Mungkin saya terlalu berbelit—dan artinya jauh kurang cerdas dibanding kawan saya itu. Namun ujungnya saya ingin mengatakan, berbahagialah Bank Muamalat bila kemudian lembaga keuangan itu kini berada dalam dekapan budaya saling percaya yang telah tumbuh di antara IsDB dan BPKH. Merujuk keyakinan Fukuyama, masa depan cerahlah yang tengah Bank Muamalat songsong.
Oleh : Darmawan Sepriyossa
JERNIH—Akhir pekan lalu saya kedatangan seorang teman lama, seorang cerdas, yang hingga kini pun otaknya ternyata masih setajam pisau silet. Bulu di kepalanya boleh saja kian baur dengan warna abu-abu, tapi isi benaknya tetap seperti waktu saya percaya buta dan meniru hasil hitungan kalkulusnya saat ulangan di SMA, dulu.
Teman saya itu bukan jenis orang yang gandrung mengutip untuk disebut pintar. Tidak. Ia memiliki ciri paling baku dari kecerdasan: mampu menyederhanakan isu rumit, alih-alih memperumit masalah sepele. Persis bentakan dua orang super pintar, Albert Einstein dan Richard Feynman, yang kira-kira,”Jika Kau tidak mampu menjelaskan gagasanmu kepada anak SD, artinya Kau bahkan belum paham idemu sendiri!”
Saat obrolan kami yang tanpa sesapan kopi itu entah mengapa menyoal berita terakhir soal Bank Muamalat dan Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH), ia menyodorkan logika sederhana.
“Apa bedanya dengan orang kaya, sebutlah Wan Abud, yang ingin menghibahkan hartanya berupa gedung kepada orang lokal, Haji Soleh?” kata dia. “Belum lagi Wan Abud yang memperoleh gedung itu dengan cara membeli, kemudian tahu bahwa gedung itu awalnya dibangun dengan urunan orang-orang ikhlas yang mengejar pahala. Nah, ada yang salah dengan niat baik Wan Abud?”
Saya tak membantah. Selain saya bukan jenis orang yang senang berbantahan, apalagi berujung melaporkannya ke polisi manakala terpojok, logika yang ia sodorkan pun masuk akal.
Bukankah kita pun menganggap wajar saja manakala seorang super kaya, Bill Gates, hingga tahun 2018 saja dengan “woles” telah menyumbangkan dana hingga sebesar Rp 545 triliun? Itu yang dicatat Forbes, belum lagi ‘recehan’ yang tak mustahil ia keluarkan tanpa pencatatan. Di saat dunia dicekam pandemi COVID-19, Bill kembali mengucurkan dana lebih dari Rp 3 triliun untuk membantu dunia keluar dari pandemi.
Dan sepanjang pengetahuan, belum ada hasil survey yang menegaskan korelasi erat antara ras dengan kedermawanan. Artinya, bila Islamic Development Bank (IsDB) dianggap mewakili satu ras atau etnis tertentu di dunia, tak ada kendala yang menghambat peluang lembaga itu menghibahkan hartanya kepada pihak lain. Urusannya, kalau mengutip sosiolog terkemuka AS, Francis Fukuyama, semata ada atau tidaknya trust culture (budaya saling percaya). Bila waktu kemudian menegaskan bahwa hibah itu terjadi, artinya ada trust yang kuat dari IsDB kepada penerima hibah, BPKH.
Tak sekadar saling percaya, Fukuyama bahkan yakin, budaya trust merupakan sebuah modal sosial yang menjadi elemen mendasar alasan kemajuan sebuah bangsa, sebagaimana ia tulis dalam bukunya, “Trust: The Social Virtues and the Creation of Prosperity” (1995).
Ia berpendapat, kemakmuran ekonomi dan kemajuan politik yang awet tidak dapat dicapai dengan hanya mengandalkan melimpahnya sumber daya alam, bagusnya kualitas sumber daya manusia, atau upaya pelembagaan ekonomi, politik, dan hukum semata. Fukuyama meyakini, modal sosial yang bertumpu pada “community base on trust culture” inilah yang telah menggerakkan operasi rasional dalam bidang ekonomi, politik, dan hukum. Trust society menciptakan jaringan kerja sama yang saling menguntungkan di antara entitas yang saling berinteraksi. Trust society pula yang menyebabkan panggung politik menjadi demokratis dan produktif, selain membuat masyarakat menghindari perilaku suap-menyuap dalam persoalan hukum, sebagaimana terjadi di negara-negara dekaden.
Mungkin saya terlalu berbelit—dan artinya jauh kurang cerdas dibanding kawan saya itu. Namun ujungnya saya ingin mengatakan, berbahagialah Bank Muamalat bila kemudian lembaga keuangan itu kini berada dalam dekapan budaya saling percaya yang telah tumbuh di antara IsDB dan BPKH. Merujuk keyakinan Fukuyama, masa depan cerahlah yang tengah Bank Muamalat songsong.
Barangkali pula, di bawah kendali BPKH, Bank Muamalat bisa lebih memerankan tugas sebagai bank yang proaktif mengembangkan kesejahteraan umum, baik melalui penghimpunan dana masyarakat (funding), maupun dalam menyalurkannya kembali kepada masyarakat dalam bentuk pembiayaan (lending), demi bergeraknya perekonomian. Sebab bukankah ada pula fungsi bank yang lain, yakni sebagai agent of trust, agent of equity, dan agent of development.
Apalagi ada bukti yang tak bisa kita nafikan. Muamalat adalah bank syariah pertama di Indonesia, yang terbangun seiring harapan masyarakat Indonesia untuk terbentuknya bank tanpa bunga, yang saat itu dianggap ribawi. Sebagian penyumbang modalnya adalah para jamaah haji, selain para pegawai negeri sipil (PNS atau ASN saat ini), mahasiswa, pemuka agama dan lain-lain, yang hingga kini mungkin tak berharap uang penyertaan modal mereka kembali. Sementara kita tahu, keberadaan BPKH tak mungkin tidak seiring dengan eksistensi ‘haji’ dan ‘jamaah haji’. Kelahiran Muamalat persis dengan kelahiran sebuah koran yang dicitrakan sebagai media massa Muslim, yang saat itu dimodali dana yang terkumpul dari sekian banyak masyarakat kecil, terutama warga Jawa Barat. Hingga kini, mereka tak pernah mempertanyakan dana yang telah mereka berikan.
Mungkin bank ini belakangan sempat berjalan terhuyung, bahkan terseok-seok. Namun ada fakta yang tak terbantahkan, Muamalat adalah bank swasta yang mampu bertahan saat dunia perbankan Indonesia dihantam badai krisis moneter berkepanjangan. Sementara kita tahu, sekian banyak bank konvensional terjerat utang dan menjadi pesakitan di Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN); dengan ujung yang masih menyisakan masalah hingga saat ini.
“Ketika Indonesia mengalami krisis moneter enam tahun kemudian, Bank Muamalat bertahan lebih baik dibandingkan bank-bank umum, karena bank ini tidak terikat dengan komitmen finansial yang membangkrutkan hampir seluruh sektor bisnis modern Indonesia,” tulis Merle Calvin Ricklefs dalam “Sejarah Indonesia Modern 1200–2008”.
Satu hal yang saya lihat belum menggema di masyarakat berkaitan dengan ‘kembalinya Bank Muamalat ke pangkuan NKRI’ saat ini: tak ada tempik sorak yang riuh, yang penuh semangat dalam keriangan agung. Perasaan bangga akan kembalinya milik kita itu, entah mengapa, belum mengemuka dan menggumpal padat menjadi perasaan bersama sebagai bangsa.
Tampaknya akan lain halnya bila yang kembali itu adalah kepemilikan Indosat. Paling tidak, kalau kita cermati betapa di setiap kampanye Pilpres, ide merebut kembali Indosat itu—rasional atau tidak—selalu digaungkan pasangan calon presiden dan wakilnya. Pada 2014 oleh pasangan Jokowi-Kalla, pada 2019 oleh Sandiaga Uno, calon wapres yang menjadi pasangan Prabowo Subianto.
Namun tentu saja, untuk keinginan mulia tak sepantasnya kita berhenti berharap. Bila saat ini baru Muamalat, siapa tahun tahun-tahun ke depan tiba saatnya giliran Indosat. [dsy]