Mengenang Yudhistira Massardi (1954–2024): Perginya Guru Besar Ilmu Biarin
Saat saya masih calon reporter dan bertanya bagaimana teori menulis liputan jurnalistik yang baik? Jawaban Mas Yudhis sederhana. “Baca aja tulisan Lu setelah gue edit dan muncul di majalah,” katanya. “Nggak perlu pelajari teori jurnalistik. Lu baca aja sebanyak-banyaknya karya sastrawan (Indonesia) yang bagus-bagus.” Itulah gaya Mas Yudhis yang lebih praxis ketimbang teoritis.
Oleh : Akmal Nasery Basral*
JERNIH– …
kamu bilang aku bajingan.
Aku bilang biarin
kamu bilang aku perampok.
Aku bilang biarin
…
kamu bilang hidup ini melelahkan.
Aku bilang biarin.
kamu bilang hidup itu menyakitkan.
(“Biarin”, Yudhistira ANM Massardi, 1974)
1/ Jum’at malam, 24 Maret 1995, sehari sebelum konser Phil Collins di Jakarta untuk pertama kali. Yudhistira Massardi, Redaktur Pelaksana Kompartemen Seni dan Budaya Majalah Berita Mingguan Gatra, memberikan arahan kepada saya, reporter yang akan meliput. Katanya, “Konser besok bisa kelar tengah malam, Mal. Kelewat jauh dari deadline. Susah buat muncul di edisi Senin. Kita baru bisa tampilkan pada edisi pekan depan.”
Saya mafhum. Tenggat Sabtu malam memang khusus untuk Laporan Utama. Untuk rubrik lain seperti liputan musik biasanya pada hari Kamis. Namun saya ambil risiko dengan satu usulan nyeleneh, “Saya tulis malam ini ya, Mas Yudhis? Bahannya dari konser-konsernya sebelum ke Jakarta dengan tambahan kemungkinan suasana konser besok di Ancol. Bagaimana?”
Mas Yudhis menyeringai seakan mendengar usul terkonyol dalam hidupnya. “Lu yakin nggak bakal meleset reportasenya, Mal?” Saya mengangguk. “Saya sudah dapat info song list Phil Collins dari panitia. Juga data teknis sound sytem, lighting, tiket terjual, nama musisi pengiring. Soal reaksi penonton musik ‘kan di mana-mana pasti sama. Nyanyi bareng, jingkrak-jingkrak, jejeritan. Penonton perempuan teriak, “Phil, I love you!” Tinggal saya ramu dan olah saja.”
Seringai Mas Yudhis berubah jadi tawa terkekeh-kekeh. “Ya udah, Lu kerjain sekarang,” katanya. Dua jam kemudian, tulisan tentang konser Phil Collins di Jakarta selesai tanpa saya menonton konser sama sekali! Biarin! Daripada majalah saya menerbitkan ‘liputan basi’ kalau baru dimunculkan dua edisi lagi? Apa kata dunia!
Keesokan malamnya saya berbaur dengan puluhan ribu penonton di Ancol. Awalnya dengan hati ringan karena tak harus membuat liputan. Tulisan sudah selesai. Namun seiring lagu demi lagu tersaji, termasuk melihat langsung interaksi Phil dengan penonton, insting jurnalistik saya terusik. Saya telepon Mas Yudhis. “Mas, tulisan kemarin boleh saya revisi?” Suara Mas Yudhis terdengar di ujung sambungan. “Jam berapa Lu balik ke kantor?” Saya menjawab enteng. “Usai konser.” Mas Yudhis merespons kalem. “Buset, Elu ngerjain gue. Ya udah, gue tunggu.”
Usai konser, agar bisa keluar dari ribuan mobil penonton yang meluberi Ancol merupakan perjuangan tersendiri. Saya baru menjejakkan kaki di Lantai 12 Wisma Kosgoro Thamrin, kantor Gatra, jelang pukul 1 dini hari. Hanya beberapa orang yang terlihat. Mereka para redaktur pelaksana dan anggota redaksi yang sedang mengerjakan Laporan Utama. Saya bongkar tulisan sebelumnya berdasarkan aftertaste konser yang masih kuat melekat di benak. Sekitar pukul 3 tulisan rampung, saya kirimkan ke Mas Yudhis. Beliau periksa sebelum menerus-kan ke redaksi bahasa.
Pukul 03.30 saya sudah berada di dalam mobil Mas Yudhis. Nebeng pulang. Mas Yudhis berkomentar. “Gila Lu, Mal, bikin gue ke kantor tengah malam dan pulang subuh. Untung tulisan Lu bagus, jadi nggak perlu gue edit. Asal jangan sering-sering kayak gini,” katanya tertawa. “Tapi gue salut, semangat Lu bikin tulisan terbaik itu keren. Lu punya bakat sebagai prosais. Nggak pengen nulis novel?” tanyanya. “Belum ada niat, Mas,” jawab saya. “Kayaknya nulis novel susah.”
2/ Itu salah satu kehebatan Mas Yudhis sebagai atasan, seorang mentor. Meski dirinya sudah terkenal sebagai penyair nasional, tampil di pusat-pusat kebuda-yaan terkemuka, dan menerima banyak penghargaan, namun tetap bersahaja dan selalu mendorong para yunior untuk berkembang tanpa memberikan beban penugasan berlebihan. Bahkan Mas Yudhis rela mengorbankan family time di akhir pekan untuk melayani reporter ndableg seperti saya. Padahal sebenarnya beliau bisa bilang, “Pakai saja tulisan yang pertama, nggak apa-apa. Gatra bukan majalah musik seperti Rolling Stone, kok.”
Saat saya masih calon reporter dan bertanya bagaimana teori menulis liputan jurnalistik yang baik? Jawaban Mas Yudhis sederhana. “Baca aja tulisan Lu setelah gue edit dan muncul di majalah,” katanya. “Nggak perlu pelajari teori jurnalistik. Lu baca aja sebanyak-banyaknya karya sastrawan (Indonesia) yang bagus-bagus.” Itulah gaya Mas Yudhis yang lebih praxis ketimbang teoritis.
Peristiwa saya nebeng pulang dari kantor kemudian menjadi tradisi kami berdua. Biasanya Jum’at atau Sabtu tengah malam/dini hari. Kendati liputan-liputan saya sering sudah disetor sejak Kamis, pada Jum’at malam saya gunakan untuk berdiskusi dengan seorang redaktur bahasa, Eddy Soetriyono (wafat 9 Oktober 2021), yang memiliki pengetahuan seni-budaya luas selain dikenal sebagai kritikus dan kurator seni rupa bernas. Itu saya lakukan sembari menunggu Mas Yudhis selesai dengan tugasnya sebagai redaktur pelaksana.
Saat itu, seingat saya mobil Mas Yudhis adalah Suzuki Carry merah hati. Meski rumahnya di Pondok Pekayon, Bekasi, dari Wisma Kosgoro, Thamrin, beliau mengambil rute menuju Semanggi, masuk Jl. Gatot Subroto, lanjut ke Jalan MT Haryono, dan menurunkan saya di ujung Jalan Asembaris Raya, dekat Gedung Indomobil, yang berbatasan dengan aliran Sungai Ciliwung. Dari sana saya lanjutkan dengan ojek pangkalan menuju rumah orang tua di Kebon Baru, Kec. Tebet.
Kebersamaan kami selama sekitar 30 menit di dalam mobil, saya manfaatkan untuk menggali pengetahuan darinya. Mas Yudhis bicara tentang sastrawan Indonesia dan karya-karya mereka, kiprahnya sebagai penulis syair lagu duo Franky & Jane, atau tentang ketiga anaknya: Igadada, Matatiya, dan Kafka Di-kara. Terkadang tema-tema politik yang tabu dibicarakan di pengujung era Orde Baru menjadi topik obrolan kami sepanjang perjalanan.
Mas Yudhis mendorong saya melakukan liputan internasional, di antaranya, Montreux Jazz Festival, Swiss 1996, sekaligus selebrasi 30 tahun festival jazz prestius yang dimulai pada 1966 itu; MTV Music Awards 1996 di Radio City Music Hall, NYC; dan pemakaman Putri Diana Spencer, Inggris, 1997—kelak pemakaman sensasional ini ini menjadi bingkai peristiwa bagi novel saya, “Dilarang Bercanda dengan Kenangan” (2018).
Dalam rapat-rapat redaksi Gatra ketika redaktur pelaksana lainnya sering mengkritisi—bahkan menyatakan keberatan—tentang perlunya liputan interna-sional untuk rubrik musik, Mas Yudhis dengan kalem selalu menyajikan argumen-tasi mengapa ‘majalah politik’ tetap harus menurunkan liputan tentang puncak-puncak dunia seni populer. “Sebab pembaca kita beragam,” katanya. “Mereka bukan hanya mau baca berita politik, tetapi peristiwa-peristiwa lain yang menarik.”
Dalam pandangan mayoritas para redaktur senior saat itu, mungkin saja Mas Yudhis terlihat seperti—mengutip sajaknya “Biarin” yang saya cuplik di awal tulisan ini–seakan-akan “bajingan” atau “perampok” (dalam arti positif), untuk ide-idenya yang memberontak dari pakem konvensional pemilihan topik berita.
3/ Sabtu, 16 Januari 2016–dua hari setelah peristiwa ledakan ‘Bom Sarinah’ yang menggegerkan Indonesia, saya menginisiasi kunjungan ke sekolah Batutis Al-Ilmi, Bekasi, bagi anggota WAG FAMMI (Forum Akselerasi Masyarakat Madani Indonesia).
Sekolah Batutis Al-Ilmi berbasis Metode Sentra, terinspirasi dari konsep Beyond Centers and Circle Time (BCCT) yang dikembangkan pakar pendidikan Pamela Phelps, PhD, di Florida, Amerika Serikat. Metode ini dirancang sebagai non-direct teaching untuk memenuhi kebutuhan tiga jenis main sebagai moda belajar anak usia dini, yaitu main sensorimotor, main pembangunan, dan main peran (Sara Smilansky, 1992, dan Charles H. Wolfgang, 1991). Pemenuhan kebutuhan ketiga jenis main dijalankan secara terpadu dan terukur sesuai dengan tahap perkembangan anak.
Di Indonesia, konsep ini pertama kali diperkenalkan drg. Wismiarti Tamin, pen-diri Yayasan dan Sekolah Al Falah, Jakarta, setelah berkeliling AS, mengunjungi sejumlah pusat pendidikan anak dan bertemu Doktor Phelps pada 1996. Sembilan tahun kemudian, pada September 2005, Mas Yudhis dan istri, Sisca Massardi, mendirikan sekolah Batutis Al-Ilmi dengan mengadopsi Metode Sentra sebagai basis. Sekolah bagi anak-anak kaum duafa di lingkungan mereka itu dijalankan di garasi rumah. Awalnya hanya dari segelintir anak, tetapi terus bertambah sehingga harus dibangun gedung sekolah.
“Batutis singkatan dari baca tulis gratis,” ungkap Mas Yudhis kepada kami yang berkunjung. Di antara hadirin ada mantan Pemimpin Umum Kantor Berita Antara, Dr. Ahmad Mukhlis Yusuf dan Sosiolog UI Dr. Ricardi S. Adnan. “Sedangkan Al-Ilmi berarti ilmu. Jadi sekolah ini membagikan ilmu baca tulis secara gratis,” lanjut Mas Yudhis sebelum memandu kami tur ke sekeliling sekolah dan memper-kenalkan dengan beberapa orang guru dan siswa yang berada di lokasi.
Saya terkesan melihat metamorfosis Mas Yudhis dari seorang seniman, penyair, wartawan, menjadi praktisi-aktivis pendidikan anak yang luar biasa aktif, meski tetap berkarya menciptakan sajak-sajak baru. “Sukses tidaknya bangsa ini di masa depan sangat tergantung pada bagaimana anak-anak menjalani pendidikan mereka di usia dini, Mal,” katanya berpesan.
4/. Selasa malam, 2 April 2024, di tengah suasana i’tikaf Ramadan, sebuah berita sedih dikabarkan Noorca Massardi tentang kepergian selamanya sang saudara kembar, Yudhistira Ardi Noegraha Moelyono Massardi pada pukul 21.12 WIB di RSUD Bekasi. Beberapa tahun belakangan, Mas Yudhis memang bolak-balik ke RS akibat penyakit jantung yang dideritanya. Sebuah akhir kehidupan yang seakan dinubuatkannya 50 tahun silam: … /kamu bilang hidup ini melelahkan/Aku bilang biarin/kamu bilang hidup itu menyakitkan
Mas Yudhis termasuk orang yang sangat gembira saat novel pertama saya Imperia (2005) terbit. Itu persis satu dekade setelah pembicaraan kami di mobilnya usai konser Phil Collins, saat saya didorongnya menulis karya prosa. Meski saat novel itu terbit saya sudah tak lagi bekerja untuk Gatra tetapi (kem-bali) bekerja di Tempo–tempat saya pernah bekerja selama tiga bulan sebelum terjadi pembredelan Juni 1994 oleh rezim Orde Baru.
Ketika kondisi tubuhnya mulai acap digerogoti penyakit, Mas Yudhis masih berkenan membaca draf novel saya Disorder (Bentang Pustaka, 2020), memberikan masukan dan menuliskan testimoni, “Akmal Nasery Basral dengan riset ekstensif bak peneliti dan kemampuan bercerita yang sudah teruji pada novel-novel sebelumnya, kini menyuguhkan kisah pandemic-apocalyptic yang jarang disentuh secara mendalam oleh penulis Indonesia-melalui Disorder. Sebu-ah novel yang sangat kontekstual dan relevan dengan kondisi mutakhir dunia.” Testimoni itu tentu saja mendongkrak rasa percaya diri saya.
Maka, untuk membalas testimoni itu, melalui tulisan ini saya bersaksi bahwa Mas Yudhis adalah salah seorang terbaik yang pernah saya kenal, salah seorang guru terbaik tempat menimba ilmu jurnalistik dan penulisan, salah seorang pendengar terbaik tempat berkeluh kesah (terutama periode 1994–1998, selama saya di Gatra), serta salah seorang aktivis-penggerak pendidikan anak-anak terbaik di republik ini, untuk membentuk anak-anak Indonesia masa depan yang berkarak-ter baik, berbudi unggul, berakhlak mulia, dan berintelektualitas tinggi, yang mampu berkompetisi di tingkat dunia.
Dari Mas Yudhis saya juga belajar tentang “Ilmu Biarin” yang sekilas terdengar serampangan, masa bodoh, sedikit jenaka, namun sejatinya memiliki kedalaman hikmah saujana. “Hidup kita itu akan selalu dikomentarin orang, Mal. Jangankan kita salah, kita benar pun tetap ada yang nggak suka,” ujarnya dalam satu momen ketika saya nebeng mobilnya. “Biarin orang mau bilang apa. Yang penting kita tahu apa yang kita lakukan dan Tuhan Maha Tahu niat kita melakukannya. Selebihnya, biarin!” [ ]
Cibubur, 3 April 2024
*Murid abadi Yudhistira Massardi. Ditulis menjelang pemakaman almarhum di TPU Pedurenan, Bantar Gebang, Bekasi Barat.