Mengasah Akal
Sekolah bisnis–bahkan kalau pun namanya Harvard Business School (HBS), hanya mengajarkan hal-hal yang telah terjadi
Dua orang sahabat, alumni sebuah fakultas ekonomi dan bisnis, bertemu setelah 15 tahun kelulusan mereka. Yang satu dulunya lulus dengan nilai terbaik dan meraih predikat kelulusan cum laude. Yang satunya tak pernah menunjukkan prestasi akademik apa pun, kecuali menjadi si Bengal di angkatan itu.
Si Cum Laude datang sebagai bankir, kepala cabang sebuah bank setelah sebelumnya menjajal menjadi dosen dan akhirnya bosan. Sementara Si Bengal sekarang memiliki usaha sendiri yang berjalan baik, dengan keuntungan per tahun mencapai angka ratusan miliar.
Si Bankir pun bertanya apa rahasia sukses si Bengal yang kini usahawan itu. “Mudah saja,” jawab Si Usahawan. “Saya beli barang seharga Rp 100 ribu, dan menjualnya dengan harga Rp 500 ribu.”
Lihatlah jawaban Si Usahawan tatkala Si Bankir bertanya tentang kiat suksesnya. Pertanyana yang sulit, tentu. Namun akhirnya bisa ia jawab dengan jawaban sederhana namun cerdas. Jawaban yang sebenarnya menggambarkan betapa ia harus selalu berinovasi agar ada alasan kuat untuk memiliki marjin yang cukup—menjual barang dengan harga Rp 100 ribu untuk dibayar orang Rp 500 ribu.
Si Usahawan tahu dari pengalaman, tak mudah–bahkan sebagian besar orang mengatakan tak bisa, inovasi diajarkan. Usaha mengandung kebutuhan untuk selalu dan terus menerus menjajaki sekeliling, menguji setiap sisi lemah untuk mungkin dikuatkan, agar menjadi perkasa dan menjelma sumber profit baru.
Sedangkan setiap orang juga pada akhirnya sadar, sekolah bisnis–bahkan kalau pun namanya Harvard Business School (HBS), hanya mengajarkan hal-hal yang telah terjadi. Mereka memang meriset kasus-kasus bisnis besar yang fenomenal, menyelaraskan dan memasukkannya ke dalam kurikulum. Tetapi itu tetap saja hanyalah hal yang sudah terjadi dan dilakukan pemikir lain.
Sementara, cara berpikir konvensional seperti itu belakangan bahkan dikritik justru bisa menumpulkan inovasi. Apalagi bila setamat kuliah bisnis itu para pelajarnya menganggap proses belajar sudah tuntas dan selesai.
Inovasi barangkali hal yang terlalu abstrak untuk diajarkan. Ada lelucon yang tak semua bisa menganggapnya lucu: bila Thomas Alva Edison belajar ke sekolah bisnis, boleh jadi malam-malam ini kita masih membaca dengan lampu minyak, atau lilin, meski ukurannya lebih besar.
Tentang hal itu, pada era 1980-an lalu sampai-sampai ada buku yang diberi titel “What They Don’t Teach You at Harvard Business School’.
Di kekinian, bahkan University of New South Wales (UNSW) Australia, yang membangun pusat inovasi bernama Michael Crouch Innovation Centre (MCIC), tak sampai berani menjanjikan. Dengan asumsi bisa menyediakan ruang dan atmosfer untuk berinovasi, mereka hanya mampu menyatakan lembaga itu bisa menjadi wadah para creator.
Pada akhirnya memang tak ada yang bisa menggantikan akal, common sense, feeling. Tidak luapan semangat yang dipompakan seorang motivator, tidak buku-buku motivasi setebal bantal, tidak pula gelar sarjana atau profesor. Akallah yang bisa membuat semua itu, karena pada akal itu pula kita yakini inovasi selalu duduk-duduk, bercokol dan kongkow.
Tinggal bagaimana kita mencari cara agar si akal bisa terus dan senantiasa terasah. [DSY—dari catatan tahun 2015]