Mengapa Kita Terus Impor Pangan?
Jika potensi produksi padi pada 2020 dikonversikan menjadi beras untuk konsumsi pangan penduduk, produksi beras pada 2020 diperkirakan sebesar 31,63 juta ton, mengalami kenaikan sebanyak 314,10 ribu ton atau 1,00 persen dibandingkan 2019 yang sebesar 31,31 juta ton.
Oleh : Bambang Sutrisno*)
JERNIH– Heboh impor beras masih terus bergulir di media nasional selama tiga pekan terakhir. Pertukaran wacana silih berganti antara pemerintah yang telah memutuskan untuk melakukan impor, dengan penentang kebijakan impor beras. Banyak yang optimistis ketersediaan bahan pangan utama beras di dalam negeri tahun ini tercukupi. Tetapi Pemerintah bergeming untuk tetap mengimpor.
Sebetulnya, apakah benar produksi padi Indonesia sudah dapat memenuhi kebutuhan nasional ataukah belum? Ini pertanyaan besarnya.
Upaya pemerintahan Presiden Jokowi berusaha keras untuk memenuhi ketersediaan pangan ini lewat berbagai kebijakan, sejak dilantik pada periode pertama tahun 2014. Salah satunya adalah menggiatkan pembangunan waduk dan bendungan di seluruh penjuru tanah air. Meskipun demikian, tampaknya kebijakan ini belum mampu mendongkrak pertumbuhan produksi pangan, khususnya padi.
Produksi pangan stagnan
Produksi padi dari tahun ke tahun menunjukkan angka yang stagnan dibanding kebutuhan. Data BPS menunjukkan produksi padi tahun 2020 diperkirakan sebesar 55,16 juta ton gabah kering giling (GKG), mengalami kenaikan sebanyak 556,51 ribu ton atau 1,02 persen dibandingkan produksi di tahun 2019 yang sebesar 54,60 juta ton GKG.
Jika potensi produksi padi pada 2020 dikonversikan menjadi beras untuk konsumsi pangan penduduk, produksi beras pada 2020 diperkirakan sebesar 31,63 juta ton, mengalami kenaikan sebanyak 314,10 ribu ton atau hanya 1,00 persen dibandingkan 2019 yang sebesar 31,31 juta ton.
Pembangunan waduk diharapkan mampu memperluas areal tanam tanaman pangan dan meningkatkan produksi. Data BPS menunjukkan pada 2020 luas panen padi diperkirakan sebesar 10,79 juta hektare, mengalami kenaikan sebanyak 108,93 ribu hektare atau 1,02 persen dibandingkan luas panen tahun 2019 yang sebesar 10,68 juta hektare. Peningkatan luas areal tanam yang sebanding dengan peningkatan produksi ini menunjukkan tidak banyak perubahan dalam produktifitas lahan pertanian.
Waduk non-pertanian
Sebenarnya pemerintah melalui Kementerian PUPR menargetkan penyelesaian 65 bendungan dalam enam tahun. Ini berarti setidaknya ada 10 bendungan diresmikan per tahun. Hal ini mestinya memberikan optimisme peningkatan produksi yang signifikan.
Bila ditelisik lebih jauh, ternyata banyak waduk dan bendungan yang dibangun bukan dimaksudkan untuk meningkatkan intensitas tanam. Banyak juga bendungan yang dibangun untuk tujuan lain misalnya untuk pengendalian banjir, penyediaan air baku, dan untuk kepentingan pariwisata.
Bendungan Karalloe di Tompobulu, Kabupaten Gowa, Provinsi Sulawesi Selatan, misalnya. Bendungan yang berada di kampung halaman Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo ini dibangun dengan biaya tidak kurang dari Rp 1,2 triliun. Mampu mengairi lahan seluas 7.004 ha. Ini artinya setiap hektare lahan yang terairi, terdapat investasi pemerintah senilai Rp 171 juta. Investasi besar dibandingkan fungsi pertaniannya.
Demikian pula dengan bendungan Sindangheula di Kabupaten Serang Propinsi Banten. Dibangun dengan biaya Rp458 miliar, bendungan ini ternyata dimaksudkan untuk mengendalikan banjir di hilir Sungai Ciujung. Manfaat irigasinya mengairi lahan seluas 1,280 ha. Relatif kecil dibanding luas areal yang belum terjangkau irigasi di Banten.
Lahan pertanian beririgasi
Secara nasional datanya pun demikian. Luas areal sawah beririgasi menyusut 10.000 ha dari 2015 ke 2017. Jumlahnya sekitar 4,75 juta hektare.
Pantas saja bila produktifitas pertanian tidak seperti kemauan Presiden. Mimpinya adalah pertumbuhan produksi pertanian meningkat berkali-kali lipat karena tersedianya bendungan dan irigasi. Namun tidak demikian halnya. Tumbuh dan berproduksinya tanaman digantung-kan kepada musim. Kepada alam yang menurunkan hujan.
Lahan-lahan tadah hujan tidak dapat diharapkan mampu memacu ketersediaan pangan. Lahan-lahan ini hanya memberikan sumbangan kecil kepada ketersediaan pangan dan kesejahteraan petani. Akibatnya, hasilnya sedikit dan petaninya tidak kunjung makmur sejahtera.
Tentu saja di luar contoh di atas, ada bendungan Way Sekampung di Lampung yang mampu mengairi lahan seluas 73.707 ha. Bendungan ini menaikkan intensitas pertanaman menjadi 270 persen atau 2,7 kali dalam setahun. Dibangun dengan biaya Rp 2,7 triliun, Bendungan Way Sekampung mampu menyuplai air baku dengan debit 2,482 liter per detik.
Bendungan yang difungsikan untuk kebutuhan pertanian seperti Bendungan Way Sekampung ini yang diharapkan dapat memacu produksi pertanian nasional. Sementara sebagian besar dari 65 bendungan yang sedang dalam program pemerintahan Presiden Jokowi tidak diperuntukkan untuk kebutuhan pengairan.
Jadi jangan heran apabila diskursus impor beras awet diperbincangkan. Karena Indonesia belum mampu mencapai kedaulatan pangan akibat ketidaktersediaan lahan sawah yang beririgasi yang mampu menghasilkan panen padi maksimal sepanjang tahun. [ ]
*Ketua Kompartemen Pangan DPP HIPPI