Balik ke hubungan Pendeta Abraham Ben Moses dengan ketiga darah dagingnya yang mengancik remaja, tak ada seorang pun yang mengikuti keinginannya meski mereka beberapa kali dipaksa ikut kebaktian di gereja. Morteza, Saddam, dan Khadafi bertahan sebagai Muslim. Panas-dingin hubungan ayah-anak ini belakangan terkuak melalui serangkaian video yang dipublikasikan melalui YouTube dan perang tulisan antara kedua pihak sejak 2010-an.
Oleh : Akmal Nasery Basral*
JERNIH—Melakukan birrul walidain (berbakti kepada orang tua) tak selalu mudah, kadang temukan jalan terjal licin. Sebab, mereka punya perangai dan temperamen layaknya manusia lain.
Ada yang sesabar malaikat, ngemong, pendengar yang baik, penyemangat yang rajin, dan pemaaf atas kelakuan anak yang tergelincir akibat pengaruh adrenalin. Ini orang tua tipe pertama yang diinginkan semua anak di dunia. Ada juga orang tua tipe kedua. Mereka cerewet luar biasa, pemarah, egois, atau pemicu gaduh akibat sering ungkap rahasia keluarga kepada siapa pun yang bisa diajak curhat. Dari tukang sayur sampai kawan mereka sesama peserta senam jantung sehat.
Jika Anda punya orang tua tipe kedua yang membuat kepala selalu cenut-cenut dahsyat dan membuat Anda merasa jadi anak termalang di seantero dunia, sabar dulu Saudara. Bisa jadi pengalaman Anda belum seujung kuku yang dialami tiga bersaudara Morteza, Saddam dan Khadafi dengan ayah mereka Abraham Ben Moses. Bukan, ini bukan kisah folklore Timur Tengah atau hikayat bangsa Semit. Kisah ini terjadi di Indonesia dengan alur lumayan rumit.
Saat Morteza, Saddam dan Khadafi masih anak-anak yang beranjak remaja. Ayah mereka masih bernama Saifuddin Ibrahim, seorang pengajar di Pondok Pesantren Al Zaytun, Indramayu. Alumnus Fakultas Ushuluddin Jurusan Perbandingan Agama, Universitas Muhammadiyah Surakarta berdarah Bima, Nusa Tenggara Barat, itu telah berkhidmat sejak 1999 sebagai ustadz. Dia punya istri bernama Nurhayati yang memberinya tiga anak lelaki: Morteza Muhammad Fikri (Saifuddin selalu memanggil anak pertamanya ini Khomeini), Saddam Husen, dan Muhammad Khadafi.
Satu hari di tahun 2006—pada usia 41 tahun–Saifuddin melepas keyakinan sebagai Muslim, berpindah menjadi pemeluk Kristen. Dia bertekun mempelajari Alkitab hingga menjadi pendeta. Rumah tangganya gonjang-ganjing karena Nurhayati tak mau ikut keyakinan baru sang suami. Kondisi fisik perempuan itu ambruk. Diabetes dan kanker pankreas ikut mencambuk hingga akhir hayatnya beberapa tahun kemudian. Saifuddin, kini sudah menjadi Pendeta Abraham, menikah lagi dengan perempuan Bangka Belitung, seorang Muslimah berdarah Tionghoa-Melayu yang kemudian dikristenkannya dan kini dikenal sebagai Sarah Ayu Ibrahim, yang juga sudah melahirkan tiga orang anak bagi Abraham.
Balik ke hubungan Pendeta Abraham Ben Moses dengan ketiga darah dagingnya yang mengancik remaja, tak ada seorang pun yang mengikuti keinginannya meski mereka beberapa kali dipaksa ikut kebaktian di gereja. Morteza, Saddam, dan Khadafi bertahan sebagai Muslim. Panas-dingin hubungan ayah-anak ini belakangan terkuak melalui serangkaian video yang dipublikasikan melalui YouTube dan perang tulisan antara kedua pihak sejak 2010-an.
Singkat cerita, ketiga anak beranjak dewasa. Saddam sudah menikah dan kini memiliki dua anak pula. Dia dikenal sebagai Ustaz Saddam Husen yang aktif berceramah. Kedua saudaranya, Morteza dan Khadafi, masih lajang meski tak kalah aktif berdakwah. Kualitas komunikasi ketiganya dengan Abraham pun jauh lebih baik dibandingkan dulu. Mereka bisa berkomunikasi layaknya orang dewasa dan tetap memanggil “Abi”–panggilan hormat ketiganya sejak kecil kepada sang ayah.
Kaki waktu terus berpacu memasuki Maret 2022 ketika Pendeta Abraham mengunggah video melalui akunnya yang kini menjadi bola panas. Dia meminta Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas menghapus 300 ayat kitab suci Al Qur’an yang disebutnya bermuatan radikal dan intoleran kepada kaum minoritas. Sebelum dijawab Menteri Qoumas, justru Menko Polhukam Mahfud MD yang merespon trengginas. “Waduh bikin gaduh itu. Bikin banyak orang marah. Saya minta kepolisian segera menyelidiki dan menutup akunnya,” ujar Guru Besar Hukum Tata Negara itu melalui akun YouTube Kemenko Polhukam RI.
Respons mantan ketua Mahkamah Konstitusi tersebut sontak membuat Pendeta Abraham naik pitam. Tahu bahwa Mahfud berdarah Madura, sang pendeta melayangkan tantangan carok, duel khas masyarakat Pulau Garam dengan celurit tajam. “Penelitian yang saya lakukan tak bisa dilawan siapa pun, apalagi oleh Pak Mahfud MD,” ujar Abraham melalui akun YouTube, 16 Maret 2022. “Berani carok dengan saya? Ayo kita carok. Mati, matilah!” tantangnya.
Polisi yang mempelajari video Abraham dengan melibatkan 13 orang saksi—empat di antaranya saksi ahli—sejak Senin, 28 Maret lalu, menetapkan sang pendeta sebagai tersangka. Namun Abraham sudah hengkang dari Indonesia dan terdeteksi di Amerika Serikat. Melihat perkembangan itu, pada hari yang sama Morteza, Saddam, dan Khadafi menyerukan agar ayah mereka menyerahkan diri kepada polisi. Imbauan disampaikan melalui kanal YouTube Ustaz Ipung Atria yang mewawancarai ketiganya.
Dua hari kemudian, Karo Penmas Divisi Humas Polri, Brigjen Ahmad Ramadhan, mengeluarkan ultimatum tanpa kompromi. “Kami pasti akan mengejar tersangka. Kami akan koordinasi langsung dengan FBI.”
Polisi memang tak punya pilihan. Terlepas dari motif agama yang diusung Abraham, ancaman duel carok terhadap pejabat setingkat Menko adalah sebuah agitasi serius yang akan membuat wibawa Pemerintah anjlok jika tidak ditangani cepat. Tantangan yang dilontarkan Abraham terhadap Mahfud sejatinya adalah tamparan telak terhadap wajah negara yang lebih menggemparkan dibandingkan tamparan Will Smith terhadap Chris Rock di panggung Oscar yang mencengangkan.
Persatuan Gereja Indonesia sudah mengeluarkan pernyataan resmi bahwa pernyataan Abraham adalah pendapat pribadi, tak terkait sikap Gereja sama sekali. “Orangnya kan memang suka cari sensasi dengan membuat sesuatu yang kontroversial dan provokatif,” tutur Kepala Humas PGI, Jeirry Sumampouw.
Sembari menunggu perkembangan kerja sama Polri dan FBI, simaklah sebuah video penting yang memperlihatkan pertemuan Saddam dengan ayahnya pada 12 Februari 2022 saat sang pendeta masih di Indonesia. Abraham dan istrinya Sarah menerima Saddam yang ditemani Ustaz Ipung Satria berkunjung ke rumah mereka. Pembicaraan difasilitasi Ustaz Ipung melalui pertanyaan-pertanyaan lembut ramah kepada Abraham dan Saddam, juga Sarah.
Obrolan berlangsung akrab, meski terkadang diselingi nada tinggi Abraham yang tak ragu memotong dan menyemprot komentar Saddam yang tak disukainya. Saddam selalu merespon dengan santun bahkan menjabat tangan ayahnya dengan hangat ketika emosi Abraham meninggi sehingga suasana tegang menjadi cair kembali.
Salah satu pertanyaan menarik yang diajukan Ipung kepada Saddam adalah mengapa dia tetap hormat kepada sang ayah yang pindah agama bahkan menjadi pendeta. Saddam menjawab bahwa dalam ajaran Islam orang tua tetaplah orang tua. Meski berbeda akidah dan perkataannya tak lagi harus dipatuhi, tetapi tetap harus diperlakukan dengan hormat.
Jawaban Saddam sejatinya merujuk kepada ayat suci QS 31: 14-15. Salah satu prinsip parenting terpenting ajaran Islam. Dalam terjemahan bahasa Indonesia ayat itu berbunyi: “Dan Kami perintahkan kepada manusia agar berbuat baik kepada kedua orang tuanya. Ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah dan menyapihnya dalam usia dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada kedua orang tuamu. Hanya kepada Aku kembalimu. Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan Aku dengan sesuatu yang engkau tidak memiliki ilmu tentang itu, maka janganlah engkau menaati keduanya namun tetaplah bergaul dengan keduanya di dunia dengan baik. Ikutilah jalan orang yang kembali pada-Ku. Hanya kepada-Ku tempat kembalimu, maka akan Aku beritahukan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan.”
Kita masih belum tahu akhir kasus Pendeta Abraham ini berdasarkan hukum formal yang berlaku di Indonesia. Namun satu hikmah sudah menjadi buah yang siap dipetik dan dikunyah siapa pun yang sedang berada dalam hubungan runyam dengan orang tua bermasalah. Tetap hormati dan cintai mereka seperti ditunjukkan Saddam kepada Abraham sang ayah.
Namun batasi hormat dan cinta itu agar tak menjadi kepatuhan mutlak tak bersyarat. Ketegasan sikap tetap perlu seperti ditunjukkan Saddam dan kedua saudaranya Morteza dan Khadafi yang meminta ayah mereka menyerahkan diri kepada polisi agar masalah tak berlarut-larut yang akan makin mempersulit Abraham sendiri.
Sampai di sini, apakah Anda masih merasa birrul walidain itu sesuatu yang sulit dan membuat Anda nyaris menyerah dalam berbakti kepada orang tua masing-masing yang sulit dimengerti karena sikap mereka yang membuat kepala Anda hampir meledak?
Jika ya, cobalah tempatkan diri pada posisi Morteza, Saddam dan Khadafi. Boleh jadi semua ‘migren dan vertigo’ yang Anda rasakan selama ini mendadak sirna begitu menyadari problem Anda ternyata tak serumit yang dialami mereka bertiga.
Maka sesulit apapun hubungan Anda dengan orang tua yang mungkin rumit berpilin, bulan Ramadan adalah momen terbaik untuk memperbaiki birrul walidain. Tak bisa lain. [ ]
* Sosiolog, penulis 24 buku. Karya terbarunya “Serangkai Makna di Mihrab Ulama” tentang kisah hidup Prof. Dr. Haji Abdul Malik Karim Amrullah (Buya Hamka) bisa dipesan dari IG @bukurepublika atau www.bukurepublika.id