Menghina Pasangan
Suami-istri bisa bermasalah karena banyak hal. Berat badan, bau badan, kondisi fisik, kebiasaan sepele, seks, keuangan, beda pendapat, penghasilan, hukum, dan sebagainya. Ironisnya, tak ada jaminan konflik suami-istri bisa dibicarakan dan diselesaikan dengan baik sampai beres.
Oleh: Anwar Holid
Di ruang konsultasi, ada istri yang curhat dia sekarang sering dirundung suaminya karena terlalu gemuk. Sejak umur 40 tahun, berat badannya terus bertambah 20 kg dari berat ideal.
Hinaan suaminya pasti bikin sakit hati. Meski si istri sudah berkali-kali mohon agar menghentikan rundungan itu, suaminya tak peduli. Di sisi lain si istri paham bahwa sang suami jujur dengan perasaannya bahwa dia tak suka dirinya jadi gemuk. Si istri juga tak suka dirinya gemuk, cuma belum bisa mengatasi masalah berat badannya itu… eh malah ditambah tekanan dari orang yang dia sayangi.
Sayang, menurutku solusi psikolog atas curhat itu sangat klise: mendorong agar si istri bicara tegas betapa dia tak suka dirundung suaminya, bersabar, jangan membalas hinaan, juga memaafkan kelakuan buruk suaminya.
Mencolong dengar curhat begitu aku membatin: kenapa suami merundung istrinya ya? Kenapa dia justru tidak menghadapi masalah berat badan istrinya bersama-sama? Bukankah pasangan itu harus barengan menghadapi masalah? Kenapa dia menyerahkan urusan berat badan cuma pada istrinya?? Siapa tahu suami juga berperan membuat berat badan istri jadi tak ideal.
Apa dia cuma tak suka pada berat badan istrinya dan benar-benar perhatian ingin agar kembali bisa enak menikmati badannya?
Atau… sebenarnya dia sudah tak sayang pada istrinya, ingin cerai, sampai menjadikan kondisi badan istri sebagai modus dan sasaran hinaan? Apa rasa sayang itu sudah aus hingga ia tak segan menyakiti pasangan persis di titik lemahnya?
Suami-istri bisa bermasalah karena banyak hal. Berat badan, bau badan, kondisi fisik, kebiasaan sepele, seks, keuangan, beda pendapat, penghasilan, hukum, dan sebagainya. Ironisnya, tak ada jaminan konflik suami-istri bisa dibicarakan dan diselesaikan dengan baik sampai beres. Tak jarang konflik berlangsung buruk, marah-marahan, mudah rungsing, saling hina, disertai kekerasan, bahkan berakhir jadi kasus kriminalitas dan pembunuhan. Konflik bisa bikin trauma bagi pelaku dan orang-orang sekitarnya.
Konflik suami-istri — yang awalnya saling mencintai — membuktikan bahwa orang dewasa (orang tua) bisa sangat kacau dalam menghadapi masalah. Yang parah, alih-alih selesai, masalah malah bisa tambah buruk dan bisa berakibat fatal — entah cerai, kelahi, dendam, sakit hati, saling meracuni, dan menularkannya ke orang terdekat, biasanya anak dan saudara — untuk mendapatkan dukungan.
Konflik suami-istri menunjukkan ternyata masalah bisa tak selesai cuma dengan mengandalkan cinta, rasa sayang, atau maklum pada pasangan. Mentang-mentang sayang, masalah tak otomatis jadi terasa gampang. Bukankah idealnya justru karena sayang mestinya masalah jadi mudah hilang?
Aku juga tak tahu di mana rasa sayang bersembunyi ketika masalah memuncak dan justru butuh hadir di saat kritis. Jika gagal mengatasi konflik, pasangan bisa kehilangan kepercayaan, rasa toleran, memendam kesal, menumpuk jadi benci (karena merasa diabaikan), dan akhirnya bubar. Mungkin suami-istri harus menyediakan rasa maklum dan sayang seluas lautan, ditambah bumbu romantika, seks, dan kesenangan bersama, biar tiap kali masalah muncul ia bisa langsung diguyur oleh sayang dan maklum yang lebih besar. [ ]
Anwar Holid, editor dan penulis, tinggal di Bandung. Blog: halamanganjil.blogspot.com. Twitter: @nwrhld. IG: @anwarholid.