Menikmati Sakit
Aku kuatir jadi orang menyebalkan saat sakit. Aku yakin perawat, dokter, rumah sakit, BPJS, juga satpam rumah sakit sudah melakukan hal sewajarnya untuk membantu kesembuhan.
Oleh : Anwar Holid
Tahun lalu aku (menderita) diare parah. Setelah masuk IGD, aku ditempatkan di ranjang sebelah seorang bapak yang sakit lebih parah. Beliau menderita komplikasi penyakit.
Dia kencing pakai selang dan buang air besar pakai pispot. Lantai di bawah ranjangnya selalu ada ceceran darah. Bapak ini hanya berbaring, mengeluh, sering mengerang minta tolong atau perhatian ke penunggunya. Banyak yang dia keluhkan, terutama rasa sakitnya. Bentar-bentar dia minta anaknya membantu membereskan sesuatu atau apa saja yang salah pada dirinya.
Anaknya gampang tertidur, jadi susah dibangunkan…. dipanggil-panggil tak menyahut atau lekas bangun, sementara erangan si bapak tambah nyaring dan mengenaskan. Tiap anaknya susah dibangunkan dia merepet soal sakitnya, betapa dia dulu sudah mengurus dan membesarkan anak-anak… namun giliran dirinya butuh, anaknya malah malas-malasan menolongnya.
Aku dengarkan tiap kali si bapak mengerang atau memanggil butuh sesuatu. Kalau ke kamar mandi sambil bawa infus, aku lirik beliau. Dalam hati aku menyimpulkan,”Bapak ini jauh lebih parah dari sakitku.”
Aku berusaha cepat pulih, menikmati istirahat dan perawatan, menghabiskan diet, obat, dan infus. Aku menikmati kesendirian, melamun banyak hal… membayangkan hal-hal menyenangkan.
Tiap kali mendengar perepetan si bapak, aku membatin atas perbuatan yang pernah aku lakukan pada anak-anak. Apa aku tipe orang tua yang menuntut balas jasa pada anak? Aku juga pernah berbuat kasar, entah menyakiti badan dan hati anak-anak — meskipun alasannya demi kebaikan atau pendidikan. Mungkin banyak perbuatanku menyebalkan bagi anak-anak. Contoh, kepo soal mereka. Tentu saja aku kepo, persis karena mereka anak-anakku. Aku ingin memastikan mereka seperti apa.
Yang sering bapak ini minta ialah dia ingin anaknya menghubungi saudara atau teman agar menjenguknya. Anaknya ogah-ogahan tiap kali menelepon, memberi tahu ayahnya sakit parah dan mohon agar mereka membezuk. Rupanya dia tak kenal atau tak akrab dengan orang yang dihubunginya. “Kenapa si bapak ingin dijenguk banyak orang?”, batinku. Apa sakitnya tak tertanggungkan? Apa itu isyarat menjelang akhir hayatnya? Apa dia ingin membagi rasa sakit pada orang terdekatnya? Apa dia butuh energi positif dan penghiburan dari pembezuknya?
Di sebelahnya aku ‘menikmati’ rasa sakit sendirian. Aku cukup yakin bisa menghadapi rasa sakit sendirian. Sakit itu bagian dari hidup, dan jika kita bisa mengalahkannya, insya Allah sembuh.
Aku kuatir jadi orang menyebalkan saat sakit. Aku yakin perawat, dokter, rumah sakit, BPJS, juga satpam rumah sakit sudah melakukan hal sewajarnya untuk membantu kesembuhan. Makanya aku takjub ketika dijenguk teman gowes dan menerima dukungan dari mereka.
Sakit membuat kita tak berdaya, butuh pertolongan orang lain. Orang-orang baik dan menyayangi kita pasti langsung tergerak dan kuatir atas diri kita, tak perlu lagi dibebani rengekan mengenaskan atau menyebalkan. Kata teman gowesku cara orang menghadapi sakit memang beda-beda. Ada yang merengek, meratap, meraung, diam menahan, coba mengembalikannya ke Tuhan. Intinya pasien ingin mendapat kekuatan menghadapinya.
Setelah tiga hari dirawat, aku boleh pulang. Aku semangat. Bapak itu masih rutin dikunjungi perawat dan dokter. Mereka terdengar jengkel pada si bapak karena banyak menyisakan makanan dan obat yang mestinya jangan telat dihabiskan. Aku masih sulit melupakan beliau, meski beberapa hari setelah pulang dari rumah sakit aku ikut gowes bareng kawan-kawan ke Gunung Patuha – Kawah Putih.[ ]
Anwar Holid, editor dan penulis, tinggal di Bandung. Blog:hala-manganjil.blogspot.com. Twitter: @nwrhld. IG: @anwarholid.