
Ini menempatkan Lion, meminjam istilah Presiden Prawabo Subianto, pada “serakahnomics”. Lion tidak peduli dengan kepentingan penumpang. Yang penting Lion tidak merugi. Bisa saja Lion merasa “di atas angin”. Soalnya kebutuhan penumpang akan kapal terbang tidak sebanding dengan ketersediaan kapal terbang. Namun, penumpang kecewa.
Oleh : Ana Nadhya Abrar*
JERNIH– Kapal terbang merupakan alat transportasi yang paling cepat mencapai tujuan. Ia menjadi pilihan utama rakyat untuk berpergian jauh ke seluruh wilayah Nusantara. Namun, ia menguras uang rakyat yang tidak sedikit. Konon, harga tiket kapal terbang di Indonesia termahal kedua di dunia.
Tentu saja pemerintah berusaha mencari biang kerok penyebabnya. Pemerintah juga berpikir keras menemukan cara menurunkan harga tiket kapal terbang. Namun, sampai kini usaha itu belum berhasil.
Maka maspakai penerbangan yang menjalani angkutan udara tetap saja untung banyak. Lalu apa saja nama maskapai itu? Cukup banyak jumlahnya. Ada maskapai milik BUMN: Garuda Indonesia, Citilink Indonesia dan Pelita Air. Ada maskapai swasta asing: Air Asia dan Scoot. Ada pula maskapai milik swasta nasional: Trans Nusa, Sriwijaya Group, dan Lion Group.
Di antara semua maskapai penerbangan di atas, Garuda Indonesia sering kali muncul sebagai maskapai yang merugi. Penyebab utamanya, konon karena inefisiensi pemakaian kapal terbang dalam angkutan musim haji. Kalau ini benar, berarti kemampuan manajemen dan kepemimpinan Garuda Indonesia yang payah. Kita pun jadi sedih.
Betapa tidak, Garuda Indonesia punya pengalaman panjang mengelola angutan udara di Indonesia. Ia merupakan perusahaan milik negara yang menggunakan sumber daya ekonomi negara. Ia juga bebas bersinergi dengan maskapai penerbangan asing yang jempolan. Lalu, kapan kesedihan kita tentang kinerja Garuda Indonesia ini akan berakhir?
Entahlah! Yang jelas kesedihan kita tentang kinerja maskapai penerbangan Indonesia tidak berhenti sampai di situ. Kesedihan itu menjalar juga mengikuti kinerja Lion Group. Keberangkatan penumpangnya sering tertunda (delay).
Harus kita akui Lion Group merupakan maskapai penerbangan besar. Suatu saat penulis terdampar di Bandara Kualanamu. Di apron berjejer kapal terbang milik Lion Group: mulai dari Lion, Wings, Super Air Jet, dan Batik. Lion malah terparkir dua kapal terbang. Sementara maskapai lain hanya satu saja: Garuda Indonesia.
Namun, pelayanan Lion Group kepada penumpang tidak seindah yang ditampilkan sebuah maskapai besar. Sering Lion berangkat tidak sesuai jadwal. Penyebabnya selalu itu ke itu saja: karena alasan operasional. Apa maknanya? Ternyata, kapal terbang datang terlambat dari bandara yang dinanti. Kenapa bisa terlambat? Karena menunggu penumpang agak banyak.
Kalau sudah begini, Lion memperlakukan kapal terbang seperti omprengan (angkutan umum yang tidak terstruktur). Ia berangkat suka-suka sopir saja. Kalau penumpangnya banyak, mobilnya berangkat. Kalau sedikit, mobilnya tidak berangkat. Penumpang yang sudah terlanjur berada di atas mobil dipindahkan ke mobil lain). Memang penumpang tetap berangkat. Namun, disertai dengan gerutuan penumpang. Lihatlah, telatnya bisa sejam, dua jam, bahkan 12 jam. Untuk yang terakhir ini, penumpang harus diinapkan semalam oleh Lion sebelum berangkat. Lion bertanggung jawab. Namun, tetap saja menyakitkan hati penumpang.
Lion memang santun. Ia minta maaf kepada penumpang. Ia juga memberikan kompensasi seusai dengan aturan yang berlaku. Namun, penumpang tetap merugi. Kalau misalnya penumpang itu pebisnis, telat satu jam kerugiannya bisa jutaan rupiah. Kalau bukan pebisnis, kerugiannya bisa berupa kerugian etis. Ingkar janji. Tidak peduli waktu.
Ini menempatkan Lion, meminjam istilah Presiden Prawabo Subianto, pada “serakahnomics”. Lion tidak peduli dengan kepentingan penumpang. Yang penting Lion tidak merugi. Bisa saja Lion merasa “di atas angin”. Soalnya kebutuhan penumpang akan kapal terbang tidak sebanding dengan ketersediaan kapal terbang. Namun, penumpang kecewa. Lalu muncul ungkapan: Bagi Lion, penumpang dianggap manusia sebelum membeli tiket kapal terbang. Setelah tiket terjual, Lion menganggap penumpang sebagai barang.
Ungkapan ini terlihat berupa sindiran. Awalnya ia bisa berupa pelampiasan perasaan saja. Namun, lama-kelamaan ia menjadi protes dari pihak yang tidak berdaya. Kalau sudah begini, Lion bisa dianggap tidak menghargai kemanusiaan. Soalnya, penumpang sudah menyerahkan “nasib leberangkatannya” kepada Lion. Namun, Lion berbuat sesukanya saja.
Maka Lion Group perlu menghargai kemanusiaan penumpang. Balas pilihan penumpang sudah terbang dengan Lion dengan sopan. Jangan hanya menyampaikan “terima kasih sudah terbang bersama Lion” hanya sebagai formalitas. Bayangkanlah kerugian yang akan dialami penumpang kalau keberangkatannya tertunda.
Kalau sudah begini, tentu rakyat akan mencintai Lion. Rakyat senang, Lion pun senang. Keduanya sama-sama untung. Terjadilah win-win solution. Indah bukan? []
*Gurubesar Komunikasi Universitas Gadjah Mada