Solilokui

Menjaga Keasrian Sungai Cikamiri

Seorang sastrawan Sunda terkenal, Wahyu Wibisana (1935-2014), mengabadikan keindahan Cikamiri dalam puisinya “Kalangkang di Cikamiri”. Kemudian digubah menjadi “kawih” oleh maestro karawitan Sunda, Mang Koko Koswara (1917-1987).

Oleh   : Usep Romli H.M.

Sungai Cikamiri, berhulu di Puncak Cae, sebuah hutan tutupan antara Gunung Kamojang dan Gunung Papandayan. Mengalir melewati beberapa desa di Kecamatan Samarang dan Kecamatan Pasirwangi, Kabupaten Garut.

Usep Romli HM

Sungai cantik yang bermuara ke Sungai Cimanuk itu menjadi batas alam wilayah Kecamatan Samarang dan Kecamatan Pasirwangi. Berada dalam lintasan menuju obyek wisata Darajat (Kecamatan Pasirwangi) dan Kamojang (Kecamatan Samarang).

Di beberapa bagian, bantaran Sungai Cikamiri datar, diteduhi pohonan rindang. Sehingga menjadi tujuan wisata. Baik wisatawan lokal setempat, maupun wisatawan luar yang menuju atau pulang dari Darajat dan Kamojang. Mereka sering memanfaatkan bantaran yang  teduh rindang itu untuk menikmati keasrian Cikamiri. Karena relatif masih bebas limbah, kecuali erosi tanah di bagian hulu, air  Sungai Cikamiri yang mengalir tenang, tampak jernih.

Seorang sastrawan Sunda terkenal, Wahyu Wibisana (1935-2014), mengabadikan keindahan Cikamiri dalam puisinya “Kalangkang di Cikamiri”. Kemudian digubah menjadi “kawih” oleh maestro karawitan Sunda, Mang Koko Koswara (1917-1987). Perpaduan harmonis syair dan lagu tersebut hingga kini dapat terus dinikmati melalui pita kaset atau cakram padat. Dinyanyikan berkesinambungan oleh para juru kawih Sunda terkenal dari generasi ke generasi.

Tapi sayang,  hulu Sungai Cikamiri, sudah menuju ambang kepunahan.  Kerusakan akibat alih fungsi lahan secara liar dan ilegal, dari hutan tutupan menjadi lahan tanaman jangka pendek, terutama sayur mayur, membuat huluwotan Cikamiri nyaris lenyap. Disertai erosi di sepanjang alirannya.

Bukti dari kerusakan tersebut, tampak Rabu dinihari, 20 September 2016. Tumpahan air hujan dari Gunung Papandayan dan Kamojang, masuk ke Cikamiri. Menjadi air bah menggila. Menambah tinggi dan deras aliran Sungai Cimanuk yang tak mampu menerima air bah Cikamiri beserta 38 sungai lain di bagian hulu, yang sama-sama bermuara ke Sungai Cimanuk. Akibatnya, 40 jiwa melayang, 19 hilang terbawa hanyut. Merendam ratusan rumah. Termasuk RSUD Dr.Slamet yang terletak persis di pertemuan Sungai Cikamiri dan Sungai Cimanuk.

“Amuk Cimanuk” yang bersumber  dari sungai-sungai lokal itu, menjadi  bencana nasional. Presiden Jokowidodo bersama beberapa menteri, sempat sengaja datang ke Garut. Menengok dampak bencana “Amuk Cimanuk” yang edan-edanan itu.

Amarah Sungai Cikamiri, juga Sungai Cimanuk, sudah mulai mereda. Namun penduduk sekitar, masih trauma. Takut muncul lagi “caah dengdeng” (banjir bandang) seperti 2016 lalu. “Caah dengdeng” yang timbul akibat kehancuran terus menerus di hulu sungai. Areal “huluwotan” yang seharusnya tertutup hutan lebat, malah menjadi ladang terbuka.

Kesadaran masyarakat setempat yang telah  merasakan dampak banjir bandang Sungai Cikamiri dan 38 anak Sungai Cimanuk, untuk menata lingkungan hulu sungai, sangat diharapkan. Sehingga kondisi Sungai Cikamiri segera pulih sediakala. Agar  keindahan dan keromantisannya sebagaimana dilukiskan Wahyu Wibisana dalam “Kalangkang di Cikamiri” tidak akan sirna.  Sungai Cikamiri akan tetap asri dan cantik, menjadi ikon wisata lokal yang mendukung kepopuleran  wisata Darajat dan Kamojang, yang sudah menginternasional. [  ]

Check Also
Close
Back to top button