Solilokui

Menjaga Kedaulatan di Era Kolonialisme Digital: Tantangan Indonesia di Tengah Dominasi OTT Asing

Ledakan ekonomi digital Indonesia melahirkan paradoks: di saat nilai transaksi daring terus menanjak, kendali atas data dan infrastruktur justru kian dikuasai oleh pihak asing. Fenomena “OTT free-riding” menjadikan perusahaan global seperti Google, Meta, dan TikTok meraup keuntungan berlipat dari jaringan lokal tanpa kontribusi sepadan.

JERNIH – Di suatu sore, seorang ibu menutup aplikasi belanja di ponselnya lalu bertanya, “Data saya ke mana setelah saya klik ‘bayar’?” Pertanyaan sederhana itu menyentuh inti persoalan: ketika ekonomi digital tumbuh pesat, siapa yang memegang kendali atas data—sumber nilai baru—dari jutaan warga negara?

Indonesia berada di puncak gelombang pertumbuhan digital Asia Tenggara. Laporan e-Conomy SEA 2024 menyatakan bahwa ekonomi digital Indonesia diproyeksikan mencapai nilai GMV yang sangat besar—memperteguh posisi negara ini sebagai pasar digital terbesar di kawasan.

Di level penggunaan, penetrasi digital dan media sosial juga tinggi: laporan DataReportal/Digital 2024 mencatat porsi pengguna media sosial dan pengguna internet yang signifikan di Indonesia—menandakan pasar yang luas bagi platform digital global.

Namun, pertumbuhan ini terjadi di bawah arsitektur di mana platform utama, layanan OTT, dan infrastruktur cloud sering kali dikuasai oleh perusahaan asing—YouTube, Netflix, Meta, TikTok, Google di sisi konten dan iklan; AWS, Microsoft Azure, GCP di sisi infrastruktur cloud; dan berbagai pemain e-commerce regional/luar negeri yang menguasai lalu lintas serta transaksi digital. Dominasi pelaku global ini tidak sekadar soal merek: mereka menguasai algoritma distribusi, pangkalan data pengguna, dan—paling penting—arus pendapatan iklan digital yang besar.

Pengaruh sebaran dan jangkauan perusahaan asing lewat platform digital ini bahkan sudah lama mengganggu cashflow dan keuntungan pemilik jalur jaringan digital itu sendiri, yakni operator telekomunikasi lokal. Akibatnya menimbulkan “iri” pengelola telekomunikasi kepada OTT (over the top).

BACA JUGA: Think Tank sebagai Ventilasi Ide: Peran GREAT Institute untuk Generasi Milenial dan Z

Bayangkan saja, OTT hanya menggunakan infrastruktur telko tanpa membayar sepadan, tetapi profit marginnya 3–5 kali lipat lebih tinggi. Sedangkan telko menanggung beban biaya investasi dan operasional terbesar, namun margin laba sangat tipis. Setiap gigabyte yang lewat di jaringan Telkomsel, Indosat, atau XLSMART membuat YouTube atau TikTok lebih kaya, sementara operator harus membayar listrik, lisensi, dan perawatan menara untuk menyalurkan data itu.  Belum lagi, OTT mendapatkan data sebagaimana operator. Ibarat sekali dayung tiga atau empat pulau terlampaui.

Fenomena ini disebut “OTT free-riding” — platform asing menumpang jaringan lokal tanpa kontribusi proporsional. Telko membangun highway, OTT memungut toll.

Mengapa berbicara data itu terkait perkara kedaulatan?

Pertanyaan ini selalu mengemuka di balik beroperasinya berbagai layanan aplikasi maupun konten digital yang menyasar masyarakat Indonesia sebagai pemakai atau konsumen. Begitu relanya masyarakat menyetorkan datanya –meski hanya nomor ponsel- kepada pemilik produk tersebut yang notabene perusahaan luar negeri.

Data bukan hanya angka — ia adalah modal ekonomi, basis pengambilan keputusan (algoritma), dan instrumen geopolitik. Ketika profil perilaku, preferensi, lokasi, dan transaksi warga tersimpan di server dan model milik pihak asing, negara kehilangan kemampuan untuk mengawasi penggunaan data untuk tujuan ekonomi dan keamanan (mis. profiling politik, manipulasi pasar). Kemudian, mereka dengan gampang memanen nilai tambah dari data (mis. pengembangan AI lokal, riset kesehatan, optimasi transportasi). Dengan kata lain pihak asing seakan dengan mudah memantau seluruh peri kehidupan privasi warga Indonesia.

Itu sebabnya konsep kedaulatan data (data sovereignty) kini menjadi isu strategis: negara berhak menentukan di mana data tersimpan, siapa yang boleh mengaksesnya, dan bagaimana data lintas-batas diatur.

Dampak dari penguasaan data dari pelaku ekonomi digital asing tersebut tidak saja terjadi aliran nilai keluar , namun pula menghambat pembangunan kapasitas lokal. Terjadi outflow devisa digital, dengan indikasi belanja iklan digital dan komisi platform sering mengalir ke luar negeri, mengurangi potensi pendapatan domestik. Laporan industri menunjukkan nilai pasar iklan digital Indonesia yang besar—sejumlah besar belanja iklan mengalir ke platform global.

Persoalan tersebut membuat kesenjangan ekosistem startup. Startup lokal sering kesulitan bersaing dengan jaringan, modal, dan data yang dimiliki pemain global. Begitu pula pada akhirnya terjadi ketergantungan pada teknologi asing untuk AI, layanan cloud, dan platform distribusi konten mengekang kapasitas inovasi nasional.

BACA JUGA: GREAT Institute Bahas Prabowonomics di Tengah Ancaman Perang Global

Indonesia sebenarnya telah mengesahkan Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi (UU No. 27/2022) yang mulai berlaku sejak 17 Oktober 2022—sebuah langkah hukum penting untuk memberi kerangka pengaturan pengolahan data pribadi. UU ini menegaskan tanggung jawab pengendali dan pemroses data serta memberikan hak-hak bagi subjek data.

Namun hukum tanpa kapasitas penegakan dan ekosistem alternatif (infrastruktur lokal, penyedia layanan lokal yang kompetitif, dan literasi publik) hanya menyelesaikan sebagian masalah. Banyak perusahaan asing tetap mengelola infrastruktur inti (cloud) dan ekosistem distribusi konten, sehingga kewenangan hukum domestik bertemu kendala teknis dan ekonomi ketika data bersifat lintas-batas dan tunduk pada yurisdiksi lain. Dominasi penyedia cloud global juga memperlihatkan bahwa kontrol infrastruktur adalah ujung tombak kedaulatan digital.

Dulu dikenal teori ketergantungan (dependency theory) yang kini telah berubah menjadi bentuk baru bernama digital colonialism (kolonialisme digital). Nick Couldry & Ulises A. Mejias, melalui buku “The Costs of Connection: How Data Is Colonizing Human Life and Appropriating It for Capitalism” (2019) banyak mengulas tentang konsep kolonialisme digital. Pada intinya kolonialisme kini tidak lagi berbentuk penguasaan teritorial, melainkan penguasaan data, infrastruktur, dan algoritma.

Perusahaan seperti Google, Meta, Amazon, Apple, dan Microsoft (sering disebut “Big Tech”) menguasai data pengguna, layanan digital, serta arsitektur komunikasi global. Mereka bertindak seperti kekuatan kolonial modern: mengumpulkan “sumber daya baru” berupa data dari miliaran pengguna di seluruh dunia.

Data menjadi komoditas global. Data pribadi dan perilaku pengguna menjadi raw material yang diekstraksi, diolah oleh AI, dan dijadikan basis keuntungan ekonomi. Negara berkembang menjadi “data mine” — sumber bahan mentah digital — sementara nilai tambahnya dihasilkan di pusat (Amerika Serikat, Eropa, Tiongkok).

Konsep digital colonialism juga mengaitkan perihal ketimpangan infrastruktur. Layanan cloud, sistem operasi, media sosial, hingga mesin pencari dikuasai oleh pemain asing. Sementara negara-negara berkembang kehilangan kemampuan untuk mengatur arus data lintas batas dan menentukan nasib ekonominya sendiri.

Lebih jauh dari itu semua, platform global juga mengontrol distribusi informasi, opini publik, bahkan budaya populer — menciptakan soft power yang kuat. Dan, algoritma mempengaruhi cara berpikir masyarakat, memperkuat ketergantungan digital yang bersifat sosial dan kognitif.

Mencermati situasi seperti di atas, Indonesia membutuhkan meja diskusi yang mendudukkan para pemikir, terutama dari kalangan non-pemerintah dan non-swasta, dalam hal ini dapat memberdayakan institusi pemikir seperti GREAT Institute.

GREAT Institute dapat mengambil peran transformatif dengan pendekatan berbasis bukti dan kolaboratif. Peran tersebut dapat dimulai dengan melakukan pengukuran dan transparansi dalam wujud Digital Sovereignty Index (DSI). DSI mulai populer dan sudah dipakai di beberapa negara atau organisasi sebagai alat ukur untuk mengetahui seberapa besar suatu negara/on-going komunitas mengendalikan infrastrukturnya sendiri, penggunaan perangkat lunak terbuka (open-source), serta sejauh mana ketergantungan pada pihak asing dalam teknologi digital. Tujuannya untuk mengembangkan indeks kedaulatan digital Indonesia (indikator: proporsi data disimpan di lokal, pangsa pasar cloud lokal, persentase belanja iklan lokal vs asing, kapasitas penyedia layanan lokal, kesiapan regulasi). Indeks ini memberi baseline untuk kebijakan dan pemantauan.

Lembaga ini juga dapat melakukan riset mengenai arus nilai (ad spend), praktik privasi platform, dan analisis risiko geopolitik untuk memberi dasar advokasi kebijakan yang kuat. Atau paling tidak memberikan referensi audit nasional terhadap layanan kritikal (OTT, pembayaran digital, cloud untuk sektor publik, e-commerce) untuk mengidentifikasi titik kerentanan—mis. data sensitif yang tersimpan di luar negeri atau sistem pemerintah yang bergantung pada layanan asing.

Lewat dialektika yang menyuburi dinamika GREAT Institute boleh pula memberikan saran untuk kebijakan di pemerintah. Mulai soal regulasi teknis yaitu standar interoperabilitas, kewajiban portabilitas data, pengaturan enkripsi dan akses pemerintah yang terukur, di mana teribat di dalamnya pakar dan akademis. Bahkan mengusulan pemberian insentif ekonomi berupa subsidi atau insentif pajak untuk pusat data lokal, skema pembiayaan untuk cloud sovereign lokal, program komersialisasi riset AI lokal. Juga mengusulkan terjadinya perjanjian lintas batas, perjanjian data transfer dengan klausul perlindungan dan audit.(*)

BACA JUGA: Think Tank dan Lunturnya Demokrasi: GREAT Institute sebagai Benteng Akal Sehat

Back to top button