dalam dua tahun terakhir, dengan konsumsi rumah tangga tumbuh 4,97% dan investasi manufaktur naik 6,99%. Fakta ini memberikan ruang bagi BI untuk melakukan pelonggaran tanpa menimbulkan risiko overheating. Dengan kondisi eksternal yang juga ditandai tren penurunan suku bunga global, keputusan BI dianggap sebagai langkah proaktif untuk memperkuat daya tahan perekonomian nasional.
Secara makroekonomi, penurunan suku bunga acuan biasanya ditujukan untuk menstimulasi permintaan agregat, baik melalui konsumsi rumah tangga maupun investasi dunia usaha. Data BPS memperlihatkan kontribusi konsumsi rumah tangga terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) mencapai lebih dari 52%, sehingga kebijakan yang memperlonggar biaya kredit diperkirakan akan berdampak langsung pada penguatan daya beli masyarakat.
Dari sisi investasi, realisasi Penanaman Modal Asing (PMA) pada semester I-2025 tumbuh 8,5% yoy, dengan sektor manufaktur, energi, dan digital menjadi penopang utama. Penurunan suku bunga ke 5% diyakini akan membuat Indonesia semakin kompetitif dibanding negara-negara tetangga seperti Filipina (6,25%) dan Vietnam (4,75%). Dengan demikian, momentum pelonggaran ini dapat memperkuat arus masuk modal, terutama pada proyek-proyek padat modal yang membutuhkan pembiayaan jangka panjang.
Namun, efektivitas kebijakan tetap bergantung pada seberapa cepat perbankan menyalurkan kredit dengan bunga yang lebih rendah kepada dunia usaha dan rumah tangga, sehingga stimulus moneter benar-benar menggerakkan sektor riil.
Dampak pada Kredit Konsumsi
Sektor kredit diproyeksikan menjadi penerima dampak langsung dari kebijakan BI Rate 5%. Berdasarkan laporan OJK, pertumbuhan kredit per Juli 2025 mencapai 9,2% yoy, dengan porsi terbesar disumbang oleh kredit konsumsi dan modal kerja. Penurunan suku bunga akan menekan biaya pinjaman sehingga memperluas akses pembiayaan, terutama bagi segmen UMKM yang menyumbang lebih dari 60% terhadap PDB dan 97% lapangan kerja.
Sektor properti juga diperkirakan akan mendapat dorongan karena suku bunga Kredit Pemilikan Rumah (KPR) bisa turun secara gradual. Meskipun demikian, perbankan masih menghadapi tantangan berupa risiko kredit bermasalah (NPL) yang tercatat di level 2,45% pada pertengahan 2025.
Jika bank terlalu agresif menyalurkan kredit tanpa mitigasi risiko, stabilitas sektor keuangan dapat terganggu. Oleh karena itu, peran BI dan OJK dalam memastikan penerapan manajemen risiko kredit tetap menjadi faktor penting agar stimulus moneter benar-benar memberikan efek positif bagi pertumbuhan ekonomi tanpa mengorbankan stabilitas sistem keuangan.
Stabilitas Rupiah
Stabilitas nilai tukar rupiah menjadi salah satu pertimbangan utama BI dalam menurunkan suku bunga. Sepanjang Agustus 2025, rupiah bergerak fluktuatif di kisaran Rp 16.200–16.475/USD, terdorong oleh kombinasi faktor global dan domestik. Tekanan dari potensi penguatan dolar AS relatif mereda setelah The Federal Reserve memberi sinyal penurunan suku bunga pada kuartal IV-2025.
Kondisi ini memberi ruang bagi BI untuk melakukan pelonggaran tanpa khawatir terjadi arus keluar modal besar-besaran. Intervensi BI melalui pembelian Surat Berharga Negara (SBN) juga membantu menahan gejolak nilai tukar. Namun, stabilitas rupiah tetap rentan terhadap risiko eksternal seperti ketegangan geopolitik di Asia Timur dan perlambatan ekonomi Tiongkok yang berpotensi menekan ekspor Indonesia. Jika rupiah dapat dijaga di kisaran Rp 16.000/USD hingga akhir tahun, kebijakan moneter longgar ini akan semakin efektif dalam menopang konsumsi domestik sekaligus memperkuat daya tarik investasi asing di Indonesia.
Reaksi Pasar Modal
Pasar saham Indonesia merespons kebijakan penurunan suku bunga dengan dinamika yang beragam. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) sempat terkoreksi lebih dari 2% pada awal Agustus akibat sentimen politik domestik, namun mulai berbalik arah pasca pengumuman BI Rate. Investor menilai bahwa penurunan suku bunga akan mendukung profitabilitas korporasi, terutama pada sektor konsumsi dan infrastruktur yang sangat sensitif terhadap biaya pinjaman.
Data Bursa Efek Indonesia menunjukkan bahwa per Agustus 2025, net buy investor asing mencapai Rp 18,7 triliun, menandakan adanya optimisme jangka menengah terhadap pasar modal. Meski demikian, sektor perbankan justru berpotensi menghadapi tekanan margin bunga bersih (NIM), yang saat ini berada di kisaran 4,9%. Jika penurunan bunga kredit lebih cepat dibandingkan bunga simpanan, bank harus mencari cara lain untuk menjaga profitabilitas. Oleh karena itu, dampak kebijakan BI Rate 5% terhadap IHSG tidak akan homogen dan sangat bergantung pada sektor yang menjadi fokus investor.
Agar pelonggaran moneter memberikan hasil optimal, sinergi dengan kebijakan fiskal menjadi prasyarat penting. Pemerintah telah menyiapkan stimulus fiskal senilai Rp 25 triliun dalam bentuk subsidi energi, bantuan sosial tunai, serta insentif pajak untuk sektor manufaktur dan pariwisata. Stimulus ini diarahkan untuk menjaga daya beli masyarakat, terutama kelompok menengah bawah yang paling terdampak oleh kenaikan harga pangan. Belanja infrastruktur juga dipercepat dengan target realisasi 95% dari pagu APBN sebelum akhir tahun, guna memastikan multiplier effect tetap berjalan. Dari sisi perpajakan, implementasi pajak karbon dan global minimum tax pada 2025 juga akan memengaruhi iklim investasi. Kombinasi kebijakan fiskal dan moneter yang sinkron dapat menciptakan ekosistem pertumbuhan yang lebih berkelanjutan. Namun, risiko penyerapan anggaran yang lambat dan birokrasi yang berbelit tetap menjadi tantangan klasik. Jika hambatan ini tidak segera dibenahi, dampak positif dari pelonggaran moneter bisa tereduksi dan tidak optimal bagi pertumbuhan ekonomi nasional.
Selain stimulus, keberhasilan kebijakan moneter juga ditentukan oleh kejelasan komunikasi atau forward guidance dari BI. Dalam beberapa kesempatan, BI memberi sinyal bahwa masih ada ruang untuk menurunkan suku bunga lebih lanjut, bahkan berpotensi menuju 4,5% pada kuartal IV-2025 jika kondisi global tetap mendukung. Sinyal ini penting untuk mengelola ekspektasi pasar, sehingga investor dan pelaku usaha dapat menyiapkan strategi jangka menengah.
Namun, jika komunikasi tidak konsisten, justru dapat menimbulkan spekulasi berlebihan yang mengganggu stabilitas. OJK dan Kementerian Keuangan juga harus bersinergi dalam menyampaikan kebijakan agar pesan yang diterima pelaku pasar tidak bertentangan. Dengan forward guidance yang jelas, perbankan lebih berani menyalurkan kredit, investor asing lebih percaya, dan pelaku usaha memiliki kepastian dalam mengambil keputusan investasi. Tanpa komunikasi yang transparan, manfaat kebijakan pelonggaran bisa hilang karena pasar meragukan arah kebijakan jangka menengah.
Prospek Perekonomian
Secara keseluruhan, penurunan BI Rate menjadi 5% pada Agustus 2025 merupakan langkah strategis yang menandai optimisme baru bagi perekonomian Indonesia. Di satu sisi, kebijakan ini dapat memperkuat konsumsi, menurunkan biaya utang, dan sekaligus mendorong investasi. Di sisi lain, tantangan berupa stabilitas rupiah, margin perbankan, serta risiko eksternal global tetap harus dicermati. Pelajaran dari pengalaman sebelumnya menunjukkan bahwa pelonggaran moneter tidak otomatis menghasilkan percepatan pertumbuhan jika tidak ditopang oleh perbaikan struktural. Reformasi birokrasi, percepatan pembangunan infrastruktur, serta peningkatan kualitas sumber daya manusia siap pakai tetap menjadi kunci untuk mengoptimalkan manfaat dari kebijakan moneter tersebut.
Jika koordinasi kebijakan berjalan efektif, Indonesia berpeluang menjaga pertumbuhan di atas 5% dengan inflasi yang terkendali. Namun, tanpa dukungan fiskal yang kuat dan konsistensi komunikasi kebijakan, ruang positif dari pemangkasan suku bunga bisa kurang optimal. Dengan demikian, momentum pelonggaran ini harus dilihat bukan sebagai tujuan akhir, melainkan sebagai instrumen strategis untuk memperkuat fondasi ekonomi nasional dalam jangka panjang. []
* Guru Besar Ekonomi, Dekan FEB Universitas YARSI dan Direktur Riset Great Institute






